Beranda Sosok Cerita Firda Silvina Wanita Muslim yang Bekerja di Gereja Megah di Tangsel

Cerita Firda Silvina Wanita Muslim yang Bekerja di Gereja Megah di Tangsel

Firda Silvina saat bekerja di Gereja Santo Laurensius Alam Sutera yang berada di Serpong, Kota Tangerang Selatan - foto istimewa suara.com

TANGSEL – Kisah toleransi beragama datang dari Tangerang Selatan (Tangsel). Di sebuah Gereja megah bernama Gereja Santo Laurensius Alam Sutera yang berada di Serpong menyimpan cerita menarik.

Gereja terbesar dan megah di Kota Tangsel ini ternyata dari 31 pegawai yang ada sekira 12 orang diantaranya merupakan beragama muslim.

Walaupun bekerja di lingkungan gereja, para pegawai muslim itu tetap menjalankan puasa Ramadan seperti biasa. Tak ada pelarangan apapun yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah mulai dari salat hingga tadarus Al-Quran. Sikap toleransi beragama pun terbangun erat.

Dari belasan pegawai muslim di Gereja Santo Laurensius Tangsel, salah satunya adalah Firda Silvina. Wanita berhijab ini sudah bekerja hampir dua tahun sebagai petugas kebersihan.

Silvi bercerita tentang pengalamannya selama bekerja di gereja tersebut. Selama menjalankan puasa di lingkungan gereja sama saja seperti di tempat kerja lainnya. Justru dia terkesan dengan toleransi yang ada.

“Menjalankan puasa di sini sama kayak di rumah atau di mana-mana. Di sini tidak ada perbedaan sama seperti di tempat kerja lain. Bahkan di sini itu toleransi antar agama itu benar-benar terjaga. Nggak ada larangan apapun. Contohnya seperti saya. Saya menggunakan hijab dan nggak ada larangan. Hijab ini sebagai tanda bahwa saya muslim dan bekerja di gereja Katolik ini,” katanya melansir suara.com (jaringan BantenNews.co.id), Senin (19/4/2021).

Silvi dalam waktu normal bekerja dari sekira pukul 07.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Sejak adanya pandemi Covid-19, dia dan para pegawai lainnya bisa pulang lebih awal pukul 14.00 WIB.

Untuk melaksanakan sholat dan tadarus Al-Quran, dia dan pegawai muslim lainnya diberi ruangan khusus. Hal itu lantaran tak bisa sembarang tempat di gereja bisa jadikan tempat sholat.

“Kalau misalnya aktivitas agama muslim di gereja itu nggak masalah. Kayak kita mau salat, ngaji, dan lainnya boleh. Tapi tidak bisa di sembarang tempat. Karena kita juga nggak bisa berdoa kalau ada tanda-tanda (salib) itu di sini. Jadi milih-milih tempat. Buat salat kita dikasih satu ruangan khusus. Biasanya itu juga dipakai sama umat muslim lain yang berkegiatan di gereja. Bersih, nyaman juga,” papar Silvi.

Silvi menceritakan awalnya sempat mengalami pergolakan batin. Dia tak menyangka akan bekerja di sebuah gereja.

Terlebih, ia belum pernah sama sekali masuk ke dalam gereja dan sehari-hari terbiasa berhijab. Sehingga, terasa aneh baginya ketika bekerja di tempat ibadah umat lain.

“Awalnya iya ada perasaan, kayak ‘gue nggak pernah ke geraja. Karena tuntutan kerja gue harus ada di gereja’. Itu awal-awal mungkin sampai tiga bulan. Masih nggak nyangka dan nggak nyaman sih sebenarnya. Karena di sini berhubungan langsung sama umat non-muslim,” tuturnya.

Silvi juga sempat mendapat ejekan dari temannya saat awal bekerja di Gereja Santo Laurensius. Namun ejekan itu tak dipedulikannya. Dia tetap bertahan.

“Kalau dari keluarga alhamdulillah aman. Dari teman kadang ada usilan-usilan atau ejekan. Tapi kembali lagi ke saya, saya kerja itu buat diri saya bukan buat mereka. Toh kalau ikutin apa kata mereka juga, mereka nggak biayain saya,” tegasnya.

Cewek berkacamata itu juga mengaku, saat awal bekerja, hampir semua karyawan yang non-muslin dan umat yang akan beribadah bertanya lantaran merasa heran memakai hijab tapi bekerja di gereja.

“Hampir semua pada nanya, ‘Kenapa kamu mau kerja di sini? Padahal pakai kerudung’. Saya jawab, ‘karena saya muslim wajar kalau pakai hijab’. Gitu aja. Paling ada pertanyaan lain ‘gimana kamu kerja di sini nyaman atau nggak?’ Waktu awal hampir semua pada nanya,” kata Silvi menirukan perkataan orang yang menanyainya.

Seiring berjalannya waktu, wanita berusia 23 tahun itu akhirnya mulai terbiasa. Mendapat sikap ramah dari karyawan lain, pastur hingga dewan paroki gereja, membuatnya betah bekerja.

“Tapi sekarang sudah nyaman kerja di sini. Karena karyawannya, pasturnya, dewan parokinya, semuanya. Di sini nggak ada yang beda-bedain kita muslim mereka katolik itu nggak ada seperti itu. Dari situ akhirnya mulai merasa nyaman,” ucapnya sambil bersyukur.

Sebagai petugas kebersihan, Silvi bertugas membersihkan seluruh area bagian Gereja Santo Laurensius yang terbagi dalam tim. Dia pun sudah terbiasa membersihkan altar ibadah serta patung-patung yang ada di dalam gereja.

Pegawai muslim lainnya, Warsih mengatakan, menjalani puasa Ramadhan di lingkungan gereja tak jauh berbeda dengan di rumah. Tak ada larangan apapun. Aktivitas sholat dan mengaji tetap diperbolehkan.

Warsih sudah 7 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di gereja megah bak istana itu.

“Puasa di gereja biasa aja, karena emang sudah biasa. Nyaman-nyaman aja,” katanya sambil memegang sapu lidi di halaman gereja.

Senada diungkapkan pegawai muslim lainnya, Ismail. Pria 50 tahun itu menuturkan, selama Ramadhan, pihak gereja memaklumi pegawaian yang dilakukan tidak terlalu ekstra.

“Seperti biasa aja di rumah, dalam lingkungan karyawan juga seperti keluarga, nggak ada perbedaan. Pihak gereja juga mengerti kita lagi puasa, sampai Romo-nya pun memahami kalau kita lagi puasa. Dia tak terlalu menekan pegawaian, kerjain aja semampunya,” katanya usai memetik daun kemangi.

Sama seperti Silvi, saat awal bekerja, Ismail sempat merasa canggung dan bingung. Lantaran lingkungan kerjanya merupakan tempat ibadah agama lain.

“Awalnya memang kita bingung. Karena saya muslim bekerja di lingkungan gereja. Saya melakukan ibadah selana Ramadhan juga bingung, takutnya ada salah paham bahwa masalah agama dibawa ke lingkungan gereja. Ternyata, nyatanya enggak seperti yang dibayangkan. Kita sama-sama mengetahui, kalau Ramadhan ya sama-sama menghargai,” ungkapnya yang memakai ikat kepala dari kain sorban itu.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Katolik Santo Laurensius Tangsel, Fransiskus Hartapa menuturkan, pihaknya tidak pernah mempersoalkan aktivitas puasa yang dijalankan pegawai muslim di tempatnya.

“Untuk yang muslim ya enggak masalah, mereka tetap bisa menjalankan ibadahnya, sholat dan sebagainya secara bebas. Monggo, itu ibadah masing-masing. Bahkan kita saling mengingatkan kalau waktunya sholat dan waktu Jumatan pun di suruh Jumatan,” katanya.

Bahkan, kata Hartapa, menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, biasanya ada beberapa umat yang membawa bingkisan THR dan memberikan kepada para pegawai muslim di sana.

“Sejak saya di sini pada 2007, kalau tiga minggu puasa itu biasanya banyak umat yang bawa bingkisan THR untuk para pegawai. Kalau saya perhatikan setiap tahunnya selalu begitu, kemungkinan tahun ini juga akan begitu,” pungkasnya.

(Red)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini