SERANG — Di antara deretan toko modern yang tumbuh di pusat Kota Serang, nama Toko Krakatau masih berdiri gagah, menjadi saksi hidup perjalanan panjang seorang pedagang tangguh bernama Lim Oei Ping. Bukan sekadar pemilik toko, Lim adalah wajah dari sebuah perjuangan yang tak pernah menyerah meski zaman silih berganti, dan angin urbanisasi bertiup semakin kencang.
Perjalanan Lim bermula pada 1964, saat ia menginjakkan kaki di Kota Serang yang kala itu belum sepadat hari ini. Modalnya bukan harta berlimpah, melainkan tekad yang kuat untuk mengubah nasib. Lim sempat menjadi pekerja lepas, mengais penghasilan seadanya, sebelum akhirnya memberanikan diri meminjam modal Rp10 juta. Takdir berkata lain, ia hanya menerima Rp3 juta. Namun, justru dari jumlah itulah, ia menanamkan akar pertama usahanya.
Toko pakaian itu lambat laun tumbuh menjadi Toko Krakatau Royal, sebuah usaha yang tak hanya menjual barang, tapi menyimpan cerita tentang keberanian melawan ketidakpastian.
“Saya ini cuma orang kecil yang berusaha bertahan, tapi saya tidak mau menyerah,” ucap Lim, mengenang perjuangannya di kediamannya, Sabtu (12/4/2025).
Laju zaman membawa tantangan baru. Barang-barang impor murah dari China dan Vietnam membanjiri pasar. Harga obral, model yang beragam, dan arus masuk barang yang sulit dibendung menjadikan para pedagang lokal, pasar rakyat, hingga pusat perbelanjaan besar seperti Ramayana, merasakan dampaknya.
“Barang-barang dari luar itu bukan hanya merugikan kami, tapi juga membuat pabrik-pabrik garmen dalam negeri banyak yang tumbang,” kata Lim lirih.
Ia pun membuka kisah lain, tentang bagaimana barang-barang impor itu masuk, bukan melalui jalur biasa. Ada pedagang besar, ada relasi-relasi kuat yang saling mengenal di pelabuhan. “Di sana bukan soal dagang lagi, tapi soal relasi dan kekuasaan,” katanya.
Lim bercerita, ada jalur-jalur tikus yang mereka kuasai. Barang-barang bekas, pakaian sisa produksi dalam negeri, dibeli murah dan dijual kembali seakan barang impor. Di kampung-kampung, konveksi berjalan dengan sistem bagi hasil, dari potongan kain hingga penjahitan yang dilakukan oleh warga sekitar, seolah membangun sebuah sistem ekonomi bayangan di balik gemerlapnya pusat kota.
“Mereka punya caranya sendiri. Kadang bukan barang selundupan, tapi barang dari sini juga yang dipoles ulang,” ucap Lim.
Di banyak desa, kini bermunculan kios-kios kecil yang menerima suplai barang murah. Pedagang kecil dilatih dengan pelatihan berbayar, diajari bagaimana belanja, memesan barang, hingga cara menjualnya. Pelan-pelan, desa mengepung kota. Bahkan, pusat perbelanjaan pun ikut menjual barang-barang serupa.
“Sekarang desa mengepung kota. Di Ramayana pun, di bagian bawah, sudah banyak barang mereka,” katanya.
Lim bukan orang baru dalam dunia usaha. Sejak 1967, ia telah membuka sebuah toko kecil, menjual kelontong dan pakaian. Ia masih ingat saat membeli celana Levi’s seharga Rp1 juta di saat harga pasaran hanya Rp200 ribu. Bukan untuk dijual cepat, tapi untuk menaikkan citra toko kecilnya.
“Saya ingin orang tahu, kalo saya mampu menjual barang mahal, berarti barang lain pun berkualitas,” tegas Lim.
Namun, waktu berjalan. Kondisi ekonomi beberapa tahun terakhir membuat masyarakat menahan diri membeli barang mahal, kecuali saat Lebaran. Lim pun sempat khawatir, toko yang dibangunnya akan gulung tikar, apalagi biaya operasional tak lagi sebanding dengan keuntungan.
Persaingan pun tak lagi sebatas di Serang. Toko-toko di Cilegon, Rangkasbitung, Tangerang, Jakarta, hingga Bandung menjadi pesaing baru. “Orang sekarang belanja bisa ke mana saja, langkah mereka panjang,” ujarnya.
Namun di balik kekhawatiran itu, Lim membaca peluang. Ia menyadari banyak toko di Jakarta, Tanah Abang, dan Tangerang mulai tumbang, kalah oleh beban operasional. Bahkan yang masih bertahan, hanya menjual barang lama dengan potongan harga besar.
“Di sana barangnya sudah tidak segar. Saya pikir, kenapa saya tidak isi toko saya dengan barang-barang bagus? Saya ingin toko saya seperti dulu, lengkap dan berkelas,” ucapnya.
Menjelang Lebaran ini, Lim membangkitkan semangat anak-anak tokonya. Ia memilih barang-barang terbaik, membuat pelanggan lama yang rindu suasana dulu, kembali datang. Pelanggan baru pun berdatangan, mencari barang-barang yang tak lagi mereka temukan di Tangerang atau Tanah Abang.
“Tahun ini, setidaknya saya tidak seburuk tahun-tahun kemarin. Pelanggan saya kembali, dan toko ini masih bisa bertahan,” kata Lim menutup kisahnya.
Di balik kesederhanaannya, Lim Oei Ping membuktikan bahwa ketekunan, kepekaan membaca zaman, dan keberanian mengambil keputusan, menjadi senjata utama menghadapi kerasnya arus urbanisasi dan derasnya barang impor.
Penulis: Rasyid
Editor: Usman Temposo