Beranda » Suara Bungsu

Suara Bungsu

Katanya anak bungsu itu paling spesial, anak yang selalu dimanja oleh orang tuanya. Itu ucap teman bungsuku yang hidupnya berjalan sesuai ekspetasinya. Mungkin bagi sebagian orang menjadi anak bungsu suatu kesenangan. Namun tidak bagiku.

Seperti yang aku lihat, anak-anak bungsu lainnya sangat bahagia sekali. Mereka mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya. Mereka sangat senang menjadi anak emas dikeluarganya. Sedangkan aku, aku bungsu si beban keluarga.

Mungkin aku merasa menjadi bungsu bukan suatu keberuntungan. Ayahku meninggal ketika aku berumur 7 bulan dikandungan mama, dan aku didik oleh mama dan kedua kakakku, tanpa merasakan peluk hangat dari ayahku.

Saat aku beranjak 15 tahun, mamaku memutuskan untuk menikah. Pernikahan itu disetujui oleh kedua kakakku, tapi tidak olehku. Aku tidak bisa menerima calon ayah baruku, sebab aku tidak mau, ada yang menggantikan posisi ayah kandungku. Awalnya aku sangat keras kepala untuk tidak menyetujui pernikahan mama, namun tetap saja pernikahan itu dilakukan. Dan akupun menerima itu, lalu kakakku menghampiriku ke kamar, dan ia bertanya

“Kenapa kamu mengurung diri seharian dikamar?”

“Aku hanya butuh waktu untuk menerima suasana baru kak”

“Apa kamu tidak mau melihat mama bahagia lagi?”

“Tentu saja aku ingin, tetapi bukan dengan mama menikah lagi”

“Kamu harus belajar menerima dek, kakak dijakarta, kamu sebentar lagi juga pindah ke jakarta, siapa yang akan menemani mama dijawa?, sedangkan mama sudah sangat bahagia sekali dengannya”

“Oh, begitu. Ya sudah”

Lalu kakakku meninggalkan kamarku dengan langkah yang cukup pelan. Aku pun terbangun dari tempat tidurku. Aku mendengar cukup keramaian diluar, aku sedikit membuka pintu dan melihat keluar, ternyata mama, ayah baruku, dan kedua kakakku sedang berbincang asik sembari menonton tv. Aku kembali menutup pintu kamarku dan merebahkan badan ditempat tidur, lalu aku  menyelimuti badan dan menutup wajah dengan selimut yang hangat.

Matahari yang cukup cerah memasuki kamar tidurku lewat celah jendela kamar. Aku bangun dan melihat keluar jendela, udara yang sangat sejuk sangat memberi ketenangan untukku. Sekitar 15 menit aku berdiri didepan jendela kamar, kemudian aku melangkah ke arah pintu kamar. Aku keluar dan melihat ruang tamu sangat sunyi, mungkin mama dan yang lain belum bangun. Ku ambil segelas air minum dan duduk di ruang tamu. Belum lama aku duduk, ayah baruku menghampiri dan bertanya padaku.

“Nak, kenapa kamu semalam tidak ikut makan malam?”

“tidak apa-apa”

“Apa kamu sedang sedih dengan pernikahan ayah dan mamamu?”

(aku diam, dan terkejut tiba-tiba orang ini bertanya seperti itu)

“Tidak apa-apa, mungkin kamu perlu waktu untuk bisa menerima ayah”

“Kamu jangan lupa shalat, dan jaga kesehatanmu ya, sekarang makanlah. Kasian badanmu dari kemarin belum kena makan”

“Ya (dengan wajah cuek aku meninggalkan ruang tamu)

Sambil ku tengok ke belakang, ayah baruku ini menundukkan kepalanya. Sempat merasa iba ketika melihatnya, namun untuk menerima dia sebagai pengganti ayah kandungku, salah satu hal yang paling berat untuk aku terima. Aku pun melihat berjalan menuju kamar, mengambil handuk lalu mandi. 10 menit setelah mandi, mama mengetok pintu “tok tok tok”

Dengan rasa malas aku membuka pintu, dan muka yang lesuh melihat mama. Rasanya masih amat kesal jika mengingat pernikahan mama, pikiran kacau bahkan beban terasa ku tanggung sendirian. Mama masuk lalu menutup pintu, dan menghampiri ku ke meja belajar sambil mengusap-usap kepalaku. Aku berdiam diri saja, dan mam pun memulai sebuah obrolan.

“Kamu marah sama mama ya nak?”

“Sudah dua hari ini kamu tidak mengucapkan sepatah kata apapun kepada mama”

“Kakakmu sudah memberi tahu bukan, bagaimana kamu harus menyikapi suasana baru ini?”

“Anak perempuan mama sudah dewasa sekarang, mama mau yang terbaik buat kamu. Mama mau ada sosok ayah untuk dirimu nak”

“Sudahlah ma, aku lelah. Aku mau istirahat untuk sekarang”

“Baiklah kalo kamu masih kesal, jangan berlarut-larut dalam kekesalanmu ini”

Mama pun meninggalkan kamar, ku tutup pintu kamar lalu ku kunci pintunya. Aku pun menangis tanpa suara, begitu sakitnya menahan tangis tanpa suara. Sambil merenung aku bergumam pada diriku sendiri.

“Mengapa aku harus dewasa seperti ini?”

“Mengapa keluarga tidak memberi tempat nyaman untukku?”

“Harus bagaimana aku sekarang?, begitu banyak beban harus ku tanggung sendirian”

Kadang aku merasa sangat sedih dengan hidup yang ku jalani saat ini. Tetapi aku teringat dengan teman-teman baikku, aku masih punya mereka. Setidaknya aku masih punya tempat nyaman diluar rumah. Aku pun beranjak dari meja belajar, berganti baju dan mengambil tas. Aku memutuskan untuk keluar rumah sejenak, karena rasa kejenuhan sudah tidak bisa ku tahan lagi. Tanpa berpamitan aku pun melangkah keluar rumah, dan tidak ada yang menanyai.

Ketika dijalan banyak kendaraan lalu lalang yang memecah fokusku. Aku pun berhenti disuatu café, yaitu tempat aku berjanjian untuk bertemu dengan temanku. Sekitar 20 menit aku menunggu, akhirnya temanku Tere pun datang. Ia duduk lalu memesan kopi kepada waiters. Sembari menunngu, aku pun memulai obrolan.

“Ter, aku kesel banget dirumah. Semenjak pernikahan mama kemarin aku memutuskan untuk tidak berbicara kepada mereka”

“Kenapa kamu tidak mencoba memahami diri kamu sendiri?”

“Sedikit aku beri saran ya, mau sekesel apapun kamu, itu ga merubah apa-apa. Sekarang mama kamu sudah menikah, kakak-kakakmu juga menyetujui. Sekarang tinggal bagaimana diri kamu belajar buat menerima itu semua. Ayo pelan-pelan belajar buat menerima hidup baru.”

“Tapi aku tidak nyaman ter, aku merasa berat banget sama masalah kaya gini”

“Heiii! Kamu punya aku, kamu masih punya tempat nyaman diluar rumah. Kalo kamu merasa berat dirumah, hubungin aku ya. Pasti aku selalu ada. Yang terpenting kamu jangan terus-terusan diam sama mama kamu. Coba terima ayah baru kamu ya, kebahagian mama kamu pasti kebahagian kamu juga kan.”

“Iya ter, benar. Terimakasih ya sudah mau mendengarkan”

Ternyata aku baru sadar kebahagian mama juga penting untukku. Walaupun aku tidak merasa nyaman dirumah, namun aku masih punya tempat nyaman diluar rumah, yang terpenting aku harus bisa menerima hidup baru dan menjalin hubungan baik dengan keluargaku.

Bagikan Artikel Ini