Beranda » Pink Floyd, Buruh dan Tak Bangkitnya PKI

Pink Floyd, Buruh dan Tak Bangkitnya PKI

Setelah suntuk 8 jam di ruang kerja, memandang laptop dan kerjaan yang itu-itu saja, tumben sekali Budi(sahabat kecil) mengajak saya ikut dengannya. Ia adalah seorang mekanik alat berat di perusahaan konstruksi.

Dengan Panther butut yang catnya sudah mengelupas sana-sini, kami menyapa jalan Puspitek yang gelap, melewati Taman Techno dan masuk tol Rawa Buntu. Saya memutar Another Brick In The Wall-Pink Floyd keras-keras dan menikmati embus angin malam yang membentur wajah—sebab kaca mobil tak bisa ditutup—sambil ikut menyanyi. “Lagu ini adalah bentuk protes Rogers terhadap dunia pendidikan…” kata saya pada Budi. Ia tak menanggapi. “Dan Pink Floyd sepertinya berideologi komunis.” Karena obrolan terputus, Budi sibuk menerima telepon sambil berkendara (bukan contoh yang baik), saya kecilkan volume sambil mengingat kembali perjalanan saya berkenalan dengan band rock beraliran psikedelik ini.

Adalah Oppy dan Ode yang saban kali kami berkumpul selalu memutar lagu-lagunya, meskipun sesekali memang, Clapton dan Beatles menemani obrolan kami. Sayangnya mereka berdua luput menyadari elemen palu yang merupakan simbol perlawanan kaum buruh dalam video clip serangkaian lagu Pink Floyd, Run Like Hell, dan Waiting For The Worms.

Mereka berdua, yang tidak menyukai apa pun yang berbau komunisme, tapi tak juga membencinya,tidak mengetahui bahwa orang tua Nick Mason dan Rogers Waters adalah anggota partai komunis. Padahal, album The Wall (1987) dengan tegas memperlihatkan latar belakang personil band itu. * “Kita ke pintu tol Pasar Rebo,” kata Budi. Volume saya kencangkan ketika Mason memukul lonceng dengan palu pada pembuka lagu “High Hopes”. Ketika sampai di lokasi, Budi langsung bekerja. Ia memperbaiki alat penyapu aspal dan mobil-mobil tetap tak memelankan lajunya tak jauh dari tempat Budi bekerja. Terdengar, Ia bekerja dan bertaruh nyawa tanpa asuransi dan tunjangan apa pun. “Gajiku Cuma UMR pas. Tak lebih.” Katanya. “Tanpa Jamsostek?” “Tanpa Jamsostek!” Saat kami minum es dekat pintu tol, alat berat dan pekerja kembali bekerja. Ia bilang ”Kadang aku memperbaiki mesin yang masih menyala tanpa mematuhi prosedur keselamatan kerja sama sekali. Orang-orang atas gak mau rugi.” Saya diam dan berpikir, tak perlu komunisme hidup lagi, asal perlawanan kaum buruh menjadi kesadaran setiap orang. Pasti orang-orang seperti Budi tak akan dibayang-bayangi kematian yang tak setimpal.

November baru berakhir. Saya mengirim pesan whatsapp Ode dengan memakai kalimat Bhaga di akun youtube Paguyuban Pamitnya Meeting.

Kenapa Komunis ga bangkit tahun ini?

Ode membalas: Ngga tahu. Kenapa emang?

Karena Kivlan Zen belum lama ini terbaring di IGD.

Lalu saya nonaktifkan HP, berbaring dan overthingking.

Bagikan Artikel Ini