Indonesia sedang memasuki era bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih besar dibanding usia non-produktif. Secara teori, ini menjadi peluang besar untuk mendorong kemajuan bangsa. Namun kenyataannya, generasi muda justru menghadapi ancaman serius: pengangguran.
Banyak anak muda yang telah menyelesaikan pendidikan, dari jenjang menengah hingga perguruan tinggi, masih kesulitan memperoleh pekerjaan. Bukan karena kurang semangat, tetapi karena terbatasnya lapangan kerja, kurangnya akses, serta kesenjangan antara keterampilan dan kebutuhan pasar. Jika hal ini terus dibiarkan, maka masa depan generasi muda bisa menjadi taruhannya.
Dalam konteks Pancasila, situasi ini berkaitan erat dengan nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menuntut adanya kesetaraan akses terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sementara sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, mengingatkan kita bahwa setiap individu berhak atas perlakuan yang manusiawi, termasuk dalam hal kesempatan untuk berkembang.
Jika anak muda kehilangan harapan, maka bangsa kehilangan potensi terbaiknya. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak. Pemerintah perlu memperluas lapangan kerja berbasis teknologi dan inovasi, mendorong kewirausahaan muda, serta menyelaraskan sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Masyarakat juga perlu mendukung dengan menciptakan ekosistem yang inklusif dan memberdayakan.
Masa depan tidak datang dengan sendirinya. Ia dibangun melalui keputusan-keputusan hari ini. Memberikan kesempatan yang adil bagi anak muda bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga komitmen moral kita bersama sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai Pancasila.
Penulis:
Nashwa Virgiandtika Novaranti
(Mahasiswi Program Studi Administrasi Negara, Universitas Pamulang)