Beranda » Integrasi Budaya dan Agama Dalam Dakwah Wali Songo

Integrasi Budaya dan Agama Dalam Dakwah Wali Songo

Ilustrasi - Sumber Foto : dokumentasi penulis

Oleh :

 Islamiyati Ateka Rahmi

Program Studi Pendidikan Agama Islam  Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara yang digantikan dengan kebudayaan Islam.Wali Songo merupakan simbol penyeberan Islam di Indonesia khususnya di daerah Pulau Jawa. Mereka memiliki peran yang sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa dan juga berpengaruh terhadap kebudayaan masyaraka jawa serta dakwah yang secara langsung membuat Wali Songo ini menjadi simbol penyebaran islam di Indonesia. Kemunculan Wali Songo berkaitan erat dengan kedatangan muslim asal Champa. Hal ini, ditandai dengan adanya tokoh Sunan Ampel sebagai sesepuh Wali Songo. Selain itu, kemunculan Wali Songo berkaitan dengan proses penguatan unsur budaya Nusantara pada masa Hindu-Budha.

Wali Songo menyebarkan agama islam menggunakan pendekatan kebudayaan dengan menyerap seni budaya lokal (ajaran hindu-budha) yang dipadukan dengan ajaran islam seperti tembang jawa, gamelan, wayang, upacara adat yang digabungkan dengan unsur-unsur islam. Mereka memasukan nilai-nilai agama islam ke dalam budaya tersebut, sehingga kedua unsur dalam ajaran hindu-budha bergabung bersama unsur ajaran islam membentuk sebuah keserasian.

Wali songo yang menggunakan kebudayaan sebagai metode penyebaran Islam, seperti sunan kalijaga. Sunan kalijaga mengenalkan ajaran islam lewat pertunjukan wayang, yang mana pertunjukan wayang tersebut masih banyak diminati masyarakat yang menganut ajaran agama hindu-budha. Sunan kalijaga memiliki kemampuan yang menakjubkan sebagai dalang yang ahli dalam memainkan wayang. Selama berdakwah di jawa bagian barat sunan kalijaga menggunakan berbagai nama samaran, seperti di daerah pajajaran sunan kalijaga dikenal dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Di daerah tegal dikenal dengan nama Ki Dalang Bengkok. Di daerah purbalingga dikenal dengan nama Ki Dalang Kumendung, sedangkan di majapahit dikenal dengan nama Ki Unehan. Kegiatan dakwah sunan kalijaga memanfaatkan pertunjukan tari topeng, barongan, dan wayang dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam pertunjukkan wayang sunan kalijaga mengangkat cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabharata, salah satu yang paling digemari masyarakat adalah lakon dewa ruci. Sunan kalijaga dikenal sangat mendalam memaparkan kupasan-kupasan ruhaniah yang berdasar pada ajaran tasawuf. Sunan kalijaga juga melakukan pembaharuan bentuk wayang yang sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif yang sesuai ajaran islam. Masyarakat yang ingin melihat pertunjukan wayang bayarannya tidak menggunak uang, melainkan hanya dengan membaca dua kalimat syahadat sehingga dengan cara itu islam dapat berkembang cepat.

Selain sunan kalijaga, sunan muria juga menyebarkan agama islam dengan pendekatan budaya berupa seni pewayangan. Sunan muria suka menggelar pertunjukan wayang karya sunan kalijaga seperti dewa ruci dan jimat kalimasada. Melalui pertunjukan wayang, sunan muria memberikan ajaran-ajaran tentang ketauhidan islam kepada masyarakat. Sunan muria juga tidak menghilangkan tradisi keagamaan lama yang telah dianut masyarakat tetapi dikembangkan menjadi tradisi keagamaan baru khas islam dengan menambahkan nilai-nilai islam seperti tradisi bancakan dengan tumpeng yang dulunya dipersembahkan ke tempat-tempat angker diubah menjadi kenduri, yaitu upacara mengirim doa kepada leluhur dengan menggunakan doa-doa islam di rumah orang yang menyelenggarakan keduri.

Sunan muria juga menggunakan tembang-tembang jawa seperti wali songo yang lain sebagai sarana komunikasi dakwah dalam menyampaikan tuntunan-tuntunan hidup dan juga diselipkan ajaran-ajaran islam. Tembang yang diciptakan oleh sunan muria yaitu tembang sinom dan tembang kinanthi, tembang sinom-kinanthi mengandung pesan moral ajaran hidup sunan muria. Tembang sinom berisi ajakan sunan muria untuk meneladani berperilaku baik Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya, pendiri kerajaan mataram yang selalu berbakti pada masyarakat dan Negara, serta bersusah payah bertapa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tembang Kinanthi berisi ajakan melatih diri dan hati, tembang tersebut berarti “Latihlah diri dan hati, meraih wahyu atau ilham agar cerdas, jangan Cuma bermalas-malasan, kecakapan harus dimiliki, siapkan jiwa dan raga, kurangilah makan dan tidur.”

Selain tradisi yang dikembangkan sunan muria, ada juga kebudayaan lama yang berasal dari tradisi keagamaan Kapitayan Hindu-Budha bahkan ada yang berasal dari ritual Tantrayana seperti tradisi tumpengan, nyadran (sraddha), tingkeban, barokahan, puput puser, tedhak sinten (turun tanah), sesaji, tulak balak, ruwatan, bersih desa, Garebeg Suro, Garebek Maulud. Semua itu menjadi bukti akulturasi kebudayaan serta sebagai bukti asimilasi dan sinkretisasi penyebaran agama islam di tanah jawa oleh wali songo.

Namun, pada masa sekarang sudah jarang masyarakat yang melakukan tradisi keagamaan tersebut. Tidak sedikit masyarakat yang menyepelekan tradisi atau adat istiadat setempat karena merasa ribet dan tidak terlalu penting. selain itu, banyak anak muda zaman sekarang yang malas untuk belajar sejarah apalagi sejarah penyebaran islam di Indonesia. Tidak hanya tradisi yang mulai luntur, pertunjukkan kesenian budaya seperti kesenian gamelan, pewayangan, dan tembang-tembang juga jarang terlihat pada zaman sekarang. Hal ini dapat menyebabkan lunturnya tradisi dan budaya peninggalan wali songo, yang mana seharusnya tradisi dan budaya tersebut dilestarikan untuk mengenang jasa-jasa wali songo dalam mensyiarkan agama islam di Jawa.

Ada berbagai cara agar integrasi budaya dan agama dalam dakwah seperti yang dilakukan walisongo tetap terjaga. Pertama, mengadakan festival seni budaya islam di tiap tahunnya yang bertujuan untuk memperkenalkan seni budaya islam kepada generasi baru di tiap tahunnya. Kedua, membina generasi-generasi muda belajar kesenian budaya islam. Ketiga, selalu melaksanakan upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh Wali Songo, selain untuk mejaga kelestarian juga untuk mengenang jasa wali songo. Keempat, selalu melaksanakan ajaran-ajaran wali songo, seperti Sunan Kudus yang melarang masyarakat Kudus menyembelih sapi yang sampai sekarang masih diterapkan masyarakat Kudus. Kelima, memperdalam pengetahuan tentang sejarah kebudayaan wali songo melalui berbagai sumber baik dari sejarahwan ataupun dari berbagai media digital, dengan begitu sejarah kebudayaan islam di Indonesia dapat terjaga dan dapat diwariskan untuk generasi selanjutnya.

Oleh karena itu, kita sebagai generasi muda harus berusaha menjaga dan melestarikan tradisi dan budaya asli nusantara yang berlandaskan syariat-syariat islam. Dengan demikian budaya dan agama dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi untuk membentuk manusia Indonesia yang beradab sesuai nilai-nilai Islam.

Bagikan Artikel Ini