Beranda » Hancurnya Ideologi Partai Politik

Hancurnya Ideologi Partai Politik

Berbicara mengenai pemilu, pasti tidak jauh dari proses kotor para calon-calonnya, bertarung sekuat tenaga untuk dapat hasil yang manis dan menjatuhkan satu sama lain. Hal itu merupakan kebiasaan dari pemilu.  Pemilu tidak bisa dipisahkan dengan partai politik.

Partai politik berperan sebagai wadah aspirasi-aspirasi masyarakat yang terorganisir anggotanya yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama. Tujuan parpol sudah jelas guna menduduki kekuasaan, dan cita-cita organisasi mereka pun jelas guna memperkaya dan mencuri uang rakyat dikemudian hari. Pada suatu pagi nan cerah, disebuah rumah terdengar suara TV yang menyala diiringi suara sendok yang saling beradu dengan piring. TV itu terdengar sedang menyiarkan berita politik mengenai kemungkinan diperpanjangnya masa periode presiden Jokowi dodo. Salah satu anggota keluarga itu terlihat berfikir dalam diamnya, Jika masa periode presiden diperpanjang maka habis sudah negara yang demokratis.

” Bukankah negara demokrasi itu hanya memperbolehkan seorang pemimpin berkuasa sampai pada dua periode yah ?” tanpa bisa dicegah pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya dari mulut Neneng.

” Emang kaya gitu, dasarnya aja partai oposisnya serakah pengan berkuasa terus !” Kakak Neneng menjawab dengan entengnya.

” Bukan partai nya yang salah, tapi orang-orangnya aja maruk!” Neneng membalas perkataan sang kakak sembari memakan nasi gorengnya.

” Heeem iya bener, tapi peran partai politik juga udah mulai berubahnya sekarang , partai politik tuh bukan lagi wadah aspirasi-aspirasi buat masyarakat tapi, wadah bibit ungul maling duit rakyat ” kak Obi berkata dengan muka datarnya. Tapi didalam perkataan itu terdengar kekecewaan atas suatu hal.

” Tapi kalau gak ada parpol, perpolitikan di Indonesia gak akan berjalan dong?” Ayah Neneng menjawab sembari meminum teh manisnya.

” Iya sih tapi parpol juga makin kesini makin keterlaluan, mereka memanfaatkan masyarakat yang kelaparan buat menangin hati mereka ” kata Obi tenang.

” Semua parpol pasti kaya gitu lah, tujuan mereka kan menduduki kekuasaan, mau caranya kotor atau bersih sekalipun kalau udah berhubungan sama politik pasti jadi iblis ” Neneng berujar dalam kekesalannya.

” Kekuasaan dan uang emang membutakan hati manusia, dan memang pada dasarnya uang adalah segalanya dengan uang manusia bisa membeli semuanya termasuk jabatan dan hukum ” kak Obi menanggapi perkataan Neneng yang terlihat semakin kesal.

” Wissss pembicaraan pagi kita berat sekali yah, udah ngerti soal politik politikan nih anak ayah ” Ayah berbicara diiringi senyum jail.

” Iyalah kan udah gede, nya gak bang ” kata Neneng tersenyum canggung

” Hahaha iya doang, kan udah jadi MAHASISWA Sekarang ” gurau kak Obi diselengi lirikan menggoda kepada Neneng

” Tapi sedikit miris sih kalau denger tentang perpolitikan di Indonesia, apa lagi parpol parpol ini nih udah mulai meresahkan, padahal banyak banget masyarakat yang berharap lebih sama parpol apalagi rakyat miskin, sayangnya rakyat cuma dimanfaatkan demi praktek kekuasaan si politikus edan ” kata ayah Neneng tenang namun terdengar pilu pada suaranya.

Setelah berbincang dengan keluarganya Neneng beranjak dari duduknya menuju kamar dan bersiap-siap untuk keluar rumah untuk berolah raga. Setelah keluar rumah dia hanya diam memandang kesana kesini, memperhatikan kegiatan tetangga sekitar rumahnya dan tak lupa menyapa dengan ramah.

Entah kenapa pembicaraan pagi tadi dengan anggota keluarganya berhasil merusak mood olahraganya kali ini. Neneng duduk sembari merenung, matanya diarahkan kearah langit yang nampak sangat indah.
Neneng tersenyum miris dalam diamnya, otaknya seperti bertarung memikirkan bagaimana nasib negerinya, dan memikirkan nasib masyarakat kecil disekitar rumahnya. Kepingan-kepingan memori masalalu tiba-tiba memenuhi otaknya. Kepingan itu memabawa Neneng pada satu peristiwa pemilu yang terjadi 4 tahun yang lalu.

Dimana partai politik dan politikus berlomba-lomba menyuarakan janjinya, menyuarakan slogan dan jargon yang memuakkan. Janji yang terdengar bohong itu nampak sangat jujur dimata masyarakat yang lemah. Slogan yang berkata ” katakan tidak pada korupsi ” terdengar manis ditelinga masyarakat yang berharap akan adanya perubahan.

Neneng mulai tertawa sumbang dalam lamunanya. Entah kenapa hati Neneng sesak mengingat harapan-harapan masyarakat yang begitu tinggi pada partai politik dan politikus. Berapa mirisnya harapan masyarakat tak mampu, malah menjadi lelucon untuk parpol dan politikus. Didalam upaya mereka mendapatkan kekuasaannya, parpol dan politikus rutin melakukan pembodohan dan kebohongan yang tak ada hentikan. Parahnya lagi kedua hal tersebut seolah sudah dirancang secara sistematis dan terstruktur. Untuk menyuarakan janji palsu dan slogan tak bermutu nya, parpol dan politikus tidak ayal membutuhkan panggung ketenaran dan peran media.

Berbicara koar-koar mengenai janji, menyebarkan mitos politik, dan berusaha mencari simpati masyarakat adalah hal yang penting untuk parpol dan politikus. Walau pun dalam proses komunikasi politiknya lebih cenderung normatif, penuh retorika, dan bualan. Parpol dan politikus terlalu lihai memainkan kata-kata bahkan memonopoli bahasa untuk kepentingan politik pribadi dan organisasi. Namun sayangnya masih banyak masyarakat yang terbuai akan kata manis beracun para bedebah politik.

Bukan hanya malakukan pembodohan dan kebohongan, mereka juga memanfaatkan kemiskinan masyarakat untuk menarik perhatian masyarakat yang kelapan, guna mensukseskan hasrat berkuasa mereka. Tidak ayal praktek uang dalam kampanye menjadi jalan yang wajib dicoba oleh para parpol dan politikus. Masih jelas teringat dibenak Neneng perkataan masyarakat disekitar rumahnya mengenai praktek uang, seperti perkataan yang dilontarkan ibu Suaroh pada saat berkumpul dengan ibu-ibu didepan rumahnya, beliau berkata

“Pokoknya mah mau partai merah, kuning, hijau, biru. Kalau ada duitnya kenapa enggak dicoblos. Soalnya nanti pas mereka udah menjabat nihnya mana inget sama rakyatnya, makannya kalau ada duitnya mah ambil aja jangan ditolak udah!”.

” Kalau gak ada duitnya gimana?” Ibu anah pun menjawab.

” Atu kalau gak ada duitnya blangko lah, ngapin dicoblos. Keburu lagi pemilu nih nya bu, manfaatin aja nanti nih pas mereka udah jadi, duit yang mereka ambil dari rakyat lebih banyak. 20 ribu mah gak sebanding sama duit MM an yang mereka ambil paksa dari kita!”. Ibu Suaroh berbincara dengan begitu nyakin dan tegas nya.

” Iya bener roh, sekarang mah yang terjun kedunia politik tuh, bukan lagi yang ngerti politik, artis juga banyak sekarang mah yang ikut nyalon ” ibu masti ikut menanggapi pembicaraan ibu Suaroh.

” Enya yah mas, meni resep pisan mun artis nu nyalon, ketinggalana geh bageur deui ” ibu Irat menjawab dengan logat sundanya.

Kepingan-kepingan pembicaraan masa lalu itu berhasil menampar pikiran Neneng. Kenyataan bahwa ternyata masyarakat masih menilai pantas atau tidaknya pemimpin melalui popularitasnya dan uangnya. Untuk memenangkan pemilu partai politik dan politikus tidak perlu pusing memikirkan calon pemimpin rakyat bagaimana, parpol hanya perlu mengusung calon dari aspek popularitas dari pada kualiatas.

Mau Politikus itu bodoh, tidak bisa membaca sekali pun , jika mereka terkenal dan bisa menyentuh hati rakyat maka sudah pasti kemenangan ada ditangan mereka. Matinya karakter partai politik yang jujur yang memiliki cita-cita dan ideologi samakin menambah kemirisan dihati Neneng. Neneng menyimpulkan dari kepingan masa lalu dan peristiwa yang terjadi sekarang ini ternyata memang kenyataannya peran partai politik ini sudah mulai berubah.
Yang pada awalnya parpol berperan sebagi tempat menampung aspirasi masyarakat, sekarang sudah sepenuhnya berubah menjadi tempat calon para koruptor yang cerdik.

Mencuri uang rakyat disana sini, menikmati air mata darah rakyat dengan menikmati kue kemenangan setelah pemilu, bersorak ria menikmati drama yang mereka buat. Para anggota parpol dan politikus ini ternyata bukan hanya tidak punya malu tetapi mata hati nya juga ikut mati setelah mereka berkuasa. Bukan hanya peran yang berubah tetapi kepentingan juga pasti ikut berubah. Kepentingan partai politik dan politikus tidak lagi kesejahteraan masyarakat atau guna mewujudkan negara yang maju akan tetapi kepentingan mereka hanya ada tiga yaitu : kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran. Partai politik lama atau baru, progresif atau konservatif, nasionalis atau relijius tidak lagi memiliki ideologi. Ideologi dan nilai-nilai idealis mereka hanya sebuah tulisan tak bermakna yang diketik dengan rapih pada kertas kosong yang tak berarti.

Setelah bergulat dengan pikiran panjang nya, Neneng bangun dari duduknya dan menghela nafas panjang. Dia berkata dalam hatinya ” Bangunlah negeriku, jangan hanya tidur menikmati tangisan kepedihan rakyat yang merindukan kepudilianmu. Bungkam semua para pejabat tak bermoral dan tunjukan keadilanmu.” Neneng tersenyum pada langit dan dia berharap semoga kelak dia bisa menjadi peran penting dalam cerita jungkir balik negerinya.

(***)

Bagikan Artikel Ini