Beranda » Cerpen Politik: Para Bisu Berbicara

Cerpen Politik: Para Bisu Berbicara

Ilustrasi - foto istimewa detik.com

Sepasang mata aswad berkilat gemilang bagai binar dalam temaram malam. Sang pemilik netra berlari kecil menghampiri kerumunan di tengah panasnya Sang Baskara dunia yang menyuar suryanya kepada kumpulan manusia-manusia pinggiran kota setelah seharian mereka bekerja panas-panasan.

Pun dengan lelaki yang masih berlari itu. Pakaiannya sekumuh jalanan yang ia susuri. Kulit kotor bercampur debu polusi dengan keringat lekat lengkap bagai pelengkap hias tubuh kurus berisi tulang rapuh tersebut. Sandal usang yang tampak telah diperbaiki berkali-kali dan hampir rusak lagi, tidak sama sekali menghalangi langkahnya.

“Pejabat itu akan datang kembali!” sorak-sorai salah satu penduduk kecil negara dengan senyuman selebar pulau-pulau kaya di Indonesia.

Kakek tua dengan kaos bergambar pasangan kebanggaan salah satu partai politik yang sedikit berlubang di area punggung dipadu celana cokelat selutut menanggapi dengan bangga, “saya masih menyimpan kaos mereka, sudah empat tahun.”

“Tapi mereka tidak menepati janji,” ucap seorang ibu seraya mendekap anaknya dalam endongan kain, sembari menyuapi Sang Anak dengan nasi yang mulai mengering dan sayur kangkung layu yang diolah dan dimasak sesederhana mungkin.

“Yah, namanya juga pejabat negara. Mungkin sibuk mengurusi banyaknya permasalahan di Indonesia,” jawab Si Kakek Tua.

“Kemiskinan di daerah kita juga termasuk permasalahan negara,” balas Sang Ibu kembali.

Lelaki yang tadi berlari menghampiri perkumpulan diskusi kecil mengenai kewajiban dan janji Sang Pejabat Negara yang beberapa tahun silam memberi harapan kemajuan pada daerah kumuh tempatnya lahir, meniti kehidupan, dan mempersiapkan kematian nantinya. Sungguh, sebagai manusia, ia tidak pernah bergerak keluar dari lingkaran kekumuhan. Sepanjang masa hidupnya dihabiskan dalam perumahan gang kecil sudut kota, di sebelah saluran air pembuangan limbah pabrik sesekali menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga pula. Aroma tak sedap saluran pembuangan tidak jarang menguar bebas pada indera penciuman tiap manusia yang mendekatinya.

Ia berkata, “mungkin nanti ada saatnya kita kebagian. Percaya saja lah pada janji mereka, mereka itu orang berpendidikan tinggi dan mengerti konstitusi negeri.”

Ibu-ibu itu membuang sisa nasi kering di makanan anaknya sembari kembali berujar membalas perkataan lelaki yang baru saja bergabung, “empat tahun itu lama, loh. Giliran masa jabatannya mau habis baru ke sini lagi.”

“Sudah-sudah, Si Pejabat ingin datang ke sini lagi mungkin ingin menepati janji. Dia butuh dua periode untuk menuntaskan semua janjinya. Kan daerah di satu kota saja sangat luas.” Kakek Tua melipat tangannya di depan dada sambil berkata demikian.

“Lalu kalau dua periode didapatkan namun tetap tidak menepati semua janjinya, bagaimana? Menambah periode lagi? Tidak bisa begitu, dong. Peraturan tetap peraturan, janji tetap janji.” Ibu-ibu itu menyambar lagi, kini menatap Si Kakek dengan tatapan bingung.

Baru saja Sang Lelaki bermata gelap ingin menjawab, sorak-sorai penduduk kembali terdengar. Anak-anak kecil berlarian mendekati suara mobil yang berhenti tepat di depan pemukiman kotor. Beberapa motor aparat mengelilingi mobil Si Pejabat, berusaha melindunginya dari marabahaya meskipun tak mungkin ada yang berani menyerangnya di saat seperti ini. Bahkan semua penduduk seolah menyambut senang akan kehadirannya.

“Mohon Bapak-Bapak, Ibu-Ibu menjauh!” perintah Si Aparat seolah para penduduk sangat membutuhkan kehadiran Sang Pejabat. Seolah Sang Pejabat adalah Dewa Penyelamat.

Ketika Sang Pejabat menunjukkan rupanya, turun dari mobil sedan berwarna hitam cemerlang yang bersih, lebih bersih dari pemukiman ini sendiri, para penduduk kembali menyuarakan kegembiraan serta kepercayaan. Beliau memakai kemeja rapi dan celana hitam panjang berbahan bagus. Sepatunya keren, bermerk mahal. Butuh waktu bertahun-tahun bagi para penduduk untuk memulung sampah hanya demi membeli barang seharga sepatu Sang Pejabat. Kacamata gelap bertengger di batang hidungnya, menghalau silau sinar matahari dari pandangan matanya. Rambut Si Pejabat masih sangat rapi tanpa setitik pun peluh keringat. Beliau melambaikan tangan pada masyarakat yang menyambutnya.

“Bagaimana kabarnya, Bapak-Ibu sekalian?” tanya Sang Pejabat dengan senyum mengayomi.

Laki-laki yang berlari di awal tadi menyelinap di antara kerumunan, mendekati eksistensi pejabat tersebut. Kemudian langsung menyahut, “Pak, kami percaya pada, Bapak. Tolong bantu kami!”

Mendengar kata ‘Tolong’, raut wajah Sang Pejabat berubah seratus delapan puluh derajat. Yang tadinya seakan ingin melindungi, kini seolah ingin menjauhi. Namun beliau berlaga profesional dengan menanggapi Si Pria usang dan menanyakan keluhannya.

“Lahan saya bekerja akan digusur. Itu satu-satunya mata pencaharian saya, Pak. Kalau sampai jadi digusur, nanti saya sekeluarga makan apa? Anak saya harus sekolah juga, Pak. Tolong,” keluhnya.

“Pak, saya juga ada permintaan, Pak. Empat tahun lalu Bapak bilang akan membangun fasilitas kesehatan di daerah ini, tapi sampai sekarang saya belum lihat ada pembangunan puskesmas di sekitar sini,” tambah seorang penduduk dengan baju kebesaran, “anak saya sakit-sakitan jadi agak sulit kalau harus bolak-balik ke rumah sakit yang agak jauh.”

“Pak, kenapa nenek saya mencuri sandal tapi dihukum begitu lama, tapi teman Bapak sesama pejabat yang korupsi justru dikurangi masa tahanannya? Kasihani nenek saya, Pak. Nenek mencuri karena butuh uang. Pak tolong sampaikan ini pada hakim dan penegak hukum, Pak!”

“Pak, tolong! Polusi dan debu di daerah ini sangat parah! Air kami juga jadi kotor. Anak-anak jadi sering sakit karena kondisi ini, Pak! Bukannya ada peraturan tentang lingkungan?’

Sang Pejabat melirik ke arah aparat. Sesaat kemudian para aparat mengamankan beberapa warga yang mengeluh dan menyuruh mereka diam, mundur menjauhi Si Pejabat. Sementara Si Pejabat berdeham kecil sambil membenarkan posisi jam mahal yang melingkari pergelangan tangannya. Diusap satu persatu batu akik dalam kukungan cincin besar di jari telunjuk dan jari manis tangan kanannya.

“Bapak-Ibu, mohon tenang!” tegas para pihak pelindung pejabat.

Sang pejabat melepas kacamata hitamnya, sedikit memicingkan mata untuk beradaptasi dengan sinar matahari yang menyilaukan pandangan matanya. “Jadi begini ya, Bapak-Ibu sekalian,” beliau membuka suara, “semua keluhan itu tidak bisa saya wujudkan satu per satu karena di luar kendali saya.”

“Loh, kenapa, Pak? Bukannya Bapak ini wakil rakyat?” tanya salah seorang warga, heran.

“Karena saya tidak memegang kendali semua pihak yang bersangkutan. Penyelesaian permasalahan itu ‘kan ada bagiannya masing-masing,” jawab Sang Pejabat dengan santai.

“Kalau begitu tinggal Bapak sampaikan saja keluhan kami ke pihak yang bersangkutan?”

“Tidak mudah, Pak. Ada banyak prosedur yang harus dilewati dan akan memakan banyak waktu. Saya ‘kan juga punya atasan, nanti harus sesuai kesepakatan atasan-atasan saya,” balas Sang Pejabat sebelum menyadari adanya kesalahan pada kalimatnya dan segera membenahi, “maksudnya kesepakatan bersama untuk kesejahteraan rakyat.”

Para penduduk terdiam sejenak berusaha mencerna jawaban dari Sang Pejabat. Sekarang, Sang Kakek Tua berbaju partai yang angkat bicara, “ini ‘kan juga untuk kesejahteraan rakyat, Pak. Sesuai konstitusi negeri ini, Pak. Kami tahu peraturan kebijakan dibuat untuk kebaikan masyarakat, tapi kami belum mendapat semua dampak kebaikan itu. Dana bantuan sosial kami juga lama turunnya. Kami jadi bingung harus minta tolong kepada siapa lagi selain pada Bapak yang menjanjikan kesejahteraan empat tahun lalu.”

“Tapi saya tidak bisa seenaknya mengambil keputusan, Pak. Harus ada kesepakatan dengan pihak pejabat lainnya, jadi mohon bersabar.” Sang Pejabat tampak kewalahan dengan semua keluhan rakyat.

“Lantas, Bapak jelaskan saja fungsi pancasila kepada pihak pejabat lainnya? Agar mengerti peran pancasila dalam kesejahteraan rakyat. Bapak paham konstitusi dan demokrasi, bukan?” solusi salah seorang rakyat yany tentunya tidak didengar oleh Si Pejabat.

“Betul itu Pak, demokrasi. Bukan masalah kesepakatan bersama yang diambil dari suara terbanyak, tetapi dari semua suara yang harus didengar. Masa dari kesepakatan itu tidak ada yang mendengar suara rakyat? Katanya negeri ini demokrasi dan memiliki konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar yang menjadi konstitusi itu ada pancasila, loh, Pak. Sila kedua dan sila kelima.”

“Atau jangan-jangan Bapak takut sendiri dengan pihak pejabat lainnya? Bapak tidak berani mengutarakan keluhan kami?”

“Loh, kenapa takut begitu, Pak? Bapak ‘kan mewakili hak suara kami.”

“Bapak ini pejabat negara bukan kacung negara, kenapa takut berpendapat di depan pejabat lainnya?”

Bising.

Suara masyarakat mulai bising memenuhi gendang telinga Sang Pejabat. Menuduh macam-macam yang tentu sangat mengganggu Sang Pejabat.

“Loh, kenapa ini? Semua tuduhan itu tidak benar,” balas Si Pejabat lalu melanjutkan, “saya berjanji akan membenahi semua keluhan Bapak-Ibu apabila saya terpilih lagi nantinya. Maka dari itu saya berjanji akan memberi kesejahteraan bagi para Bapak-Ibu semua di sini.”

Beberapa orang dari pihak Sang Pejabat mengangkut satu per satu kardus dari bagasi mobil. “Nah ini, ada baju partai saya untuk Bapak-Ibu sekalian. Jangan lupa pilih saya, ya.”

“Hah? Baju partai lagi?” ujar Si Kakek Tua sembari memandangi baju partai yang sekarang ia gunakan dengan baju partai yang sedang dibagikan, bermotif sama hanya berbeda di beberapa bagian tulisan.

Sekeras apapun masyarakat mengangkat suara, rasanya hanya cuma-cuma saja. Masyarakat bagai orang bisu yang kesulitan menyampaikan pesan.

Karena ketika para bisu berbicara, akan kalah dengan dengungnya musik kekuasaan.

(***)

Bagikan Artikel Ini