Dalam sejarah Indonesia para intelektual atau cendekiawan memiliki andil yang cukup besar dalam membangun kesadaran masyarakat dan identitas bangsa. Namun, di era global ini para cendekiawan dihadapkan dengan berbagai pilihan pragmatisme yang membuat mereka lupa akan peran dan funsinya sebagai agen of chahe dalam sebuah masyarakat. Sebagai seorang yang cerdik pandai, ia harusnya memiliki sikap mental dan kesadaran sosial yang tinggi untuk melakukan perubahan-perubahan konstruktif ditengah-tengah masyarakat. Menurut KBBI generasi ialah sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya, Angkatan, turunan atau masa orang-orang satu Angkatan hidup. Tiap generasi memiliki karakteristik tersendiri. Tentunya dipengaruhi oleh lingkungan yang dihadapi semasa hidup mereka. Sehingga menimbulkan tabiat yang berbeda-beda baik dalam pola adaptasi maupun pendekatannya. Generasi kadang juga diartikan sebagai penerus keberlangsungan suatu kehidupan atau penerus keberlanjutan kemajuan bangsa. Salah satu upaya untuk mencetak generasi ini adalah dengan sekolah yang kemudian menjadi hal yang amat lumrah dimana sekolah inilah yang akan mencetak dan mewujudkan generasi-generasi yang berkualitas dan sesuai dengan harapan. Institusi ini kemudian melahirkan orang-orang yang disebut sarjana, cendekiawan, ilmuan, atau generasi intelektual yang berpikiran dan berwawasan luas dan mendalam. Serta lewat pemikiran mereka juga banyak menghasilkan berbagai teori dari ilmu pengetahuan. Namun, menurut kelompok pemikir Neo-Marxis bahwa sebenarnya dari awal abad ke-20 sekolah tidak lagi bertujuan menghasilkan pemikir yang bermanfaat bagi kehidupan praktis. Para sarjana, cendekiawan, ilmuan ataupun generasi intelektual malah sibuk di “menara gading” institusi dan hanya berkutat dengan teori-teori yang tidak berkaitan langsung dengan kemaslahatan dan kemasyarakatan. Kelompok inilah yang oleh Antonio Gramsci disebut sebagai kelompok intelektual tradisonal. Padahal termasuk dalam trilogi perguruan tinggi itu pengabdian terhadap masyarakat. Kita tidak boleh lupa jika tugas kita para cendekiawan, para intelektual bukan hanya melakukan penelitian, berkutat dengan pendidikan dan hanya belajar namun ada pengaktualisasian, harus ada pengabdian kepada masyarakat, dan itulah yang menjadi harapan. Menurut Antonio Gramsci perlu adanya generasi intelektual, para cendekiawan dan ilmuan yang turun dari menara gadingnya, dan terjun ke jalan melakukan pengabdian, pengaplikasian dan pengaktualisasian dari pengetahuan dan pemikirannya kepada masyarakat. Generasi atau kelompok ini dinamakannya dengan generasi Intektual Organik yang mampu memberikan pencerahan serta membebaskan masyarakat dari keterkungkungan mindset dan pikiran yang bersifat dogamtis dan represif. Mereka yang mampu menganalisis sosial dan mencari solusi atas permasalahnnya. Generasi inilah yang menjadi harapan bangsa, khususnya masyarakat yang mengalami ketimpangan dan memerlukan keadilan. Dalam khazanah intelektual muslim, kaum intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukan kelompok orang sudah melewati perguruan tinggi dengan menyandang gelar. Mereka juga bukan ilmuan yang hanya mendalami dan mengembangkan ilmu penalaran dan penelitian. Melainkan meraka ialah kelompok yang terpanggil memperhatiakan dan memperbaiki masyarakat, mengangkap dan menampung aspirasi mereka, serta menawarkan strategi dan mencari alternatif pemecahan masalah mereka. Kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, pengangguran, koerupsi, putus sekolah, kriminalitas, kapitalitas, kekerasan, ketimpangan adalah sederetan persoalan yang sudang lazim. Ini adalah kenyataan sosial yang tidak bisa ditolak, dan para intelektual kerap Kali hanya menjadi bagian struktur kekuasaan negara, dimana posisi mereka seharusnya bukan sebagai pembuat keputusan melainkan sebagai alat kekuasaan. Mereka tidak memfungsikan jatidirinya sebagaimana mestinya sebagai agen perubahan yang berpihak pada masyarakat. Mereka hanya berada di menara gading dengan segudang teori dibawah kontrol kekuasaan negara. Kehidupan masyarakat tercekik bukan semata-mata karna mereka malas ataupun bodoh. Tapi kondisi ini juga terjadi akibat adanya konstruk yang berupa privilese. Contohnya seseorang yang datang dari keluarga kaya yang memiliki previlise. Sedangkan seseorang yang berasal dari keluarga miskin tidak memiliki privilese. Meskipun keduanya memiliki keinginan mencapai pendidikan yang sama secara signifikan. Adanya ketidaksetaraan privilese ini kemudian menyebabkan pendidikan seseorang berasal dari keluarga miskin harus berakhir dini. Konstruk tersebut juga didukung dengan kepentingan politik, kapitalisme dan rekayasa para penguasa. Dari contoh diatas, kita diharapkan dapat melihat secara lebih luas dan mengetahui bagaimana keadaan sosial yang ada disekitar. Sebagai generasi intelektual organik kita dituntut untuk menentukan sikap yang berorientasikan pada perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dengan memperjuangkan dan membebaskan masyarakat dari sistem kapitalsime untuk mewujudkan sistem yang sosialis bagi kaum tertindas, ikut membantu dan memperjuangkan hak-hak mereka yang tercekik atas ketimpangan-ketimpangan yang ganjal dan tidak merata, maka generasi intelektual organik menjadi harapan masyarakat tercekik. DAFTAR PUSTAKA Afandi, A. (2011). Gerakan Sosial Intelektual Muslim Organik dalam Transformasi Sosial. Religio: Jurnal Studi Agama-Agama, 1(2). Dalam, P., Laut, N., Karya, B., & Chudori, L. S. (2019). ABSTRAK MIRNASARI USMAN , 2019 . “ Perlawanan Kaum Intelektual terhadap Hegemoni Kekuasaan Pemerintah dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S . Chudori ”. Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia , Fakultas Bahasa dan Sastra , Universitas Negeri Makas. Maulana, S. (2015). Ruang Publik dan Intelektual Organik. Jurnal ILMU KOMUNIKASI, 12(1), 119–133. Yahya, F. A. (2019). MEMBANGUN MASYARAKAT BERDAYA (Telaah Atas Kontruksi Teori Hegemoni dan Intelektual Organic Antonio Gramsci). Dialogia: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 16(2), 275–295.
Tanggal 28 Oktober merupakan hari Sumpah Pemuda bagi Bangsa Indonesia. Sebagaimana sejarah mencatat bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 silam, para pemuda memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Berbagai kelompok pemuda dari seluruh penjuru nusantara hadir dalam sebuah Kongres untuk menyuarakan aspirasi yang sama yaitu persatuan dan kesatuan, mereka menginginkan perubahan dan terbebas dari cengkeraman penjajahan bangsa Belanda (liputan6.com). Di kalangan santri istilah hubbul wathan minal imán sudah tak asing lagi tentunya. Jargón ini bukanlah hadis maupun ayat al-qur’an, melainkan fatwa yang di cetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari saat ditanyai hukumnya membela negara oleh bung Karno(Jurnal kanwil kemenag,2016). Jika kita kaitkan, sumpah pemuda merefleksikan bahwa pemuda harusnya siap mengorbankan dirinya pada Tanah Air dan Bangsa Indonesia agar terwujudnya bangsa yang satu dan merdeka, namun tentunya sebagai santri kewajiban kita bukanlah hanya membela negara tetapi juga membela dan memelihara agama. Makna sumpah pemuda sekarang ini bukan lagi berperang memperjuangkan kemerdekaan dari penjajajahan semata, melainkan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini dengan berperang melawan kebodohan, berperang melawan tantangan zaman yang kian hari kian berubah, kian hari kian memanas atau bahkan mengganas. Dan saat ini kita berada di era revolusi industri4.0. dimana segala aspek kehidupan manusia sangat bergantung pada teknologi dan inovasi. Era 4.0 ini tidak mungkin kita hindari namun harus kita hadapi. Seperti pesan bijak berikut “lambat terhambat, malas tergilas, meleng terpelanting dan berhenti mati”(MSQ,2018). Ini artinya pemuda harus mampu beradaptasi dengan teknologi, terus berkreasi dan berinovasi dan ikut berpartisipasi membangun negri. Dikutip dari Hasil Sensus Penduduk 2020, jumlah generasi muda mencapai 75,49 juta jiwa atau setara dengan 27,94 persen dari total seluruh populasi penduduk di Indonesia(BPS,2020). Secara kuantitas angka 27,94 persen ini cukuplah besar, namun belum tentu secara kualitas. 10-20 tahun kedepan di Indonesia para generasi mudalah yang akan menempati posisi tertinggi. Hal ini bisa menjadi peluang yang sangat strategis bagi indonesia untuk melakukan percepatan pembangunan dengan ketersediaan SDM yang produktif dan berkualitas. Atau bisa juga menjadi jurang, jika pemuda indonesia tidak mempunyai kualitas dan tidak siap untuk berproduktifitas. Berbicara pemuda di Indonesia, tidak terlepas dari pemuda Islam atau yang disebut santri. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya islam, membangun santri artinya membangun pemuda indonesia dan kebangkitan santri artinya kebangkitan pemuda indonesia, karna bagaimanapun sumpah pemuda tak terlepas dari gerakan kebangkitan islam di nusantara. Sumpah pemuda diawali dengan berdirinya ormas-ormas islam modern, seperti SDI, SI, jami’atul khair, muhammadiyah, persis, nahdhatul ulama dan lainnya. Sumpah pemuda terinspirasi dari semangat kebangsaan dan kemerdekaan yang diusung oleh gerakan gerakan islam(Islampos.com,2018). Kekuatan sebuah bangsa terletak ditangan para pemudanya. Jika para pemuda dalam suatu negara mengalami kerusakan moral dan agama, maka nasib bangsa sudah tak terarah nantinya. Karna bagaimanapun, pemuda adalah kader bangsa yang harus terbina dengan segala bentuk pendidikan. Pemuda merupakan komponen penting dan perlu dilibatkan dalam pembangunan bangsa, baik di kawasan nasional maupun daerah daerah. Beberapa peran dari pemuda ialah:(kesrasetda.bululungkab.go.id,2020.) Pertama, Agen of change (agen perubahan). Pemuda Indonesia sebenarnya memiliki peranan untuk menjadi pusat dari kemajuan bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam hal ini dapat dilakukan melalui pengadaan perubahan-perubahan dalam lingkungan masyarakat, baik secara nasional maupun daerah melalui perubahan-perubahan positif yang dapat dilakukan seperti berkreasi atau berinovasi dengan terus menambah wawasan dan pengalaman. Kedua, Agen of developmet (agen pembangun). Artinya bahwa para pemuda Indonesia memiliki peran dan tanggung jawab dalam upaya melancarkan atau melaksanakan berbagai macam pembangunan di berbagai macam bidang, baik pembangunan nasional maupun pembangunan daerah. diperlukan adanya upaya bagaimana potensi dan produktifitas yang ada di diri para generasi muda dapat dikembangkan secara bersama-sama demi mencapai tujuan pembangunan bangsa Indonesia dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang. Ketiga, Agen of modernizations (agen pembaharuan). Artinya bahwa para pemuda Indonesia wajib memiliki kemampuan dalam menganalisa perubahan zaman yang pastinya memberi pengaruh besar pada bangsa Indonesia. Seperti sekarang ini kita memasuki revolusi industri 4.0. bisakah pemuda Indonesia melakukan pembaharuan menuju revolusi industry 5.0? jawabannya bisa jika mau terus menggali dan mempelajari teknologi. Keempat, Membangun Pendidikan. Pendidikan merupakan suatu pondasi dari berbagai peranan diatas,Oleh sebab itu, wajib berpendidikan juga penting untuk ditanamkan pada generasi muda bangsa Indonesia. Beberapa peran pemuda dalam membangun pendidikan di Indonesia juga dapat dilihat dari adanya banyak relawan-relawan mahasiswa yang tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Dan kelima, Memiliki semangat juang yang tinggi. Pemuda memiliki fisik yang kuat, pengetahuan yang baru dan inovatif, juga memiliki kreatifitas yang tinggi melalui ide-ide untuk membangun dan memajukan negri. Hal ini tentunya sangat berperan penting bagi nasib negri. Dengan adanya peran pemuda yang signifikan, apalagi santri yang memiliki moral tinggi dapat menjadi suatu langkah atau pintu awal bagi bangsa Indonesia untuk menjadi lebih maju dan berkembang. Namun yang disayangkan saat ini jika santri tak mau berinovasi, ikut campur permasalahan negri, dan hanya berfokus pada mengaji. Indonesia saat ini butuh pemuda pemudi, butuh santri untuk terus berinovasi ditengah gempuran revolusi industri. Butuh pemuda pemudi yang bukan hanya pintar namun juga bermoral. Demikian ulasan mengenai peran pemuda pemudi dan santri terhadap nasib negri.