Author: Risya Fahira Lubis

Conventional Freezing vs Cryogenic Freezing: Teknologi Pembekuan Produk Perikanan

Produk perikanan merupakan produk pangan yang bersifat perishable atau mudah rusak karena kandungan nutrisinya yang tinggi seperti kadar protein, lemak, mineral dan komponen nutrisi lainnya (Tacon dan Metian 2013; Domingo 2016). Hal ini menyebabkan produk perikanan mudah mengalami autolisis, peningkatan aktivitas mikroba, oksidasi dan reaksi enzimatis setelah kematian (Nagarajarao 2016; Boziaris dan Parlapani 2017). Pembekuan merupakan teknik terbaik untuk mengawetkan produk perikanan karena dapat memperpanjang umur simpan tanpa menyebabkan perubahan kualitas yang signifikan selama masa penyimpanan (Epinoza-Rodezno 2013; Truonghuynh 2020). Pembekuan dapat menghambat perubahan tersebut dengan memperlambat reaksi biokimia dan fisikokimia pada pangan, namun hanya memperlambat tidak menghentikan terjadinya reaksi (Gokoglu dan Yerlikaya 2015). Pembekuan adalah teknik pengawetan dengan menurunkan suhu produk menjadi -18ᵒC atau suhu dibawahnya sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan memperlambat perubahan kimia yang mempwengaruhi kualitas produk atau yang menyebabkan produk menjadi rusak (Fennema et al., 1075 dan George 1993). Dalam kondisi pembekuan air bebas dari bahan pangan akan membeku dibawah suhu pembekuan awal, yang mana kondisi ini memberikan efek pengawetan pada produk. Diantara teknik pembekuan yang umumnya digunakan dalam industry perikanan adalah air blast freezing, immersion freesing, plate freezing, cryogenic freezing dan cryo-mechanical freezing, namun diantara semua teknik tersebut yang paling sering digunakan adalah air blast freezing dan cryogenic freezing (Rodezno 2013). Teknik air blast freezing merupakan teknik yang paling sering digunakan dalam industry pembekuan pangan tradisional, dimana pembekuan dilakukan menggunakan udara dingin sebagai medium pendingin untuk menurunkan suhu makanan ke titik beku hingga bagian paling tengah produk mencapai suhu -18∘C (Biglia et al., 2016). Pada teknik pembekuan air blast, udara dingin disirkulasikan di sekitar bahan pangan sehingga panas dari bahan pangan berpindah keluar bersama uap air dan suhu bahan pangan pun menurun. Air blast freezing menghasilkan proses pendinginan yang lambat atau slow freezing, yang membentuk kristal es yang besar pada dinding sel bahan pangan sehingga menyebabkan penetrasi oksigen yang menghasilkan ketengikan dan juga pencokelatan pada daging dan menyebabkan drip loss. Kelemahan utama air blast freezing adalah peningkatan total heat load akibat penggunaan fan sehingga biaya operasionalnya menjadi tinggi. Metode pembekuan tidak hanya berpengaruh pada biaya operasional, tapi juga kualitas produk yang dibekukan. Teknik air blast freezing dapat menyebabkan moisture loss pada produk produk yang tidak terbungkus dengan baik saat didinginkan (Dempsey dan Bansal 2012). Pada metode cryogenic freezing, medium pendingin seperti liquid nitrogen atau CO2 yang memiliki suhu sangat rendah dikontakkan langsung dengan bahan sehingga terjadilah perpindahan panas yang cepat atau rapid freezing (Awonorin 1989). Cryogenic freezing menggunakan sistem immersion atau spray untuk mendifusikan medium pendingin. Pada teknik spray, refrigerant disemprotkan menggunakan system cabinet tunnel, spiral atau batch. Teknik immersion freezing merupakan salah satu teknik pembekuan tercepat, disebabkan penggunaan medium pendingin yang memiliki koefisien termal yang tinggi (Qian et al., 2014). Tingginya laju pembekuan dapat meminimalisir moisture loss, drip loss dan menjaga tekstur produk pangan selama penyimpanan (Estrada-Flores 2002; Rouaud dan Le-Bail 2015). Hal ini yang menjadikan teknik cryogenic freezing menjadi salah satu teknik yang paling sering digunakan untuk membekukan produk perikanan. Laju pembekuan sangat berhubungan dengan kualitas produk (Goswami 2010). Pembekuan lambat menghasilkan kristal es yang besar yang dapat merusak jaringan bahan pangan dan menyebabkan drip loss ketika thawing, sedangkan pembekuan cepat menghasilkan kristal kristal es yang kecil dan tersebar sehingga tekstur dan kelembaban bahan pangan tetap terjaga dan tidak rusak oleh kristal es yang besar (Rodezno 2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembekuan cryogenic freezing memberikan pengaruh positif terhadap beberapa parameter pembekuan. Berdasarkan Rodezno (2013), Ikan yang dibekukan dengan cryogenic freezing memiliki freezing loss yang lebih rendah (0,37%) dibandingkan dengan ikan yang dibekukan denvan air blast freezing (0,45%). Hal ini disebabkan karena laju pembekuan yang cepat pada cryogenic freezing membentuk kristal es pada permukaan produk di awal pembekuan sehingga menurunkan laju moisture uptake pada produk (Gruji 1993). Cryogenic freezing juga menghasilkan kadar TBA (Thiobarbituric acid) yang signifikan lebih rendah pada dibandingkan dengan air blast freezing. Hal ini diduga karena lapisan es yang terbentuk di permukaan ikan pada proses rapid freezing cryogenic menjadi barrier bagi produk terhadap oksigen (Sathivel et al., 2007). TBA meningkat seiring bertambahnya masa penyimpanan dikarenakan oksidasi yang terjadi akibat kerusakan struktur seluler terutama membrane lipida akibat pembentukan kristal es instrasel (Wanous et al., 1994). Berdasarkan penelitian Zhao (2019), cryogenic freezing dapat menghambat penurunan pH dari ikan yang dibekukan. Hal ini terkait dengan pembekuan cepat pada cryogenic freezing yang menghambat reaksi biokimia, sehingga menghambat degradasi ATP yang menyebabkan pembentukan asam piruvat dan asam laktat pada otot ikan. Pada metode direct immersion dengan liquid nitrogen, bahan pangan dibenamkan dalam liquid nitrogen dan liquid nitrogen secara cepat menguap sehingga terjadilah quick freezing (Sun Pan dan Yeh 2007). Sama seperti metode air blast konvensional, cryogenic freezing juga memiliki kelemahan. Metode direct immersion cryogenic freezing seringkali menyebabkan  permukaan produk retak ketika dibekukan dikarenakan penyebaran kristal es yang sangat cepat, selain itu teknik ini juga kurang efisien (James dan James 2013). Hal ini menyebabkan metode immersion sangat jarang digunakan secara komersil. Kelemahan lainnya dari metode immersion adalah medium pendingin yang dapat terkontaminasi sehingga metode ini jarang digunakan di skala industry (Lucas dan Raoult-Wack 1998; Xu et al., 2015). Untuk mengatasi kedua hal ini dapat digunakan pengemas dan control suhu yang baik sehingga keamanan pangan dan tekstur produk yang dihasilkan tetap terjaga. Cryogenic freezing paling cocok diaplikasikan untuk produk yang memiliki permukaan besar. Meski biaya operasional cryogenic freezing lebih mahal dibandingkan system konvensional, biaya instalasi dan perawatannya lebih murah dibandingkan system konvensional (James dan James 2013). Laju pembekuan dipengaruhi oleh tipe freezer, suhu operasi dan kecepatan medium pembeku, sehingga penting untuk memiliih teknik pembekuan yang tepat agar dapat menghasilkan produk dengan kualitas tinggi serta penggunaan energi yang efisien untuk proses pembekuan (Nicholson 1973; George 1993). Proses pembekuan yang tidak tepat dapat menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan pada pangan beku seperti perubahan warna, denaturasi protein, oksidasi lemak, rekristalisasi es yang menyebabkan off-flavor, kerusakan tekstur dan dan drip loss (Chandrasekaran, 1994; Bhobe & Pai 1986; Londahl 1997). Pemilihan teknik pembekuan akan mempengaruhi konsumsi energi selama proses pembekuan (Rodezno 2013). Oleh sebab itu pemilihan teknik pembekuan yang tepat agar dihasilkan produk pangan beku berkualitas tinggi dengan penggunaan energi minimum. Hal ini akan menguntungkan pelaku industry pembekuan pangan, terutama industry frozen seafood.   Daftar Pustaka Awonorin, S. 1989. A model for heat transfer in cryogenic food freezing. International Journal of Food Science & Technology, 24(3), 243-259. Bhobe, A., & Pai, J. (1986). Study of the properties of frozen shrimps. Journal of Food Science and Technology, 23(3), 143-147. Biglia A, Comba L, Fabrizio E, Gay P, Aimonino DR. 2016. Case studies in food freezing at very low temperature. Energy Procedia 101: 305-312. Boziaris IS and Parlapani FF. Specific spoilage organisms (SSOs) in fish. The microbiological quality of food (2017): 61-98. Chandrasekaran, M. (1994). Methods for preprocessing and freezing of shrimps: a critical evaluation. Journal of Food Science and Technology, 31(6), 441-452. Domingo JL. Nutrients and chemical pollutants in fish and shellfish. Balancing health benefits and risks of regular fish consumption. Crit Rev Food Sci Nutr 56 (2016): 979-988. Espinoza-Rodezno, L. A., Sundararajan, S., Solval, K. M., Chotiko, A., Li, J., Zhang, J., Alfaro, L., Bankston, J. D., & Sathivel, S. Rodezno, L. A. E., Sundararajan, S., Solval, K. M., Chotiko, A., Li, J., Zhang, J., & Sathivel, S. 2013. Cryogenic and air blast freezing techniques and their effect on the quality of catfish fillets.Lebensmittel-WissenschaftTechnologie,54(2),377-382. http://dx.doi.org/10.1016/j.lwt.2013.07.005. Estrada-Flores S. Novel cryogenic technologies for the freezing of food products. The Official Journal of Airah (2002): 16-21. Fennema, O. R., Karel, M., & Lund, D. B. (1975). Freezing preservation. In O. R. Fennema (Ed.), Principles of food sciences part II. Physical principles of food preservation (pp. 173e215). New York, NY: Marcel-Dekker. George, R. 1993. Freezing processes used in the food industry. Trends in Food Science & Technology, 4(5), 134-138. Gokoglu N and Yerlikaya P. Freezing and frozen storage of fish. Seafood chilling, refrigeration and freezing: science and technology. John Wiley and Sons (2015): 186- 207. Goswami, T. K. (2010). Role of cryogenics in food processing and preservation. International Journal of Food Engineering, 6(1). Grujic, R., Petrovic, L., Pikula, B., & Amidzic, L. 1993. Definition of the optimum freezing rate d 1. Investigation of structure and ultrastructure of beef M. longissimus dorsi frozen at different freezing rates. Meat Science, 33(3), 301-318. James SJ, James C. 2014. Food Technologies: Freezing. Editor(s): Yasmine Motarjemi, Encyclopedia of Food Safety, Academic Press. Pages 187-195, ISBN 9780123786135, https://doi.org/10.1016/B978-0-12-378612-8.00266-3. Londahl, G. (1997). Technological aspects of freezing and glazing shrimp. Infofish International, 3, 49-56. Lucas, T., & Raoult-Wack, A. (1998). Immersion chilling and freezing in aqueous refrigerating media: review and future trends: Refrig  eration  et congelation par immersion dans des milieux refrigerants: revue et  tendances futures. International Journal of Refrigeration, 21, 419–429. Nagarajarao RC. Recent advances in processing and packaging of fishery products: A review. Aquatic Procedia 7 (2016): 201-213. Nicholson, F. 1973. The freezing time of fish. Food and Agricultural Organization of the United Nations. Qian P, Zhang Y, Shen Q, et al. Effect of cryogenic immersion freezing on quality changes of vacuum-packed bighead carp (Aristichthys nobilis) during frozen storage. J Food Process Preserv 42 (2018): 1-7. Rouaud O and Le-Bail A. 2015. Optimizing combined cryogenic and conventional freezing with respect to mass loss and energy criteria. International Congress of Refrigeration, Yokohama, Japan. Sathivel, S., Liu, Q., Huang, J., & Prinyawiwatkul, W. (2007). The influence of chitosan glazing on the quality of skinless pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha) fillets during frozen storage. Journal of Food Engineering, 83(3), 366e373. Sun Pan B, Yeh WT. 2007. Biochrmical and morphological changes in grass shrimp (Peneus mondon) muscle following freezing by air-blast and liquid nitrogen methods. Journal of Food Biochemistry 17(3):147 – 160. DOI:10.1111/j.1745-4514.1993.tb00464.x Tacon AGJ and Metian M. Fish matters: importance of aquatic foods in human nutrition and global food supply. Reviews in Fisheries Science 21 (2013): 22-38. Truonghuynh HT, Li B, Zhu H, Guo Q, Li S. 2020. Freezing methods affect the characteristics of large yellow croaker (Pseudosciaena crocea): use of cryogenic freezing for long-term storage. Food Sci. Technol, Campinas, 40(Suppl. 2): 429-435. Wanous, M. P., Olson, D. G., & Kraft, A. A. (1989). Pallet location and freezing rate effects on the oxidation of lipids and myoglobin in commercial fresh pork sausage. Journal of Food Science, 54(3), 549-552. Xu, B-G., Zhang, M., Bhandari, B., Cheng, X-F., & Sun, J. (2015). Effect of ultrasound immersion freezing on the quality attributes and water distributions of wrapped red radish. Food and Bioprocess Technology, 8, 1366–1376. Zhao Y, Ji W, Chen L, Guo J, Wang J. 2019. Effect of cryogenic freezing combined with precooling on freezing rates and the quality of golden pomfret (Trachinotus ovatus). J Food Process Eng. 2019;e13296. https://doi.org/10.1111/jfpe.13296

“Alternative Protein”: Pangan Masa Depan yang Menjanjikan

Saat ini jumlah penduduk dunia sudah mencapai 7.874.966.000 jiwa, dan diperkirakan akan menjadi 9,7 miliar jiwa di tahun 2050. Dengan jumlah sebanyak ini, pemenuhan kebutuhan pangan menjadi sebuah tantangan besar mengingat sumber daya alam yang kian terbatas. Hal ini juga diperburuk dengan kondisi perubahan iklim  yang dampaknya akan sangat besar bagi sektor pertanian. Di tengah krisis sumber daya alam, perubahan iklim serta ancaman ketahanan pangan, permintaan akan produk daging dan turunannya justru semakin meningkat. Sejak 50 tahun yang lalu, permintaan produk daging terus bertumbuh hingga menjadi tiga kali lipat. Setiap tahunnya, secara global sector peternakan menghasilkan sekitar 1,5 miliar sapi, 23 miliar ayam, 1 miliar babi, 1 miliar domba, dan sejumlah hewan ternak lainnya. Jika dijumlahkan, 340 juta ton daging diproduksi setiap tahunnya. Tingginya permintaan ini tak lepas dari peningkatan gaya hidup masyarakat dan meningkatnya kesejahteraan ekonomi. Permasalahnya, daging ternak adalah sumber pangan yang resource intensive atau membutuhkan banyak sumber daya. Daging didapatkan dari hewan ternak, yang membutuhkan pakan, air bersih serta lahan yang luas untuk membesarkannya. Perkiraannya, 1/3 hasil pertanian global yang kita berikan pada ternak dapat memberi makan 3,5 miliar orang di dunia. Saat ini hewan ternak seperti sapi sering kali diberi pakan kedelai atau jagung untuk meningkatkan massa tubuhnya. Jika melihat kondisi penduduk di beberapa tempat yang mengalami kelaparan, seharusnya kedelai dan jagung ini bisa menjadi makanan untuk manusia. Selain itu, 77% dari luas lahan pertanian dunia digunakan untuk aktivitas peternakan, artinya hanya 23% lahan pertanian yang digunakan untuk menghasilkan pangan nabati untuk konsumsi manusia. Padahal sebagian besar diet masyarakat dunia didominasi oleh pangan nabati. Dapat dibayangkan, jika kita mengandalkan sumber protein nabati, maka akan bisa memenuhi kebutuhan pangan lebih banyak orang. Daging yang dihasilkan oleh ternak juga tidak sebanding dengan sumber daya yang telah dikorbankan. Untuk menghasilkan 1 kg daging sapi, butuh 25 kg pakan yang artinya hanya 4% dari pakan yang dapat diubah menjadi daging. Terlebih lagi penggunaan lahan untuk peternakan telah menghabiskan 45,1 juta hektar area hutan sampai tahun 2015. Dari yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa berternak bukanlah cara yang paling efisien dan paling ramah lingkungan untuk menghasilkan protein. Apalagi dengan jumlah populasi manusia yang semakin meningkat dan krisis iklim, sehingga butuh sumber sumber alternatif lain untuk menghasilkan protein di masa depan. Alternatif yang ditawarkan haruslah lebih efisien, ramah lingkungan dan murah untuk memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah. Mungkin kita pernah membayangkan hal hal futuristik seperti makanan yang diproduksi di laboratorium, atau makanan yang dihasilkan dari udara. Nyatanya saat ini hal itu bukan lagi khayalan science fiction belaka. Sebuah Food Tech Startup asal California, Air Protein mengumumkan peluncuran produk pertamanya di tahun 2019. Produk Air protein merupakan protein powder yang diciptakan menggunakan elemen elemen yang terdapat pada udara. Air protein menggunakan bakteri hydrogenotroph yang dapat mengubah karbon dioksida, nitrogen, oksigen dan uap air di udara menjadi biomassa protein. Produk ini terdiri dari 80% protein dengan kandungan asam amino esensial lengkap, mineral, dan vitamin B12. Dalam press releasenya pada November 2019 disebutkan, “Air Protein is establishing a new industry of sustainable food that solves growing global food demands without the need for arable land “. Ini adalah solusi pangan yang kita butuhkan saat ini, pangan yang dihasilkan dengan minimum sumber daya, efisien dalam penggunaan air dan lahan, serta lebih ramah lingkungan. Keunggulannya terlebih lagi karena sumber utama makanan untuk memperbanyak biomassa bakteri ini adalah karbon dioksida. Yang artinya, bukan saja dapat menghasilkan protein dengan sumber daya minimal, tapi juga dapat membantu menyerap gas karbon dioksida yang merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. Tidak akan berhenti disitu, ruang untuk berinovasi terbuka luas bagi Air Protein yang juga mengembangkan line product lainnya dengan berbahan dasar protein powder. Dari satu jenis bahan, bisa dihasilkan berbagai macam produk seperti daging analog serta produk produk turunannya. Startup lain juga bergerak di bidang yang sama yaitu memproduksi protein alternatif, namun kali ini dengan metode yang berbeda. Eat Just merupakan perusahaan asal California yang baru saja mengkomersialkan “cultivated meat” pertamanya pada Desember 2020 lalu. Lab-grown chicken dari Eat Just yang dikomersialkan di Singapura ini merupakan Cultivated Meat pertama di dunia yang menerima regulatory approval. Cultivated meat atau Cultured Meat, atau Lab-grown meat merupakan daging yang dihasilkan dari kultur sel punca hewan ternak, yang akan berdiferensiasi membentuk jaringan dan serat serat seperti daging. Singkatnya, metode ini dapat menghasilkan daging sungguhan, bisa berupa daging sapi, ayam, atau hewan lainnya tanpa harus membesarkan hewan ternak, memberi makan, merawat hingga menyembelih. Oleh sebab itu cultivated meat disebut dengan clean meat, karena daging ini diproduksi tanpa mengonsumsi banyak lahan, pakan serta tanpa buangan gas metana yang biasa dihasilkan hewan ternak. Bukan berarti tak ada yang dikorbankan, sampai saat ini Cultivated Meat masih menggunakan Foetal Bovine Serum (FBS) dalam proses produksinya. FBS merupakan serum yang dihasilkan dari janin sapi yang mengandung komponen komponen esensial untuk perkembangan sel. Saat ini Eat Just sedang mengembangkan pengganti dari FBS yang terbuat dari sumber nabati dan dari hasil fermentasi mikroba, dengan begitu cost produksi juga akan semakin turun dan paritas harga akan dapat dicapai. Masih banyak lagi tantangan untuk menyempurnakan cultivated meat, mulai dari membentuk jaringannya untuk menyerupai struktur dan tekstur daging, bagaimana agar daging dari cultivated meat tidak hanya berupa jaringan otot tapi juga mengandung lemak dalam seperti pada daging konvensional, dan banyak tantangan lainnya. Butuh inovasi, kreativitas serta sains dan teknologi untuk bisa mewujudkan hingga menyempurnakan cultivated meat untuk menjadi makanan yang awam di masyarakat. Kedua startup yang telah disebutkan sebelumnya hanyalah sebagian kecil dari sektor protein alternatif yang sedang berkembang pesat saat ini. Masih ada jenis protein alternatif lainnya yaitu plant-based protein. Plant-based protein mungkin adalah yang paling familiar jika dibandingkan dengan Cultivated Meat ataupun fermentation based protein. Berbagai macam produk plant-based telah beredar di pasaran sejak lama. Daging analog, susu, serta berbagai produk analog lainnya yang terbuat dari kedelai, polong, gandum, berbagai macam serealia dan kacang kacangan sudah popular sejak lama. Namun daging analog kali ini agak berbeda dan mendapat banyak perhatian public. Pasalnya dua startup plant based-meat yaitu Beyond Meat dan Impossible Food mengeluarkan produk plant-based burger yang memiliki rasa persis burger sungguhan. Targetnya bukan lagi konsumen vegetarian, melainkan masyarakat awam yang sehari harinya memakan daging. Oleh sebab itu produk produk mereka didesain untuk memiliki rasa yang tidak berbeda dari daging sungguhan, dan diharapkan dapat menggantikan posisi daging kedepannya. Memang sulit untuk meniru rasa autentik dari daging yang meaty, savory, juicy. Namun dengan menggabungkan sains, teknologi dan kreativitas  segala hal bisa terwujud, segala masalah dapat disolusikan. Kedua perusahaan tadi telah banyak mengeksplor berbagai macam sumber nabati, serta memanfaatkan mikroba untuk menghasilkan bahan bahan yang sulit didapatkan dalam jumlah banyak di alam. Seperti untuk meniru rasa dan aroma meaty yang berasal dari komponen heme pada darah, Impossible Food mencari alternatif lain yaitu menggunakan heme yang dihasilkan oleh bakteri pengikat nitrogen-rhizobia pada nodul akar kedelai. Sayangnya jumlah heme yang dihasilkan oleh nodul kedelai sangat sedikit. Untuk mengatasi hal ini, Impossible Food menyisipkan gen pengkode heme pada kedelai ke dalam ragi, sehingga ragi dapat menghasilkan komponen heme ini dalam jumlah yang lebih banyak. Banyak startup Alternative Protein yang bermunculan beberapa tahun terakhir, membawa banyak inovasi produk demi memenuhi kebutuhan pangan dunia yang terus bertambah. Bukan dengan cara yang eksploitatif, namun dengan mengutamakan aspek kelestarian lingkungan serta sustainability. Jejaring startup Alternative Protein ini telah menjadi segmen pasar baru, yang akan terus menghasilkan berbagai macam solusi pangan kedepannya. Ini adalah kesempatan besar bagi Food Technologist untuk berkontribusi dan berkarya bagi masa depan pangan. Seperti di beberapa negara lainnya yang sedang mengembangkan industry Alternative Protein seperti Amerika Serikat, Cina, Canada, Singapura dan India, popularitas protein alternatif di Indonesia juga semakin meningkat. Sebut saja Burgreens, Lococo, Madgrass, Plantful, Eggnot pasti sudah sangat familiar bagi komunitas vegetarian khususnya di Jakarta. Terlebih lagi dengan diadakannya kompetisi pendanaan startup alternatif protein oleh Float Food-startup asal Singapura 2020 lalu, berbagai UMKM lokal memanfaatkan kesempatan ini untuk menampilkan produk produknya. Dapat dibayangkan jika teknologi pangan bergabung dengan kreatifitas umkm dan keberagaman pangan lokal Indonesia, maka bukan hanya akan menghasilkan solusi untuk pangan berkelanjutan, tapi juga membuka segmen pasar baru dan menjadi peluang lapangan kerja di Indonesia. Lalu, siapkah kita membangun masa depan pangan? Daftar Pustaka Air Protein. 2019. Press release. www.airprotein.com.  Diakses 26 September 2021. American Scientific for Microbiology. 2019. The Microbial Reasons Why the Impossible Burger Tastes So Good. asm.org. Diakses 27 September 2021. Cassidy ES, West PC, Gerber JS and Foley JA. 2013. Redefining agricultural yields: from tonnes to people nourished per hectare. Environ. Res. Lett 8(3): 1-8 CNBC. 2021. This multibillion-dollar company is selling lab-grown chicken in a world-first.  www.cnbc.com. Diakses 26 September 2021. Food Navigator USA. 2019. Air Protein: The most sustainable meat analogs are made from microbes and thin air. www.foodnavigator-usa.com. Diakses 26 September 2021. Scientific American. 2018. Lab-grown meat. www.scientificamerican.com. Diakses 27 September 2021. Shepon E, Eshel G, Noor E and Milo R. 2016. Energy and protein feed-to-food conversion efficiencies in the US and potential food security gains from dietary changes. Environ. Res. Let 11(10): 1-8. WIRED. 2018. The clean meat industry is racing to ditch its reliance on foetal blood. www.wired.co.uk. Diakses 27 September 2021. World Economic Forum. 2019. This is how many animals weeat each year. www.weforum.org. Diakses 26 September 2021. World in our data. 2019. Half of the world’s habitable land is used for agriculture. ourworldindata.org. Diakses 26 September 2021.