Beranda » Apa Salahnya si Tua Renta Hidup

Apa Salahnya si Tua Renta Hidup

Kata orang, diriku sudah tua renta, terlihat tak berkecukupan yang menjaga dirinya melalui kesendirian. Melihat sesuatu dari kedua mata, bukan berarti hal itu yang benar-benar terjadi. Aku merasa hidupku damai, berkecukupan, meski benar katanya bahwa diriku tua renta menyendiri.

Perihal apa yang sudah terjadi dalam kehidupanku, tak kupungkiri bahwa hidupku memang sebatang kara. Lahir tepat sepuluh tahun setelah kemerdekaan, di bawah jembatan lintas perkotaan, ibuku melahirkanku sekaligus meninggalkanku, bapakku entah kemana. Sampailah 63 tahun hidupku menyendiri tanpa kasih saying, juga tanpa pasangan.

Sudah terlalu wajar tatapanku dipenuhi wajah-wajah manusia yang merasa iba dan simpati. “Dek, tolong beri roti ini pada Ibu itu, ya! Kasihan, sepertinya ia belum makan,” suruh seorang ibu pada anaknya.

Diriku tak menyangkal, memang benar aku terlihat menyedihkan. Jika tak memiliki semangat hidup, sudahlah aku terlihat sangat menyedihkan. Untuk apa menyesal pada takdir, jika memang sudah merasa berusaha yang terbaik? Maka dari itu,hidupku damai.

Pernah hatiku menangis, Ketika kakiku terus bergerak di atas aspal saat di sampingku penuh akan kaki yang hanya diam ataupun yang terus menginjak gas pada kendaraanya, namun hatiku meringis Ketika akal dan pikiranku masih diberi rasionalitas saat ada yang akal pikiran rasionalnya hilang sebab kehidupan duniawi.

Ketika beranjak pada umurku yang ke-70, aku semakin renta. Apa hidupku masih damai? Ya, sebelum esoknya ada yang mengusik kehidupanku.

“Mentang-mentang saya nenek tua miskin, bukan berarti saya mau disuruh untuk meminta-minta! Mentang-mentang kalian preman, bukan berarti dunia memihakmu dan merasa pantas untuk memaksa-mak—”

Teriakanku menggema ungkapkan emosi. Istilah orang muda bilang, bogem mentah langsung menghantam wajahku sebelum aku menyelesaikan ucapanku. Aku sudah tua, menghadapi ini jelas kesadaranku hilang. Lantas terbangun pada udara yang terasa pengap, lengan dan kakiku ditali dan tak kuasa untuk bangkit. Waktu terus berlalu, disadari ternyata bukan hanya aku du dalam ruangan pengap ini, puluhan manusia menyedihkan tertidur tak kuasa untuk bangkit berontak.

Diriku lemas tanpa asupan makanan sedikitpun, lalu tiba-tiba dipaksa untuk meminta-minta Ketika matahari sudah tenggelam. Bagaimana ini? Aku tak kuasa untuk berusaha. Berdiri pun, kakiku gemetar. Apakah hidup masih damai? Ya, aku masih punya semangat hidup.

Terlelap aku di kursi taman dengan udara dingin yang menusuk. Aku terbangun Ketika bahu serasa dipukuli oleh seseorang. Ternyata hari masih gelap. “Bu, ini tempat saya!” kata seorang wanita muda. Walau ingin membantah, namun aku memilih diam dan langsung beranjak  dengan tubuh yang semakin lemas.

Samar-samar kudengar, “Sudah tua, mati saja sana!”

Aku terkejut. Apa maksud Wanita muda tersebut? Begitukah sikap seorang anak muda? Apa aku yang terlalu lenyap dalam kesendirian, hingga tak sadar sikap asli manusia zaman sekarang?

Bibirku kelu, tubuhku lemas. Jatuh terduduk, menganggapi fakta aku sudah tua. Aku menyadari, tak lagi yang muda menghormati yang tua.

Andaikan usia adalah hari, mungkin memang sudah senja, matahari pun berkedip sayu, tak lagi bersinar terang, kalah jika dibandingkan pagi. Senja tak terima, jika dianggap tak layak menjadi bagian dari hari.

Apa salahnya senja diberi hak untuk tetap menyinari hari meski sayup-sayup? Toh sayupnya matahari sebelum terbenam masih selalu dipandang.

Jadi, apa salahnya aku hidup. Anak muda?

Bagikan Artikel Ini