Beranda » Analisis naskah drama Wek-wek karya D.Jajakusuma

Analisis naskah drama Wek-wek karya D.Jajakusuma

Naskah drama yang ditulis oleh Djaduk Djayakusuma ini bercerita tentang tipu menipu, sebuah intrik yang mudah kita temukan di zaman modern sekarang ini, yakni Bagong sebagai bos (juragan) bebek dengan Petruk sebagai pengagon (penggembala) bebek. Konflik tuan dan hamba itu juga akhirnya menjangkau Gareng yang berprofesi sebagai pengacara dengan Semar sebagai penguasa kelurahan.

Kemudian muncul permasalahan dalam lakon penuh komedi satir tersebut ketika Bagong kehilangan dua bebek. Petruk yang miskin tak dapat mengganti kerugian sang majikan. Lalu, datanglah Gareng. Setelah bersepakat soal imbalan, Gareng berjanji membantu Petruk untuk mengatasi persoalan tersebut.

Pada persidangan yang dipimpin Semar, Gareng merencanakan akal-akalan untuk mengelabui Bagong dengan bahasa Wek-Wek. Akal-akalan Gareng berhasil. Semar memutuskan Petruk tidak bersalah. Sebaliknya, Bagong harus mengganti segala kerugian Petruk yang merasa diperlakukan tidak adil selama bekerja.

Gareng yang berhasil memenangkan Petruk pun datang menagih janji. Dia tak cuma meminta uang, tetapi juga seekor bebek yang ternyata disembunyikan Petruk. Saat Gareng sibuk mencari-cari bebek, Petruk membawa pergi semua uang dari Gareng.

Masalah yang menimpa Petruk tidak sederhana, persoalan telur dan bebek adalah persoalan bahasa. Persoalan bahasa adalah persoalan komunikasi. Persoalan tersebut adalah persoalan lambang dan pemahaman.

Itu sebabnya Semar dan Gareng si pengacara culas mencoba menjembatani Petruk dan Bagong meski komunikasi mereka jadi aneh dan membingungkan. Perkara tersebut harus diselesaikan sebagai perkara Wek-Wek.

Terjadi tipu-menipu antar tokoh, terlebih lagi pada Gareng, Semar, dan Bagong. Seakan menjadi lumrah sehingga setiap tokoh perlu memainkan tipuan di atas tipuan lain. Akhirnya, yang terjadi adalah praktek kecerdikan menipu. Ini menjadi gambaran yang nyata dalam kehidupan manusia. Memotret keculasan dan kecerdikan dalam kasus hukum.

“Zaman ini zaman edan, tidak ikut edan tidak kebagian,” kata Bagong. Karakter Bagong dan Semar dalam naskah karya Anton Chekov yang diadaptasi oleh Djaduk Djayakusuma ini sedikit banyak menjadi analogi kalangan super-class, pengusaha atau pejabat, dalam kehidupan nyata. Di mana kalangan tersebut seperti tidak pernah peduli dengan apa yang telah terjadi. Menutup mata dengan hasil tindakannya. Cari aman masing-masing.

Lakon ini sebetulnya ingin menggambarkan sebuah kondisi dan situasi masyarakat yang pernah dan kini terjadi. Menjadi potret buram di mana terjadi saling tuding antar individu atau instansi. Yah, seperti perselisihan antara cicak dan buaya.

Sebenarnya lakon ini adalah komedi, membuat penonton tertawa hanya saja yang memerankannya tidak bisa menjadi aktor pada permainan ini sehingga drama ini sangat membosankan dibanding dari penampilan sebelumnya.

Bagikan Artikel Ini