Beranda » Fanatisme Politik yang Mengancam Demokrasi di Indonesia

Fanatisme Politik yang Mengancam Demokrasi di Indonesia

Ilustrasi - Sumber Foto : Dokumentasi Penulis

Apa yang kalian pikirkan jika melihat atau mendengar kata “Fanatisme”? sudah pasti yang akan kalian pikirkan adalah perilaku yang berlebihan terhadap suatu hal yang disukai atau diidolakan, masyarakat sendiri terkadang suka melabeli seseorang yang sedang semangatnya memuja dan menyukai idolanya sebagai sikap fanatisme. Namun di dunia politik ternyata ada lho sikap fanatisme itu, kira-kira bagaimana ya sikap fanatisme di dalam politik? Yuk mari kita bahas!

Menurut Chaplin, fanatisme adalah sebuah sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap suatu segi pandangan atau suatu sebab. Jadi seseorang yang terkena sikap fanatisme ini pasti sudah tidak akan mau mendengar ucapan, kritik, dan saran dari orang lain karena merasa bahwa apa yang dia percaya atau dia puja adalah hal yang mutlak, alias sudah tidak bisa diganggu gugat! Bayangin deh kalau kamu sedang menasihati teman kamu yang sedang mengidolakan sesuatu secara berlebihan bahwa sikap fanatisme yang sedang dialaminya itu bukanlah perilaku yang baik, lalu teman kamu malah memarahi kamu secara berlebihan.

Nah kalo udah kaya gitu sih kemungkinan besar teman kamu sudah terkena sifat fanatisme. Kalau mungkin teman kamu mengidolakan Klub bola, penyanyi luar negeri, boyband dan girlband secara berlebihan. Kalau di dunia politik kurang lebih sama, yang membedakan adalah orang yang memiliki sikap fanatisme ini cenderung berlebihan dalam memuja para pejabat politik ataupun orang-orang yang ingin terjun ke dunia politik saat pemilihan umum. Mereka akan melakukan apa saja agar ‘idolanya’ ini bisa menang saat bertarung dengan kubu lawannya sehingga di dalam diri mereka terasa rasa puas, namun jika idolanya kalah. Maka mereka akan marah besar karena tidak terima idolanya kalah. Dimata mereka, idolanya yang paling benar.

Sikap fanatisme ini tidak terjadi begitu saja, menurut Viktor Frankl orang yang miliki sikap fanatisme pada dasarnya tidak memiliki pendapat sendiri. Karena pendapat yang mereka pegang merupakan cerminan opini publik atau penguasa atau pemimpinan. Mereka seakan-akan dikuasai oleh pendapat itu sendiri. Jadi mereka cenderung mengikuti pendapat orang lain karena tidak punya pendirian yang tetap, nah orang-orang seperti ini nih yang akan dengan mudahnya terkena hoax atau bahkan dicuci otaknya oleh orang lain. Orang-orang seperti itu pula yang dibutuhkan pejabat dan calon pejabat untuk mempertahankan kekuasaannya atau menyingkirkan kekuasaan orang lain.

Apakah kalian masih mengingat peristiwa politik panas yang pernah terjadi di indonesia? Peristiwa politik pemilihan presiden tahun 2019 sepertinya tidak akan bisa kita lupakan begitu saja, banyak sekali kericuhan yang terjadi diantara dua pendukung pasangan calon presiden 2019. Demo di mana-mana, hoax tersebar diseluruh sosial media, dan bentrok dengan pihak aparat yang menyebabkan bertambahnya korban luka-luka dan korban yang meninggal. Selain itu sempat viral potret yang diabadikan oleh salah satu wartawan yang datang ke lokasi demo dimana di dalam foto itu terdapat salah satu aparat yang sedang duduk di tengah dengan wajah kekelahan karena menghadapi pendemo yang datang sambil melakukan video call dengan keluarganya melalui smartphone.

Demo tersebut terjadi saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilihan presiden 2019 untuk periode 2019-2024 yaitu Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin berhasil memenangkan pemilu melawan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Pendukung kubu lawan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin yang mendengar pengumuman tersebut sontak marah dan merasa dicurangi, entah karena salah satu provokator atau hal lain.

Mereka berbondong-bondong ke gedung Bawaslu RI untuk meminta penjelasan mengenai hasil pemilihan presiden 2019 yang berujung bentrok dengan aparat. Bahkan usaha pedagang kaki lima menjadi korbannya, mereka menjarah dan merusak dagangan pedagang kaki lima sebagai pelampiasan emosi. Hal tersebut tentunya sangat merugikan pihak yang tidak bersalah, selain pedagang kaki lima. Masyarakat sekitar sana juga turut menjadi korban karena harus mendengar suara bising kericuhan antar pendemo dan masyarakat Hal tersebut terjadi karena tumbuhnya sikap fanatisme di dalam jiwa dan raga manusia yang dapat mengancam demokrasi dan persatuan di Indonesia, pada saat kejadian itu masyarakatpun turut khawatir dan berduka cita dengan keadaan politik Indonesia.

Yang lebih menyeramkannya lagi dari sikap fanatisme di dalam dunia politik adalah bisa membuat tali persaudaraan bisa terputus hanya karena perbedaan pilihan. Di beberapa lingkungan masyarakat, banyak sekali cerita yang beredar bahwa ada yang sampai bertengkar karena perbedaan pilihan saat pemilihan calon presiden 2019. Contoh kecilnya saja, ada orang tua yang memarahi bahkan mehakimi anaknya karena orang tuanya tahu bahwa anaknya memilih kubu lain saat melakukan penyoblosan di tempat pemungutan suara (TPS).

Selain itu, anak di bawah umur juga terkena sikap fanatisme akibat pengaruh dari lingkungan keluarga, sekolah atau bahkan masyarakat. Anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa seperti dicekoki oleh fanatisme politik yang dapat membahayakan masa depan perpolitikan Indonesia. Bayangkan saja jika semua masyarakat Indonesia memiliki sikap fanatisme dalam berpolitik, pasti negara Indonesia bisa pecah dan demokrasi akan hancur lebih cepat.

Sikap fanatisme tidak hanya muncul dari para pendukung saja namun juga muncul di kader setiap partai. Biasanya mereka akan menyewa akun buzzer untuk memfitnah dan menyebarkan hoax tentang kubu lawannya. entah itu postingan yang sangat memprovokasi atau editan foto hasil photoshop. Tak-tik tersebut biasanya berhasil untuk mempengaruhi pendukung fanatik yang tidak pernah punya pendirian dalam mengeluarkan pendapat. hal yang menyedihkan Mereka akan terus mengikuti alur permainan dari si kader tersebut. Joseph A Schlenger menyatakan bahwa konstestasi politik sejatinya selalu menyisakan rongga ambisi politik yang memunculkan fanatisme membabi buta. Apapun pasti akan dilakukan demi tercapainya suatu tujuan dari sekelompok pendukung fanatisme atau bahkan pejabat itu sendiri.

Banyak sekali kecurangan yang terjadi pada peristiwa pemilu tahun 2019, seperti penyalahgunaan suara atau kasus suap yang dilakukan para calon legislatif. Di tahun 2019 sendiri, antusias generasi millenial dalam melakukan proses berdemokrasi sangatlah menurun. Hal tersebut terjadi karena beberapa dari mereka belum sepenuhnya percaya dengan para calon pejabat, mereka takut jika nantinya jika si calon pejabat yang terpilih untuk duduk di kursi DPR malah tidak mengaspirasikan pendapat dan keluhan masyarakat Indonesia, sehingga tingkat orang yang melakukan golput (Golongan Putih) pada tahun 2019 bisa dibilang cukup tinggi dibanding tahun sebelumnya.

Belum lagi generasi millenial ini malah mengajak yang lain untuk melakukan golput seakan-akan golput ini menjadi sebuah Trend yang wajib diikuti setiap generasi millenial. Mengetahui banyaknya surat suara yang kosong karena banyak yang melakukan golput, hal tersebut dimanfaatkan oleh beberapa oknum yang memiliki sikap fanatisme. Mereka akan bekerja sama dengan pihak penyelenggara pemilu dengan iming-imingi uang untuk dapat memanipulasi surat suara yang kosong, agar sosok yang diidolakan bisa menang dalam pemilu tahun 2019. Selain memanfaatkan surat suara yang kosong, baik itu pejabat atau kader dari partai juga melakukan praktik suap uang. Yaitu memberikan uang kepada para pendukungnya dan mengajak seseorang untuk memilihnya saat pencoblosan nanti. Segala cara mereka lakukan hanya demi kekuasaan dan napsu pujian semata hingga dapat mengancam demokrasi di indonesia. Yang mana seharusnya mereka menyerahkan hasilnya kepada rakyat tanpa campur tangan kecurangan, namun mereka malah nekat melakukan hal-hal kotor.

Dikhawatirkan pesta politik pada tahun yang akan datang yakni tahun 2024, akan semakin parah dibanding tahun sebelumnya. Bahkan sebelum pemilu 2024 dimulai. Sudah banyak pendukung fanatisme yang terlihat, mereka mulai menyebarkan hoax kepada seseorang yang dirumorkan untuk maju menjadi calon presiden 2024. Fanatisme di dalam dunia politik harus dicabut sampai ke akar-akarnya, jangan sampai anak cucu kita di masa depan masih harus menghadapi sikap fanatisme.

 Penulis merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Bagikan Artikel Ini