Beranda Budaya Banten Membara, Musketir Lolos dari Maut

Banten Membara, Musketir Lolos dari Maut

Ilustrasi AI.

Cornelis Dirks, sang musketir, dikenal baik di mata para atasan maupun rekan-rekannya. Dan memang ada alasannya. Berkali-kali, dalam keadaan berbahaya, ia telah menunjukkan keberanian tanpa gentar serta kemampuan bertindak dengan ketenangan yang luar biasa. Di samping itu, ia adalah seorang kawan yang setia—seorang sahabat yang tak segan mengorbankan apa pun demi keselamatan sesamanya.

Wataknya yang lurus dan bersih berpadu dengan kelembutan hati yang jarang tertandingi, serta keceriaan alami yang membuat banyak orang iri kepadanya. Ia adalah putra seorang pandai emas dari Delft, dan pada mulanya memang dididik untuk meneruskan pekerjaan ayahnya. Namun, darah muda Cornelis lebih terpikat pada senjata daripada perhiasan. Ia lebih senang memandang pergantian jaga para serdadu daripada memicingkan mata berjam-jam di bengkel ayahnya, menekuni batu-batu mulia yang terlampau kecil dan nyaris mustahil ditangani.

Sang ayah pun segera menyadari bahwa Cornelis takkan pernah menjadi seorang pengrajin emas sejati. Maka ia membiarkan putranya pergi, disertai restu orang tua dan sekeping uang kecil di saku, untuk mencoba peruntungannya dalam dinas Kompeni.

Sudah empat tahun Cornelis Dirks berada di Hindia, namun kesempatan untuk menonjolkan diri belum banyak menghampirinya. Meski demikian, setiap kali bahaya datang—dan saat-saat semacam itu memang kerap muncul—ia selalu tampil di garis depan.

Di Banten pun ia tak jarang membuktikan diri sebagai seorang pemuda yang dapat diandalkan. Namun semua itu masih sebatas pertikaian kecil—keributan yang memang menuntut kesabaran panjang, keteguhan hati, pertimbangan matang, serta keberanian yang tenang, tetapi belum cukup besar untuk memberi kesempatan kepada seseorang menunjukkan sepenuhnya apa yang tersimpan dalam dirinya.

Begitu Cornelis Dirks pada petang itu meninggalkan pagar palisade yang mengelilingi loji, ia melangkah dengan berani langsung memasuki kota, menyusuri salah satu dari tiga jalan yang pada masa itu membelah kota dan semuanya bermuara di alun-alun, lapangan di depan keraton, yang belum lama ini ia kunjungi bersama Residen Caeff. Dari kunjungan itu ia tahu bahwa jalan tersebut masih aman, dan ia menduga bahwa sang sultan barangkali telah menempatkan seseorang untuk mengawasi—untuk memastikan apakah residen benar-benar menepati janjinya dan mengirimkan seorang utusan ke Batavia.

Baca Juga :  Sejarah Masjid Agung Al-Ittihad Kota Tangerang, Ikon Multikulturalisme

“Ia pasti sedang terhimpit di sana,” gumam Dirks dalam hati. “Dan bila ia melihatku berangkat, atau bila kabar sampai kepadanya bahwa seseorang telah dikirim, hal itu tentu akan menguatkan semangatnya.”

Di tengah lapangan menjulang dua pohon waringin raksasa—yang rimbun daunnya yang lebar menyelimuti sebagian besar alun-alun dalam bayang-bayang teduh. Sebelum melangkah ke bawah naungan itu, Dirks berhenti sejenak dan mendengarkan. Dari kejauhan terdengar hiruk-pikuk, dan dari arah yang sama pula cahaya kebakaran tampak paling menyala. Jelaslah bahwa musuh kini tengah sibuk melakukan pekerjaan penghancuran di sana, sehingga ia dapat bergerak dengan lebih leluasa di tempat ini.

Ia juga menyadari bahwa hari itu penjagaan di atas tembok-tembok benteng dan di sekitar kastil. Ia pun mengerti bahwa dirinya telah terlihat. Tanpa ragu sedikit pun, ia melanjutkan perjalanannya. Setelah melewati bawah naungan pohon-pohon waringin, ia menyelinap masuk ke sebuah jalan setapak yang sempit—seperti begitu banyak lorong berkelok yang membelah kampung-kampung berpagar, dipenuhi pohon kelapa, yang pada masa itu membentuk kota Banten.

Di bawah pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, suasana terasa pekat dan gelap gulita, sunyi seperti kuburan. Bahkan kalong-kalong pun tampaknya gentar oleh langit yang memerah, tak berani keluar dari persembunyian. Beberapa ekor ayam jantan, keliru mengira cahaya merah itu sebagai fajar yang merekah, berkokok nyaring; dan itulah satu-satunya suara yang sesekali memecah kesunyian.

Dengan langkah nyaris tak terdengar, Cornelis Dirks terus berjalan. Bila ia merentangkan kedua lengannya, ia hampir dapat menyentuh pagar-pagar kampung di kiri dan kanan—begitu sempitnya jalan itu. Sekilas terlintas di benaknya bahwa mungkin ia telah berbuat bodoh dengan tidak memilih jalan besar, sebab jika di tempat sesempit ini ia berpapasan dengan seorang saja, ia bahkan tak memiliki ruang untuk bersembunyi.

Baca Juga :  Disbudpar Kota Tangerang Optimalkan Pemeliharaan Warisan Budaya Tak Benda

Namun sambil menajamkan pandangan ke segala arah, ia tetap melangkah tanpa henti. Ia tahu bahwa jalan setapak ini akan membawanya ke jalur menuju Serang, dan kerinduannya untuk segera mencapai ujungnya kian menguat. Setiap kali seekor binatang kecil melompat diam-diam dari balik pagar salah satu kampung, jantung sang musketir berdegup keras di dadanya. Ia pun geram pada dirinya sendiri karena ketakutan yang dianggapnya pengecut—namun rasa gentar itu tetap tak mampu ia kendalikan.

Itulah perasaan ngeri yang tak tertahankan, perasaan yang hanya muncul ketika seseorang tak mampu melihat apa yang mengintai di sekelilingnya, perasaan itu pun kini menguasai dirinya, sebagaimana ia akan menguasai siapa pun dalam keadaan serupa.

Tiba-tiba tangannya terangkat ke gagang rapier. Dari depan terdengar suara orang-orang. Ketika ia menajamkan pandangan ke arah itu, tampaklah beberapa orang pribumi—bersenjata lengkap dan tengah bercakap-cakap dengan riuh—berjalan mendekat. Ia tak segera dapat menghitung jumlah mereka, tetapi memperkirakan ada sekitar lima atau enam orang.

Tak ada kemungkinan untuk bersembunyi. Ia harus terus maju, dan bentrokan pun tampaknya tak terelakkan. Orang-orang itu entah sedang menuju lokasi kebakaran untuk bergabung dengan para pemberontak, atau memiliki urusan lain di tempat ini.

Cornelis Dirks memutuskan untuk tetap melangkah dengan tenang. Hingga saat itu belum ada permusuhan terbuka terhadap orang-orang Belanda di Banten, meskipun jelas bahwa hal semacam itu tinggal menunggu waktu.

Mendadak para lelaki itu menghentikan percakapan mereka. Mereka telah melihat sang Belanda, lalu bergeser ke kiri dan ke kanan, memberi jalan agar ia dapat lewat di antara mereka. Dirks tak berpikir panjang. Dengan tangan tetap di gagang rapier, ia melangkah mantap melewati mereka, setiap saat siap menyambar. Ia tak berani menoleh ke belakang, tetapi ia dapat merasakan bahwa mereka berhenti dan memandanginya.

Tak sedikit usaha yang dibutuhkan untuk tetap berjalan tenang dan tidak mempercepat langkahnya.

“Setan… aku lolos kali ini,” gumamnya pelan.

Baca Juga :  Diduga Kebocoran Tabung Gas, Sebuah Rumah Lansia di Lebak Hangus Terbakar

Namun kalimat itu belum sepenuhnya terucap ketika sebuah tombak melesat, melintas tajam hanya sejengkal dari bahunya.

“Bajingan pengecut!” gerutu sang musketir—dan pada saat yang sama rapier itu seketika melesat keluar dari sarungnya, dan Dirks berputar lalu menerjang para lelaki itu. Namun para “pahlawan” tersebut tak menunggu serangan. Beberapa di antaranya lari tunggang-langgang seketika, sementara yang lain melompati pagar kampung. Dirks pun mendapati dirinya berdiri sendiri, mulutnya berbuih oleh amarah.

Saat itu pula sebuah tombak kembali melesat, melintas dekat kepalanya.

Kini ia mundur perlahan. Tetapi ketika sebuah tombak ketiga melukai kakinya, dan ia menyadari bahwa dirinya telah cukup jauh dari tempat para pengecut itu menghilang, ia mempercepat langkah, berniat menjauh dari lingkungan berbahaya tersebut. Ujung jalan setapak itu ia capai dengan beberapa lompatan cepat.

Puji Tuhan! Di hadapannya terbentang jalan besar menuju Serang.

Dirks menarik napas lebih lega. Dengan hati-hati ia menyarungkan kembali rapiernya, lalu berjongkok di sisi jalan, terlindung oleh rimbunnya dedaunan, sambil mendengarkan—barangkali masih terdengar sesuatu dari orang-orang yang tadi menyerangnya di lorong sempit itu.

Ia merasa seolah menangkap suatu bunyi. Maka dengan langkah berjinjit, ia menyeberang ke pepohonan lebat di seberang jalan, tempat kegelapan menyelimutinya sepenuhnya. Di sana ia dapat melanjutkan perjalanan tanpa terlihat, asalkan tak menimbulkan suara, sekaligus mengawasi apakah orang-orang itu masih menguntitnya, sebab dari posisinya ia memiliki pandangan ke arah tempat jalan setapak bermuara ke jalan besar menuju Serang.

Dirks memilih sebuah pohon kelapa yang besar dan tebal untuk bersembunyi di belakangnya, lalu menunggu—dengan tekad bulat bahwa jika mereka tidak segera menampakkan diri, ia akan kembali melanjutkan perjalanannya.

 

 

Bersambung…

Catatan:
Cerita ini dialihbahasakan dari De Utusan van De Sultane, novel sejarah tentang perang dengan Banten pada tahun 1682 karya J. Hendrik van Balen. Penulis mengambil sudut pandang VOC yang tengah memonopoli perdagangan rempah di Banten.