Curhat Calon Bupati Pandeglang Jalur Perseorangan
Uday Suhada
Tak terbayangkan sebelumnya, saya berada di posisi saat ini: Calon Bupati Pandeglang 2024 dari Jalur Independen (Perseorangan) yang didampingi H. Pujiyanto sebagai Calon Wakil Bupati.
Awalnya sedikit saja orang yang meyakini bahwa saya dan jaringan relawan militan yang dimiliki, akan mampu memenuhi kebutuhan dukungan di atas syarat minimal yang ditetapkan oleh KPUD.
Untuk menjadi calon kepala daerah, jangankan bercita-cita, bermimpi pun tidak. Mencalonkan diri jadi kepala desa pun saya tak terpikirkan. Sebab rumasa, rumongso, tak memiliki logistik. Tentu dibutuhkan banyak “amunisi” untuknya. Untuk urusan pribadi dan keluarga saja saya “belum selesai”.
Secara sederhana sejumlah orang menghitung, untuk sekedar mengumpulkan persyaratan hingga terupload ke Sistem Pencalonan (Silon) KPUD saja, pasti butuh biaya besar. Itu belum termasuk urusan biaya operasional untuk menggerakkan jaringan relawan dan sebagainya. Tapi nyatanya saya tidak mengeluarkan uang, karena memang uangnya tidak ada.
Tapi, di sinilah serba Maha Kuasanya Allah SWT. Sejak awal Ramadhan 1445H yang bertepatan dengan 12 Maret 2024M, tim kecil memulai dengan mencetakkan 100 pcs baliho dan dipasang proporsional di 35 kecamatan yang ada. Ikhtiar mereka itu kemudian membuahkan hasil. Reaksi positif dari lintas komponen, yang ingin memberikan kesempatan kepada saya untuk turut berkontestasi di Pilbup 27 November mendatang terus bermunculan seperti bola salju.
Terkadang di malam hari, tak terasa air mata saya menetes usai membaca WhatsApp dari sejumlah jaringan–yang tanpa diminta, banyak yang bukan warga Pandeglang.
“Kang Uday, minta desain stiker dan bannernya. Punten saya hanya bisa membantu dengan cara begitu”, itulah salah satu kalimat yang membuat saya terharu. Batin saya bertanya “Ya Allah, skenario apa yang Engkau berikan pada hambaMu ini?”.
Tentu saja yang kirim WhatsApp secara terbuka minta duit, juga tak sedikit. Dengan bumbu kalimat kuno “tenang bae, di daerah kula mah aman 70%, nupenting kaimbangan amunisi kekuatan calon nu lain“, atau “kula mah nupenting aya kendaraan inventaris jeung biaya operasional na cukup, rungkad ku abdi di belah dieu mah“, atau “hayang amat ngasaan artos ti Pak Bupati” dan semacamnya.
Dalam satu renungan, saya ingat pepatah orang tua, “jadi pamingpin mah teu bisa dihayang-hayang, teu beunang diembung-embung. Mun cik Nu Maha Kawasa kudu jadi, pasti jadi. Sabab jadi pamingpin eta beurat, kudu melayani, lain dilayanan ku rahayat“. Akhirnya saya Bismillah, bulatkan tekad, bahwa suara rakyat yang menjadi Pengusung ini adalah amanah yang harus saya perjuangkan. Karena saya faham betul bahwa mereka sangat merindukan perubahan di kampung halaman saya (Pandeglang).
Menjadi Calon Bupati
Saat KPUD mengundang rapat pleno, minggu (18/08) di salah satu hotel di Pandeglang, pasangan Uday Suhada – H. Pujiyanto dinyatakan lolos dan memiliki tiket untuk mendaftarkan diri ke KPUD Pandeglang. Maka pada hari pertama jadwal pendaftaran, Selasa (27/08) siang, kami mendaftarkan diri. Seluruh persyaratan dinyatakan lengkap.
Laporan Kekayaan
Sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan diri, saya harus membuat laporan kekayaan, untuk disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim saya yang mengisi formulir terkaget-kaget, karena kekayaan pribadi yang bisa saya laporkan hanya 3 hal. Pertama, Surat Keterangan Jual Beli Tanah, milik bapak saya yang beliau beli pada tahun 2008, senilai Rp.8.500.000,- yang dalam suratnya atas nama saya.
Kedua, BPKB sepeda motor Mio tahun 2014, yang waktu itu saya berikan hadiah atas diwisudanya adik bungsu saya. Itupun DP-nya saja. Sedangkan cicilannya ditanggung adik saya hingga lunas. Ketiga, di rekening saya di hari itu (24/08) tercatat saldo Rp.381.798,- (tiga ratus delapan puluh satu ribu tujuh ratus sembilan puluh delapan rupiah). Untung istri saya bernasib lain, kekayaannya lumayan banyak. Jadi yang dilaporkan tidak hanya 3 hal tadi.
Medical Checkup
Seandainya saya tidak menjadi Calon Bupati, rasanya tak mungkin saya bisa menjalani general check up di RSUD Banten. Hari Rabu (28/08) saya dan H. Pujiyanto diperiksa oleh Tim Medis RSUD Banten, terdiri dari 26 dokter spesialis beserta para asistennya, psikolog, plus tim khusus dari Badan Narkotika Nasional Banten.
Dari jam 07.00 WIB hingga jam 18.00 WIB saya jalani semua proses pemeriksaan kesehatan, baik jasmani maupun rohani, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Mulai dari pengambilan darah dan urine di pagi itu, saya tersenyum haru, disapa oleh seluruh tim medis yang juga pada tersenyum ramah. Alhamdulillah secara keseluruhan fisik dan psikis saya dinyatakan sehat. Padahal awalnya saya gak PD dengan paru-paru saya. Jangan-jangan bergambar bungkus sigaret kretek 234; beberapa gigi saya yang sudah tinggal tunggul dengan hitam karangnya, yang seumur-umur tidak pernah bersihkan karang gigi; juga asam lambung saya yang kadangkala naik. Begitu pula dengan kedua mata saya yang warnanya tak jernih, karena hampir tiap hari kena debu dan kepulan asap rokok.
Di antara alat kesehatan yang tersedia, ada Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang ukurannya besar. Sehingga seluruh tubuh saya dimasukkan kedalamnya. Saya jadi ingat film-film kekinian. Tubuh saya diselimuti agar kat kedinginan, dan diikat di bagian pinggang. Sekitar setengah jam saya di dalam, malah sempat tertidur. Meskipun ada suara berdengung, tapi sedikit kedap, karena kedua kuping ditutup. Disitu saya menahan rasa ingin buang angin. Kan gak lucu pingsan karena menghirup kentut sendiri. Hahaha.
Di bagian lain, urine yang diambil tadi pagi, kemudian dichek oleh Tim BNN di hadapan saya. Alhamdulillah hasilnya negatif. Sebab jangankan narkoba, alkohol pun saya belum pernah mencobanya.
Yang agak menguras pikiran, ketika saya diminta untuk mengisi 567 pertanyaan dalam satu lembar jawaban. Juga dihadapkan pada ratusan soal matematika. Untung kepala saya gak ngebul.
Yang menyenangkan adalah saat treadmill. Di situ seorang dokter perempuan minta saya berjalan kaki sambil dichek detak jantungnya. Menyenangkan karena salah satu kesukaan saya ya berjalan kaki, yang terbiasa sejak SD, SMP, mendaki gunung saat kuliah di Malang dan setiap Saba Budaya ke Baduy juga berjalan kaki.
Pengalaman yang sangat mengesankan dalam hidup saya. Terima kasih kepada keluarga, para Pengusung saya, komisioner KPUD – Bawaslu Pandeglang, dan Tim Medis serta seluruh petugas di lingkungan RSUD Banten.
Menyadarkan Pemilih
“Nu penting mah aya nu dibagikeun ka pemilih, dina wancina Pak“;
“nu mere duit, eta nu dicoblos kukami“;
“Mun teu diawur, ulah loba berharap meunang suara didieu mah“.
Itulah kalimat yang kerap saya dengar di sejumlah tempat.
Jujur, saya merasa prihatin dengan pragmatisme itu. Meskipun saya yakin mereka juga tau apa hukumnya di mata Allah SWT maupun di depan hukum negara, pemberi dan penerima sama saja.
Kondisi ini saya coba sikapi dengan pendekatan terbalik. Ada beberapa hal pokok yang saya ingin sampaikan ke seluruh pemilih di Pandeglang. Pertama, saya diusung oleh rakyat, menggunakan perahu rakyat. Maka pertanggungjawaban saya hanya kepada dua pihak, yakni kepada Rakyat dan kepada Allah SWT.
Kedua, jika warga Pandeglang merasa sudah cukup dengan keadaan saat ini (infrastruktur jalan selama puluhan tahun amburadul, pelayanan kesehatan masih buruk, ekonomi masyarakat desa terpuruk, korupsi dan pungli merajalela), jangan pilih Uday Suhada dan H. Pujiyanto. Pilih saja calon yang lain.
Ketiga, jika suara Anda terbeli dengan nilai Rp.100.000,- misalnya, maka yuk kita hitung, dibagi selama 5 tahun, maka harganya hanya 50 rupiah per hari. Betapa murahnya harga diri Anda sebagai pemilih.
Misalnya saya punya target membeli 500.000 suara rakyat, maka saya harus siapkan uang Rp.50 milyar. Kemudian, jika saya terpilih, maka besar kemungkinan saya harus balikin modal itu dong. Maka caranya harus merampok APBD (uang rakyat) selama 5 tahun kedepan.
Jadi wajar jika kondisi rakyat kemudian tidak diperhatikan. Jangan salahkan mereka yang terpilih dengan cara membeli suara Anda.
Mulai saat ini, tinggal dipertimbangkan, mau pilih yang mana? “Bangkit sekarang, atau selamanya akan tertindas!”.
Innallahalaa yugoyiru maa biqoumin, hatta yugoyiru maa biangfusihim. (*)