Beranda Opini Waspada Bom Atom Pilkada

Waspada Bom Atom Pilkada

Ilustrasi - foto istimewa google.com

Oleh: Ikhlas Rahmatika Zulfa S.Pd, Pemerhati Kebijakan

Dalam sebuah webinar akbar dengan peserta lebih dari 700 orang, sebanyak 91 persen peserta mengusulkan penundaan waktu Pilkada. Sementara Sekitar 99% peserta mendesak pemerintah menerbitkan payung hukum yang memberikan kenyamanan kepada para pengambil keputusan untuk mengatasi Covid-19 dan mencegah masyarakat dari kelaparan dan kekurangan nutrisi.(beritasatu.com)

Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi “Evaluasi 6 Bulan dan Proyeksi Satu Tahun Penanganan Covid-19 di Indonesia” yang diselenggarakan Kelompok Studi Demokrasi Indonesia (KSDI), Sabtu (12/9/202).

Webinar yang dipandu Maruarar Sirait itu menghadirkan beberapa pembicara seperti Menko Polhukam Mahfud MD, ekonom Faisal Basri, peneliti Mohammad Qodari, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, dan ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan.

Usulan penundaan pilkada adalah respon terhadap sikap pemerintah yang tetap melakukan hajatan di tengah kondisi pandemi yang sedang mencekam. Seperti yang kita ketahui pasca diberlakukannya new normal era, terjadi peningkatan persebaran wabah dan penularan yang meningkatkan angka penderita secara signifikan. Bahkan kini pemerintah daerah memberlakukan PSBB kedua dengan niatan mengendalikan keganasan wabah. di tengah kondisi yang tak menentu ini, pemerintah tetap mengadakan hajatan pilkada.

Sebuah agenda yang melibatkan orang banyak, dan dana yang tidak sedikit. Terkait hal itu, Peneliti Mohammad Qodary menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.

Menanggapi usulan tersebut, Menteri koordinator politik dan kemanan Menkopolhukan Mahfudz MD menilai penundaan Pilkada 2020 sulit diwujudkan karena berbagai alasan. Administrasi birokrasi merupakan salah satu alasan yang menyebabkan perubahan waktu pilkada adalah hal yang sulit untuk diwujudkan.

Perubahan waktu pilkada harus merubah Undang Undang sementara perubahan Undang Undang membutuhkan waktu dan alur tersendiri. Alasan lain yang mendesak pilkada tak bisa ditunda, adalah status daerah yang masa jabatan pimpinannya telah habis. Akan ada banyak pejabat sementara (plt) di seluruh Indonesia jika pilkada akhirnya harus ditunda.

Sesat pikir rezim yang mementingkan birokrasi administrasi telah mengangkangi fakta menyedihkan, bahwa wabah yang kini bergentayangan telah memakan banyak korban jiwa, ribuan orang meninggal, ratusan dokter gugur di medan juang. Sementara masayarakat secara umum merasakan dampak resesi ekonomi pasca wabah terjadi. Dari mulai kehilangan mata pencaharian, hingga keluarga yang hancur di tengah jalan.

Belum cukupkah kondisi tersebut membuka mata rezim?

Pilkada dan Borok Demokrasi

Hajatan pilkada yang tetap dipaksakan di tengah perang melawan pandemi sangat minim empati. Diantara ribuan tenaga medis yang sedang berperang, dan banyak rakyat yang kelaparan pemerintah tetap melenggang menikmati hajatan demokrasi. Munculnya kluster penularan wabah akibat berkumpulnya masa saat rangkaian pilkada, mulai dari masa kampanye hingga pencoblosan,, menjadi kekhawatiran tersendiri. .

Tak bisa dipungkiri, pilkada yang akan dilakukan serentak seluruh wilayah Indonesia, merupakan “lahan basah” dengan kucuran dana melimpah. Pihak yang terlibat di dalamnya tentu tak ingin melewatkan momen tersebut. Bertolak belakang dengan slogan penghematan anggaran selama wabah berjalan, pilkada dipastikan memakan dana rakyat yang signifikan. .

Dana melimpah tak hanya di lingkaran penyelenggara. para konstituen bakal calon pasangan yang berlomba dalam pilkada pun tak segan menggelontorkannya. Dengan dukungan para pemodal yang menjadi sponsor dibalik sosok yang dijagokan, membuat pilkada tak ubahnya ajang lelang jabatan, dimana konstituen dengan pemodal paling banyak memiliki kesempatan menang lebih besar.

Adanya politik balas budi dari konstituen terhadap para pemodal menjadi jaminan bahwasanya berapapun dana yang keluar akan tergantikan lebih saat jagoannya berkuasa. Sungguh tak sepadan, biaya mahal yang berasal dari rakyat digunakan untuk hajatan penuh dagelan.

Inilah kondisi sebenarnya pilkada dalam demokrasi. Keberadaan pesta demokrasi yang rutin digelar ini nyatanya hanyalah instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.

Demikianlah demokrasi yang menggunakan rakyat sebagai tameng, tak patut lagi dipertahankan di negeri ini. Saatnya umat islam kembali ke pangkuan sistem hakiki dengan menerapkan islam sebagai aturan dalam kehidupan individu, bermasyarakat, serta bernegara.

Wallahualam bishshowab.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disiniĀ