Beranda Opini Tata Kelola Sumber Daya Air di Kawasan Industri Cilegon, Ketika Negara Dikangkangi...

Tata Kelola Sumber Daya Air di Kawasan Industri Cilegon, Ketika Negara Dikangkangi Oligarki

Anggota Klub Diskusi Majelis Qohwah Cilegon, Ahmad Yusdi. (dok.pribadi)

Oleh : Ahmad Yusdi
Anggota Klub Diskusi Majelis Qohwah Cilegon

Di pertengahan tahun 70-an, kakek pernah berkata: “…kami telah ikhlaskan semua tanah kami maupun airnya, karena negara membutuhkan untuk proyek industrialisasi ini. Kelak, kalian semua akan hidup berdampingan dan saling bergantung hidup di dalamnya. Karena ini demi kepentingan negara, maka negara pasti punya tujuan untuk kesejahteraan rakyatnya. Mustahil negara tidak melindungi kalian nantinya…”

Kakek mengucapkan kata-kata itu di tengah gemuruhnya mesin buldoser yang meratakan kebun dan sawah kami. Kebun, sawah, jalan umum dan sungai tempat ternak kami minum dan mandi kini telah menjadi hamparan kawasan industri baja milik PT Krakatau Steel (KS).

Omongan kakek dulu itu bukan sekadar ucapan orang yang sedang bermimpi tentang hari esok, UUD 1945 juga menyatakan itu di Pembukaannya: “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”, Bahkan dasar negara kita itu lebih spesifik lagi mengatur terkait hal ini. Pasal 33 ayat (3) tegas menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Kini, “Bumi dan Air” yang semula dikuasai negara sudah berpindah kepemilikan, swasta sudah mengambil alih cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. Padahal jelas hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD kita itu: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara“. Dan salah satu cabang produksi penting yang dikuasai swasta itu adalah; sumber daya air.

Bukankah pengambil-alihan tata kelola sumber daya air dari negara ke swasta ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap ketentuan yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945? Sebuah pengingkaran terhadap sistem perekonomian kita yang didasarkan pada prinsip Ekonomi Pancasila?

Baca Juga :  Pasca Kasus Dugaan Pemerasan Proyek CAA di Cilegon, Pemkot Bertindaklah!

Jalan Sunyi Penjualan Krakatau Tirta Industri

Privatisasi seringkali diartikan sebagai penjualan saham BUMN atau perusahaan milik negara kepada pihak swasta. Prosesnya dapat dengan melakukan penjualan saham perusahaan milik negara (BUMN), atau penyerahan aset kepada pihak swasta. Dalam prinsip Ekonomi Pancasila, privatisasi harus menjunjung tinggi keadilan sosial, kebersamaan, dan kesejahteraan umum sebagai landasan utama.

Kronologi privatisasi perusahaan air bersih PT Krakatau Tirta Industri (KTI) berawal dari transformasi yang terjadi di tubuh PT KS. Pada 13 Juli 2021 lalu, KS menjadikan dirinya sebagai holding dan menunjuk anak usahanya yakni PT Krakatau Sarana Infrastruktur (KSI) sebagai subholding-nya. Sedangkan KTI sendiri dijadikan sebagai salah satu anak usaha dari KSI, sehingga dengan demikian KTI otomatis berstatus sebagai cucu usaha dari BUMN KS.

Dengan dijadikannya KSI sebagai subholding, walaupun saham mayoritas KSI masih dikuasai KS (99,99%), akan tetapi harus dipahami di sini, KSI sudah tidak bisa lagi disebut sebagai BUMN. Karena seperti yang telah diatur dalam Permen BUMN Nomor 3 Tahun 2023, permodalan KSI bukanlah dari APBN atau dari penyertaan secara langsung kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian negara sudah tidak memiliki kendali lagi terhadap KSI, maka KSI-pun merasa berhak menjual kepemilikan sahamnya di KTI tanpa perlu negara ikut campur.

Dengan kondisi hilangnya kendali negara terhadap KSI itu, puncaknya pada 27 Februari 2023 lalu, KSI menjual 49% sahamnya di KTI kepada PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP). Dengan demikian komposisi saham KTI-pun berubah menjadi: KSI 50,99% : Perseroan 0,01% : CAP 49%.

Tentang CAP sendiri, CAP adalah perusahaan petrokimia yang saham mayoritasnya dimiliki PT Barito Pacific Tbk., grup usaha milik salah satu orang terkaya yang namanya sering disebut-sebut sebagai oligarki di negeri ini, yakni Prajogo Pangestu.

Baca Juga :  Menulis Jurnalisme Musik

Dari proses jalannya privatisasi senyap di atas, kita dapat mencermati bagaimana  hilangnya kendali negara terhadap tata kelola sumber daya air di perusahaan KTI. Padahal sumber daya air merupakan sebuah cabang produksi penting dan harus dikuasai negara karena menguasai hajat hidup orang banyak seperti termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut.

Siapa Sebetulnya yang Memiliki Hak atas Tata Kelola Air Bersih?

Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2019, prioritas utama penggunaan sumber daya air bagi kegiatan usaha diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa. Hal ini sejalan dengan prinsip penguasaan negara atas sumber daya air untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemberian prioritas ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya air, terutama untuk kegiatan usaha, dilakukan secara terencana dan terkendali oleh entitas yang dimiliki oleh negara atau pemerintah daerah, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Karena KTI sahamnya tidak dimiliki oleh negara lagi, atau bisa dikatakan sebagai perusahaan swasta murni, maka sesuai ketentuan di atas, KTI tidak diperbolehkan melaksanakan tata kelola sumber daya air di Kawasan Industri Cilegon.

Meskipun demikian peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air sangatlah dibutuhkan. KTI di sini dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah. Bentuk kerjasamanya bisa dalam bentuk Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dengan tetap mempertimbangkan kepentingan wilayah dan keberlanjutan ekosistem. Pemerintah Kota Cilegon di bawah kepemimpinan Robinsar-Fajar juga seharusnya mampu melihat peluang ini dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pemkot Cilegon memiliki Perusahaan Umum Daerah Air Minum Cilegon Mandiri (Perumdam CM) yang dalam UU Nomor 17 Tahun 2019 mengemban amanat pelaksana prioritas utama dalam tata kelola sumber daya air. Bentuk kerja sama menggunakan skema KPBU dengan KTI ini bisa menjadi solusi kebuntuan pelaksanaan Undang-undang di atas.

Baca Juga :  Komunitas Pemuda Kebonsari Gelar Aksi Damai di Depan Gerbang PT KTI

Perumdam CM sebagai pihak yang memiliki prioritas utama penyedia air bersih industri sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang, dengan pihak KTI yang berpartisipasi dari mulai desain, konstruksi, pembiayaan, pengoperasian, dan pemeliharaan. Perumdam CM tetap menjadi pihak yang menyediakan air bersih kepada masyarakat dan industri, sementara KTI berperan sebagai mitra dalam penyediaan infrastruktur dan layanan yang diperlukan.

Pola kerja sama antara Perumdam CM dengan KTI itu juga merupakan skema pembiayaan alternatif Pemkot Cilegon dalam membangun dan mengelola infrastruktur terkait sumber daya air bersih. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi, kualitas layanan, ketersediaan air bersih untuk industri. Dan yang lebih penting lagi terjadinya peningkatan potensi PAD Kota Cilegon, di mana PAD tersebut dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News