SERANG– Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Ciceri telah beroperasi kembali pasca kasus Pertamax oplosan yang mengakibatkan Nadir Sudrajat selaku pengelola dan Aswan alias Emon selaku pengawas menjadi tersangka.
Pengawas SPBU Ciceri pengganti Aswan yang enggan disebutkan namanya, mengatakan SPBU telah kembali beroperasi sejak 2 Juni 2025 lalu dengan adanya pergantian pengelola. Jika sebelumnya SPBU itu dikelola pihak swasta, kini diawasi langsung oleh PT Pertamina Retail.
Ia enggan menjawab lebih jauh dan menyuruh BantenNews.co.id untuk menhubungi manager SPBU bernama Rano. Saat dihubungi, Rano juga tidak menjawab pertanyaan mengenai dasar SPBU kembali beroperasi dan hanya mengatakan pihaknya akan menggelar konferensi pers.
“Pertanyaan tersebut silakan nanti ditanyakan langsung saja ketika rilis resmi SPBU,” kata Rano saat dihubungi BantenNews.co.id lewat pesan whatsapp, Jumat (13/6/2025) lalu.
Dihubungi terpisah, Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Didik Hariyanto, mengatakan SPBU Ciceri bisa beroperasi kembali karena izin dari Pertamina langsung. Barang bukti yang sempat jadi dasar penyidikan kasus tersebut juga katanya sudah dilelang karena memiliki nilai ekonomis.
Pelelangan itu katanya bisa dilakukan setelah ahli Pertamina menuturkan barang bukti yang disita Polda pada tahap penyidikan masih bisa diperbaiki sesuai standar Pertamina. Terlebih, bahan bakar tersebut juga masih memiliki nilai ekonomis.
“Izinnya (beroperasi kembali) itu dari Pertamina, (kemudian) petunjuk dari jaksa (juga) karena BBM tersebut ada nilai ekonomisnya maka BBM dapat dilelang mengingat sifat barang tersebut dapat menyusut,” kata Didik.
Didik menegaskan keputusan tersebut tidak diambil secara serampangan. Ia mengutip Pasal 45 ayat 1 huruf a KUHAP yang menyatakan bahwa barang sitaan yang dapat rusak atau membahayakan bisa dijual meski perkara belum inkrah.
“Barang bukti tersebut (sudah) dilelang melalui lembaga resmi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL),” imbuhnya.
Sebelumnya, Polda Banten telah menetapkan dua tersangka yaitu pengelola dan pengawas SPBU, yakni Nadir Sudrajat dan Aswan alias Emon.
Kasus ini berawal dari viralnya video di media sosial pada bulan Maret lalu, saat seorang pengendara motor yang membeli Pertamax di SPBU tersebut menyadari BBM yang dibelinya berwarna hitam pekat.
Wakil Direktur Kriminal Khusus (Wadirkrimsus) Polda Banten AKBP Bronto Budiono mengatakan, kedua tersangka tidak membeli BBM di Pertamina Patra Niaga, melainkan dari pihak lain berinisial DH di daerah Jakarta.
Tersangka Nadir merupakan orang yang menyuruh Aswan agar membeli Pertamax ke pihak lain tersebut dengan harga Rp10.200 per liter dari DH. Pertamax itu kemudian dijual dengan harga Rp12.900 per liter di SPBU Ciceri.
“Pelaku melakukan pembelian BBM olahan dari pihak lain tanpa dilengkapi dengan dokumen apapun, kemudian melakukan pencampuran BBM olahan dengan BBM Pertamax yang masih tersimpan di tanki timbun,” kata Bronto saat konferensi pers di Mapolda Banten, Rabu (30/4/2025) lalu.
“BBM Pertamax dengan tujuan seolah olah meniru BBM jenis Pertamax untuk dipasarkan,” sambungnya.
Dari hasil oplosan itu, Polda Banten kemudian melakukan tes lab di laboratorium Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara. Hasilnya diterima Polda pada 5 April 2025 lalu.
Hasilnya, angka final boiling point (FBP) atau temperatur titik didih Pertamax tersebut berada di atas batas maksimum. Dari keterangan ahli BPH Migas, batas maksimal BPH pada bahan bakar minyak, seharusnya di angka 215, tapi hasil sampel tersebut berada di angka 218,5.
“Hasil BBM oplosan tersebut bisa mengakibatkan mesin kendaraannya rusak, jadi ada yang berebet, macet, kemudian kalau panasnnya kurang ada timbal di dalam mesinnya atau kerak, itu dari ahli yang menyampaikan,” ujar Bronto.
Kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 54 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi jo Pasal 55 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 6 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp60 miliar.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi