Beranda Hukum Sistem LPSE di Banten Masih Terindikasi Pungli dan Percaloan

Sistem LPSE di Banten Masih Terindikasi Pungli dan Percaloan

(Sumber: lpse.bantenprov.go.id)

SERANG – Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di Pemprov Banten dinilai belum berjalan maksimal. Selain dianggap membebani pengusaha, terutama pengusaha kecil dan menengah di Banten juga masih menyisakan praktik pungli, percaloan di semua OPD dan Pokja ULP.

Hal itu, diakui Gubernur Banten Wahidin Halim dengan sebutan “pihak ketiga”.
Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada menyebutkan jika pada era mantan Gubernur Atut Chosiyah dan Wawan, pengusaha harus menyetor di kisaran 25 persen hingga 30 persen, namun si pengusaha ada kepastian bahwa ia mendapatkan pekerjaan atau proyek.

“Kini mereka juga tetap harus mengeluarkan biaya di kisaran 1,5 persen dari nilai proyek yang ditenderkan, tetapi tidak ada jaminan ia akan mendapatkan tender. Jika mendapatkan tender, ia tetap harus mengeluarkan uang sekitar 25 persen juga,” kata Uday dalam acara diskusi panel bertajuk “Carut Marut Tender Proyek APBD Banten”, bersama Ade Irawan ICW dan Ade Muklas Syarif Ketua AJKI Banten, di Aula Hotel Abadi, Kota Serang, Sabtu (4/8/2018).

Uday menambahkan bahwa proyek pekerjaan yang kini berlangsung rata-rata sudah ditandai sebagai milik perusahaan tertentu. “Seorang pengusaha bisa mendapat tender jika memiliki hubungan khusus dengan pihak yang memiliki kekuatan tertentu tertentu (para oknum). Sejauh ini tidak ada satupun pengusaha kecil dan menengah yang tidak mengamini kondisi tersebut,” jelasnya.

Aroma korupsi menurut Uday sudah tercium sejak proses persiapan tender pekerjaan yakni pengusaha yang tidak dapat menyiapkan dokumen, maka di Pokja ULP ada yang bisa menyiapkan dokumen tersebut, dengan imbalan kisaran Rp5 juta.

Masih dalam tahap persiapan, pengusaha juga wajib memiliki rekening koran di bank. Nilainya minimal 10 persen dari nilai proyek yang ditenderkan. “Faktanya, hanya segelintir pengusaha saja yang memiliki modal sebesar itu. Maka ada cara yang diduga merupakan bentuk ‘kredit fiktif’.”

Proses lain yakni membayar biro jasa untuk seritifkat tenaga ahli, uang rokok Pejabat Pembuat Komitmen dan sebagainya. “Nah, mari kita hitung prosentase dan segala tetek-bengeknya yang diurai di atas. Maka uang rakyat yang akan riil nempel di lapangan hanya tersisa maksimal 45 persen. Itu jika tidak disubkon lagi.”

Pertanyaannya kemudian, kata Uday, di mana kehadiran pemerintah untuk rakyat di tengah karut marut pengelolaan pengadaan barang jasa. “Apa langkah kongkrit Gubernur dan Wakil Gubernur? Sebab diam saja, berarti mengamini apa yang terjadi.”

Ade Irawan, Koordinator ICW mengatakan, Gubernur Banten harus mengambil langkah tegas untuk membenahi sistem pengadaan barang dan jasa. Menurutnya, penyimpangan dalam pengadaan barang jasa akan berdampak pada pelayanan dasar kepada masyarakat.

“Yang kita khawatirkan dari dugaan penyimpangan pengadaan barang dan jasa ini yang dirugikan adalah publik karena sasarannya yang berkaitan dengan publik, infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.”

Lebih lanjut ia mengajak para pihak melakukan upaya bersama mendorong Pemprov Banten untuk membenahi pengadaan barang jasa, mulai dari tahap penganggaran hingga pra pelaksanaan. (Ink/you/red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini