Beranda Pemerintahan Sepak Terjang Orang Banten untuk Republik

Sepak Terjang Orang Banten untuk Republik

Kawasan Banten Lama - foto istimewa google.com

Kiprah orang Banten di republik ini tidak bisa dibilang enteng alias hanya sempalan. Sepak terjang orang Banten punya peran penting dalam perjalanan negara kesatuan republik Indonesia.

Provinsi yang berada di paling barat pulau Jawa ini melahirkan tokoh-tokoh penting perjuangan republik dari cengkeraman kolonialisme. Tidak berhenti di situ, perjuangan orang Banten juga mewarnai perjalanan republik pascakemerdekaan hingga saat ini.

Sebutlah tokoh Syekh Nawawi Al Bantani. Ia adalah seorang ulama yang lahir di Kampung Tanara, Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten pada tahun 1815. Beliau dikenal luas sebagai Imam Besar dari Masjidil Haram, Mekkah dan dikenal dengan julukan Sayyidul Hijaz atau Penjaga Hijaz, sebuah wilayah di Barat Arab Saudi yang mencakup dua kota suci yaitu Mekkah dan Madinah. Ia juga terkenal sebagai ulama besar yang memiliki banyak karya manuskrip yang disebarkan serta diterbitkan hingga ribuan kali tanpa royalti, dan wafat di Mekah pada 1879 kemudian dimakamkan disana. K.H Hasyim Asy’ari, Pendiri NU adalah salah satu muridnya.

Selanjutnya, Kiai Haji Wasyid atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Wasyid. Ia adalah seorang pejuang yang memimpin pada Perang Cilegon di tanggal 9 Juli 1888 sampai gugur pada 30 Juli 1888 di Banten. Ia adalah murid dari Nawawi Al Bantani dan Abdul Karim Al Bantani. Sebagai seorang pejuang, ia ahli dalam kemampuan strategis seperti melakukan komunikasi – komunikasi politik dengan para ulama serta pejuang lain di dalam dan luar daerah Banten untuk melawan penjajahan Belanda.

Tokoh lain seperti Brigjen Syam’un juga mewarnai perjuangan republik. Cucu dari tokoh Geger Cilegon, K.H Wasyid tersebut dikenal sebagai patriot dari Banten. Ia dilahirkan di Kampung Beji, Bojonegara, Serang pada 5 April 1894. Brigjen Syam’un merupakan komandan dari divisi batalion 99 tentara rakyat atau Pembela Tanah Air (PETA) yang menentang pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang di Banten.

Ia merupakan Residen Pertama Banten pada periode 1945 – 1949 dan seorang ulama pejuang yang kharismatik, pernah mendapatkan pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir. Setelah pendidikannya selesai, beliau mendirikan Perguruan Islam Al-Khaeriyah Citangkil di Cilegon, Banten.

K.H Abdul Fatah Hasan. Ia adalah wakil Residen Serang yang memerintah bersama K.H Syam’un pada periode tahun 1945 – 1949. Selain seorang ulama murid utama Ki Syam’un lulusan Universitas Al Azhar Mesir dan Pesantren Khairiyah, ia adalah pejuang kemerdekaan RI dan juga anggota BPUPKI serta KNIP. Lahir pada tahun 1912 dan hilang pada 1949 setelah bergerilya dan Ki Syam’un ditahan oleh Belanda saat Agresi Militer Belanda II. Sejak itu ia tidak kembali, tidak diketahui apakah ikut tertangkap atau wafat.

Selain itu, tokoh yang merupakan Presiden Kedua Republik Indonesia, Mr. Syafruddin Prawiranegara. Beliau lahir di Anyer Kidul (Kabupaten Serang) pada 28 Februari 1911 silam.

Pria yang memiliki panggilan kecil Kuding tersebut memimpin republik setelah menerima mandat dari Presiden Sukarno ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribu kota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948. Ia menjadi tokoh sentral pada Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Jangan membayangkan pemerintahan Syafrudin berpusat di istana. Pemerintahan republik dijalankan dalam hutan dan pengejaran pihak Belanda. Berkat perjuangan Syafrudin status Indonesia tetap berdaulat meski Belanda kalap membombardir Indonesia

Syafruddin adalah orang yang ditugaskan oleh Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948.

Hatta yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat Sjafruddin untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan. Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia.

Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta.

Selain Syafrudin, banyak tokoh pejuang lain yang berasal dari Banten. Jauh sebelum republik berdiri misalnya sosok Sultan Ageng Tirtayasa dikenal gigih melakukan perlawanan terhadap kolonial meski diakhir perjuangannya, Belanda menggunakan tangan Sultan Haji yang tak lain putra Sultan Ageng sendiri.

Syekh Arsyad Thawil Al Bantani Al Jawi. Tokoh ini lahir pada tahun 1851 di Tanara, Kab. Serang, Banten dan meninggal pada 9 Maret 1934, ia adalah seorang ulama dan pejuang dari Cirebon yang ikut berjuang dalam Perang Cilegon sejak 9 Juli – 30 Juli 1888 bersama dengan Ki Wasyid, Tubagus Ismail dan para pejuang lain dari Banten.

Ia adalah murid dari Syekh Nawawi Al Bantani. Ketahui juga beberapa nama pahlawan nasional dari jawa tengah, pahlawan nasional dari Bali, pahlawan nasional dari kalimantan dan pahlawan nasional dari Yogyakarta.

Selanjutnya, Tubagus Ahmad Chatib Al Bantani. Tokoh ini juga dikenal dengan nama K.H. Tubagus Ahmad Chatib lahir di Pandeglang, Banten pada 1855 dan meninggal pada 19 Juni 1966 dan dimakamkan di kawasan Masjid Agung Banten.

Ia adalah Residen Banten yang diangkat oleh Presiden Soekarno pada 19 September 1945. Selain itu ia juga pernah duduk di Dewan Pertimbangan Agung, DPR Gotong Royong (DPRGR), juga di MPRS dan BPPK. Ia juga merupakan pencetus berdirinya Majelis Ulama, Perusahaan Alim Ulama (PAU), juga perguruan tinggi Universitas Islam Maulana Yusuf yang kita kenal sekarang sebagai IAIN Sunan Gunung Jati, Banten.

Selain bayak melahirkan tokoh pejuang laki-laki, di Banten juga melahirkan dua sosok pejuang perempuan yang patut dicatat namanya. Keduanya yakni Nyimas Gamparan dan Nyimas Melati.

Nyimas Gamparan terkenal dalam Perang Cikande yang terjadi antara tahun 1829 – 1830. Perang terjadi karena Nyimas Gamparan yang memimpin puluhan pendekar wanita menolak tanam paksa atau Cultuurstelsel yang diwajibkan Belanda untuk penduduk pribumi. Ia dan puluhan pejuang wanita bawahannya melakukan perang gerilya untuk melawan pasukan Belanda, dan memiliki markas persembunyian di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Balaraja. Serangan – serangan yang dilakukan Nyimas Gamparan dan pasukannya sangat merepotkan Belanda.

Sosok Nyimas Melati juga merupakan pahlawan wanita yang berjuang dalam sejarah perebutan kemerdekaan di wilayah Tangerang. Ia merupakan anak perempuan dari Raden Kabal yang mengikuti perjuagan ayahnya melawan Belanda.

Namanya sekarang diabadikan sebagai nama sebuah gedung, yakni Gedung Wanita Nyimas Melati di Jalan Daan Mogot. Selain itu juga diabadikan sebagai nama sebuah jalan yang terdapat kantor KPUD Kota Tangerang. Nyimas Melati dan Nyimas Gamparan belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional wanita di Indonesia. (You/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini