CILEGON – Sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei tidak hanya diperingati dengan upacara. Presiden Sukarno tampaknya ingin tanggal keramat ini menjadi bagian dari industri Indonesia. Pada 20 Mei 1962, ketika ramai-ramainya operasi Trikora pembebasan Irian Barat, Sukarno mencanangkan pembangunan Proyek Baja Trikora di Cilegon, Banten.
“Pembangunan resmi Pabrik Baja Cilegon ini dimulai pada tanggal 20 Mei 1962, dan direncanakan akan selesai pada tahun 1968,” tulis Amri Marzali dalam “Impak Krakatau Steel Terhadap Masyarakat Cilegon” yang dimuat di jurnal Prisma (No. 3, April 1976). Industri itu dibangun lewat skema kerja sama dengan Tjazpromexport dari Uni Soviet. Pabrik dan fasilitas lainnya didirikan di atas lahan seluas 616 hektar dan terhenti karena meletusnya G30S 1965.
Pada 1967, seperti dicatat Richard Borsuk & Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016: 203), Proyek Baja Trikora terlantar. Peralatannya berkarat.
Tiga tahun kemudian industri yang pernah dikenal sebagai Cilegon Steel Mill ini dihidupkan kembali oleh Presiden Soeharto, dengan mengandalkan Direktur Pertamina Mayor Jenderal Ibnu Sutowo. Namanya kini bukan Trikora atau Cilegon Steel Mill lagi, tapi Krakatau Steel.
— Dibiayai Pertamina —
Pendirian Krakatau Steel disahkan dengan Akte Notaris Tan Thong Kie Nomor 34, pada tanggal 23 Oktober 1971 di Jakarta. Krakatau diambil dari nama gunung berapi yang pernah ada di sekitar Selat Sunda di masa lalu.
“Proyek Krakatau Steel dibiayai oleh Pertamina, sehingga masalah keuangan Pertamina mempengaruhi pembangunan proyek besi baja di Cilegon itu. Pak Sumarlin ditunjuk oleh Bapak Presiden Soeharto menjadi Ketua Tim Krakatau Steel yang bertugas untuk meneliti secara menyeluruh perencanaan dan pelaksanaan proyek Krakatau Steel, dan saya membantu Pak Surnarlin,” aku Tunky Ariwibowo dalam buku Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun (2009: 454-455).
Tunky Ariwibowo adalah ahli metalurgi didikan Kanada yang pernah bekerja di Proyek Baja trikora ketika masih 28 tahun. Pada 1975 Tunky dijadikan Direktur Utama Krakatau Steel. Sebelum Tunky, Marjoeni Warganegara adalah direktur utamanya.
Ketika menghadap Menteri Perindustrian Letnan Jenderal M. Jusuf, Tunky diberi pengarahan. M. Jusuf memberi nasihat agar Tunky berkonsentrasi pada pembangunan pabrik-pabrik baja di Cilegon. Prioritasnya adalah membangun pabrik dulu, bukan yang lain.
Richard Borsuk & Nancy Chng (hlm. 203) menyebut kontraktor-kontraktor asing—Koleckner, Siemens, dan Ferrostal—pun dapat proyek meneruskan pembangunan pabrik baja itu. Pabrikan-pabrikan asing dari Amerika Serikat dan Jerman bermain juga di sana. “Kontrak-kontrak pembangunan sudah terlanjur ditandatangani dengan nilai yang tidak kecil,” aku Tunky.
Duit pembangunan dari negara itu tak seluruhnya masuk ke kantong kontraktor-kontraktor asing. Pejabat macam Haji Thahir pun kecipratan rezeki yang bukan main banyaknya.
“Peresmiannya dilakukan oleh Pak Harto pada tanggal 27 Juni 1977,” ingat Tunky.
Namun belum semua pabrik terbangun kala itu. Soeharto tampak mengejek Sukarno dalam pidato peresmiannya. “Pembangunan pabrik baja ini, yang dimulai pada tahun 1962, sebenarnya kurang memperhitungkan kemampuan dan tahapan pembangunan waktu itu. Dan kini stabilitas ekonomi dapat kita mantapkan dan setelah kemampuan-kemampuan kita meningkat, maka pabrik baja ini dapat kita lanjutkan dan kita rampungkan seperti keadaan yang kita saksikan sekarang.”
Ketika pabrik ini diresmikan Soeharto, M. Jusuf masih Menteri Perindustrian, meski dia tidak berlatar belakang dagang atau industri. Dia adalah tentara. Tahun berikutnya, barulah M. Jusuf ditarik dari dunia industri dan menjadi Panglima ABRI merangkap Menhankam.
—–Kerap Rugi—–
Dalam hitungan tahun, seperti disebut Richard Borsuk dan Nancy Chng (hlm. 205), Krakatau Steel menjadi perusahaan yang tidak menguntungkan karena membengkaknya biaya produksi. Sepuluh negara dan dua lusinan perusahaan industri ada bermain di dalamnya. Antara Januari 1977 hingga Juni 1980, kerugian Krakatau Steel mencapai Rp250 miliar.
“Namun Soeharto […] menyukai program apapun yang memperlihatkan kemampuan Indonesia untuk memproduksi sesuatu yang tadinya diimpor,” tulis Richard Borsuk dan Nancy Chng (hlm. 205).
Ketika harga minyak jatuh, maka Soeharto pusing dan membawa Liem masuk bersama Ciputra.
“Tanpa industri besar-besaran yang didukung oleh pertanian yang kuat di masa datang itu maka mustahil kita berbicara tentang kemajuan dan kesejahteraan,” kata Presiden ketika meresmikan unit-unit produksi Krakatau Steel, seperti dirilis Berita Buana (10/10/1979) dan dimuat dalam buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita V 1979-1980 (2008: 341-343).
Di hari peresmian itu, Soeharto juga bilang, “Ini jelas merupakan prestasi besar, sebab dengan demikian kita kian bertambah maju dalam usaha untuk memenuhi sendiri segala kebutuhan pembangunan.”
Soeharto merasa Krakatau Steel bisa menjadi simbol kemajuan pembangunan Indonesia. Katanya, dalam peresmian Krakatau Steel 27 Juni 1977, “baja menduduki peranan yang penting dalam perkembangan ekonomi. Jadi industri ini akan punya masa depan.”
Belakangan, pada awal 1987, di Cilegon muncul PT Cold Rolling Mill Indonesia Utama yang sahamnya dipegang tiga perusahaan yaitu PT Krakatau Steel (40 persen), PT Kaolin Indah Utama (40 persen), dan Sistiacier SA (20 persen).
Dalam pidato peresmiannya pada 23 Februari 1987, Soeharto mengatakan, “pabrik ini juga menduduki posisi strategis dalam rangka usaha kita untuk menciptakan struktur industri nasional, khususnya industri baja.”
Sementara itu, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng, Tunky Ariwibowo, yang lama sekali mengabdi di Krakatau Steel, menuai pujian dari investor karena dianggap memperbaiki investasi Indonesia (hlm. 210).
Belakangan Tunky dijadikan Menteri Perindustrian dan jadi pembela proyek mobil nasional daripada anak Soeharto, Timor. (Red)
Sumber : Tirto.id