Beranda Opini Sapu Bersih Mafia Program Bantuan Sosial

Sapu Bersih Mafia Program Bantuan Sosial

Muhamad Febri Ramdani Peneliti Pusat Studi Agraria-IPB University

Oleh: Muhamad Febri Ramdani, Peneliti Pusat Studi Agraria-IPB University

Tahun 2020 Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI), sedang ramai menjadi bahan perbincangan publik di tengah wabah Pandemi Covid-19. Pasalnya baru-baru ini Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara telah ditetapkan sebagai tersangka tindakan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena telah menerima cashback sebesar 17 miliar rupiah dari pelaksanaan program bantuan sosial (Bansos) Coviod-19, dengan nilai anggaran Rp5,9 triliun. Hal ini yang membuat Presiden Joko Widodo me-resuffle Mensos Juliari Barubara, kemudian digantikan oleh Mantan Walikota Surabaya Tri Rismaharini.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Kemensos RI merupakan salah satu kementerian yang memperoleh alokasi anggaran belanja terbesar, pada tahun 2020 anggaran yang dialokasikan dan harus dihabiskan senilai Rp134,01 triliun. Artinya dapat kita simpulkan bahwa kementerian ini merupakan ladang yang sangat potensial untuk dikorupsi. Pasalnya jauh sebelum Jualiari Batubara terdapat Mensos yang juga terjerat kasus korupsi, seperti Bachtiar Chamsyah, Mensos periode 2001-2009 yaitu korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi impor, dan Idrus Marham Mensos tahun 2018 dengan kasus suap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Sehingga menjadi wajar ketika di era Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid dengan tegas membubarkan kementerian ini (Red:Deepartemen Sosial), beliau menyebut suatu istilah “Lembaga ini tikus-tikusnya sudah menguasai lumbung, jadi harus dibakar lumbungnya”.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengkerucutkan pembahasan pada persoalan Kemensos RI hari ini. Seperti yang kita ketahui setidaknya terdapat dua program unggulan Kemensos RI, di antaranya; 1) Program Bantuan Sosial Tunai, dan 2) Program Bantuan Sosial Non-Tunai. Program Bantuan Sosial Tunai (BST) yaitu program yang diberikan kepada keluarga pra-sejahtera, secara bersyarat dengan kriteria, dan komponen tertentu. Adapun program BST ini meliputi:

Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan (PKH)

Bansos PKH yaitu program yang diberikan kepada keluarga pra sejahtera dengan tiga kriteria, di antaranya; 1) kriteria komponen kesehatan, yaitu Ibu hamil dan anak usia dini dengan nominal uang yang diterima Rp250.000/bulannya, 2) kriteria komponen pendidikan, di antaranya meliputi; Siswa SD sebesar Rp75.000/bulannya, Siswa SMP sebesar Rp125.000/bulannya, dan Siswa SMA sebesar Rp166.000/bulannnya, kemudian 3) kriteria komponen kesejahteraan sosial yaitu penyandang Disabilitas dan Lansia yang memperoleh bansos tunai berupa uang sebesar Rp70.000/bulannya.

Tidak hanya itu bagi Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bansos PKH pun diberikan fasilitas kesehatan dan pendidikan secara gratis, dengan beragam persyaratan tersendiri sebagai kategori keluarga yang berhak menjadi penerima manfaat, kemudian dalam menyukseskan program ini pemerintah juga menyediakan pendamping PKH di setiap kecamatan yang tersebar di sejumlah Kabupaten/Kota. Tugasnya meliputi; pendataan, verifikasi, mengakomodir penyaluranan, dan pelaporan administrasi.

Timbul pertanyaan, dimana letak korupsi dalam program ini. Penulis menyajikan contoh kasus sebagaimana laporan KPK bahwa telah terjadi tindakan korupsi di Kecamatan Lape yang berada di wilayah Nusa Tenggara Barat. Petugas pendamping PKH nya ditetapkan sebagai terpidana korupsi, dari kasus pemotongan setiap bantuan yang diberikan kepada KPM PKH. Potongannya bervariasi, atau rata-rata Rp800.000 dari nominal rata-rata yang diterima KPM sebesar Rp1,89 juta, dan ini dilakukan dalam setiap pencairan dana pada periode bulannya.

Sehingga tindakan tersebut menyebabkan kerugian Negara menecapai Rp637 juta. Kerugian ini baru diakibatkan oleh satu kecamatan/kelurahan saja. Artinya jika tindakan korupsi tersebut dilakukan juga di sejumlah 7.094 kecamatan, dan 8.490 kelurahan yang tersebar di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Maka kerugian Negara dapat mencapai Rp9,9 triliun pertahunnya, dari total alokasi anggaran Kemensos untuk program bansos PKH tahun 2020 ini senilai Rp37,4 triliun. Hanya dalam satu program saja kerugiannya sangatlah fantastis.

Program Bantuan Sosial Tunai
Program Bantuan Sosial Tunai (BST) ini hampir sama dengan Program Kemensos RI di era pemerintahan sebelumnya yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT) seninail Rp250.000/KPM/bulan, sementara pada program BST nominal yang diberikan kepada setiap KPM perbulannya mencapai Rp300.000. Lalu dalam program BST ini pun tidak menutup kemungkinan terjadi tindakan korupsi, sama halnya yang terjadi dalam program Bansos PKH. Sebagaimana laporan Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Serang-Banten, bahwa telah terjadi tindakan korpusi di Desa Kadubeureum yang terletak di Kabupaten Serang-Banten, dengan total kerugian Negara mencapai Rp570 Juta, dimana trik pelaku yang merupakan Bendahara Desa tersebut yaitu dengan memindahkan rekening Desa ke rekening pribadinya.

Sebagaimana yang disampaikan Kepala Satreskrim Polres Serang-Banten, pihaknya sempat kewalahan dalam melakukan penyidikan, dikarenakan pelaku telah mentransfer sejumlah uang hasil korupsi tersebut ke rekening saham untuk bermain trading saham pada platform Forfex. Kerugian negara sebesar Rp570 juta tersebut baru diakibatkan oleh satu desa saja. Artinya jika tindakan korupsi tersebut dilakukan juga di sejumlah 74.957 desa yang tersebar di Kabupaten seluruh Indonesia, maka kerugian negara dapat mencapai Rp42,7 triliun pertahunnya dalam satu program saja.

Sementara program unggulan yang menjadi ladang korupsi selanjutnya yaitu Program Bantuan Sosial Non-Tunai. Program ini diberikan kepada setiap keluarga dengan syarat tertentu dan kategori tertentu, berupa beras dan barang pangan dengan kuantitas dan kualitas tertentu. Adapun program ini terbagi menjadi dua kategori, di antaranya;

Program Bansos Beras

Bansos Beras (BBS) merupakan program bantuan beras sejumlah 15 Kg yang dibagikan kepada 10 juta KPM yang tersebar di 34 Provinsi. Mekanisme penyaluran program BBS ini yaitu disalurkan langsung oleh Bulog kepada masing-masing KPM di titik penyaluran yang telah disepakati di tingkat Desa/kelurahan. Lalu dimana letak potensi korupsi dalam program BBS ini, sebagaimana yang pernah disampaikan Bupati Kabupaten Bogor Ade Yasin, bahwa beras yang diterima oleh warganya tidak semuanya merupakan beras premium, melainkan beberapa karung beras berisi beras campuran dan berwarna kehitaman.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kualitas barang tidak akan mengkhianati harganya itu sendiri, maka jelas patut kita curigai jika kualitasnya buruk, maka harganya pun tentu lebih murah, dan dari sana dapat kita saksikan bersama bahwa hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya kerugian Negara. Tidak hanya itu dalam pendataanpun kerap kali tidak sesuai, sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu Kepala Desa di Kabupaten Bogor bahwa data penerima yang memenuhi syarat telah diajukan kepada pemerintah daerah jumlah penerimanya yaitu 1.000 KPM, namun dalam realisasinya hanya 300 KPM. Para Kepala Desa inipun mengunjungi Pemda Kab.Bogor untuk menyampaikan aspirasinya karena tidak kuasa menahan bulan-bulan warganya yang telah didata namun tidak juga memperoleh BBS. Selanjutnya program bantuan pangan non tunai yang sangat berpotensi untuk dilakukannya tindakan korupsi yaitu Program Sembako.

Program Sembako

Program Sembako (PS) merupakan program yang diinisiasi dan dieksekusi oleh Kemensos RI beserta perangkatnya, yang merupakan satuan jajaran Tim Koordinator, meliputi; Koordinator Wilayah yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat, Koorinator Wilayah yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi, Koordinator Daerah Kabupaten/Kota dan Pendamping Sosial Bansos Pangan atau Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang dibentuk oleh Dinas Sosial Pemerintah Kabupaten/Kota, serta dilengkapi oleh perangkat Agen e-Waroeng yang dibentuk di masing-masing Desa.

Agen e-Waroeng inilah yang kesehariannya berinteraksi langsung dengan KPM PS sekaligus penyedia barang pangan dan menyalurkan barang pangan kepada KPM. Kemudian telah dilengkapi mesin Electronic Data Capture (EDC) dan Kartu Sembako seperti ATM, dimana setiap bulannya akan ditransfer oleh Kemensos RI dengan besaran nominal Rp200.000/KPM. Namun nominal tersebut tidak dapat dicairkan berupa uang tunai melainkan dicairkan dengan sejumlah paket sembako seharga nominal tersebut.

Sementara standar barang pangan sebagaimana yang terkandung dalam pedoman umum PS yaitu pangan yang mengandung sumber karbohidrat (beras, atau bahan pangan lokal seperti jagung pipilan dan sagu), sumber protein hewani (telur, daging sapi, ayam, ikan), sumber protein nabati (kacang-kacangan termasuk tempe dan tahu) dan sumber vitamin dan mineral (sayur mayur, buah-buahan). Adapun mekanisme penyaluran PS ini yaitu pertama tim koordinator memverifikasi data KPM, kedua menyampaikan hasil verifikasi data KPM kepada pemerintah Daerah, ketiga sejumlah nominal uang ditransfer ke rekening kartu sembako masing-masing KPM, keempat Agen e-Wroeng membuat dan mengirmkan Purchase Order (PO) kepada PT tertentu yang telah di kontrak sebagai penyedia/pengadaan barang pangan, kelima agen e-Waroeng menyalurkan bansos PS tersebut kepada KPM.

Lalu, dimana letak ladang yang dapat digarap dan berpotensi dilakukannya tindakan korupsi. Sementara jika dilihat secara sekilas jajaran tim pelaksana yang dibentuk dalam program ini amatlah ketat dan rapih, yang semestinya ruang untuk melakukan tindakan korupsi amatlah sempit. Namun meski demikian, pada fakta lapangannya, barisan jamaah ini pun bukan menjadi bagian dari upaya mempersempit/menutup ruang tindakan korupsi, bahkan menjadi seperangkat agenda untuk melakukan tindakan korupsi secara bergotong-royong atau berjamah, karena di dalamnya terdapat pemufakatan jahat yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir oleh jajaran tim pelaksana dengan PT penyedia barang.

Berdasarkan temuan lapangan hasil investigasi, penulis menemukan contoh kasus pemufakatan jahat yang dilakukan oleh seperangkat tim pelaksana bersama PT penyedia barang di salah satu kecamatan yuang berlokasi di wilayah Serang-Banten, dalam kasus investigasi penulis PT ini merupakan PT yang terkenal telah menguasai 5 Kabupaten sebagai supplier barang pangan dalam Program Sembako, Kabupaten yang ia kuasai di antaranya; Kabupaten Bogor, Cianjur, Lebak, Serang, dan Pandeglang. Dimana Bansos PS yang disalurkan di kecamatan tersebut hanya menyalurkan berupa paket sembako dengan komoditi Beras Medium 11 Kg, Telur Ayam 30 Butir (2 Kg) dan Kacang Tanah 1 Kg. Secara kuantitas dan kualitas barang pangan yang disalurkan tersebut, dengan gamblang dapat kita lihat bahwa terdapat ketidaksesuaian kuantitas dan kualitas barang dengan nominal yang tersedia.

Penulis dapat membuktikan tercatat per Desember 2020 harga Beras Medium Rp9.316/Kg, harga kandang Telur Ayam Rp22.000/Kg, dan harga Kacang Tanah Rp22.000/Kg, jika ditotal maka paket sembako tersebut hanya seharga Rp168.476. Sementara nominal bansos PS yang diberikan Kemensos RI senilai Rp200.000/KPM. Artinya bahwa telah terjadi pengurangan kuantitas dan kualitas barang sehingga memotong anggran sebesar Rp31.524/KPM/bulan. Lalu kemanakah larinya uang Rp31.524 ini. Jika perilaku ini dilakukan juga di sejumlah daerah di seluruh wilayah Indonesia, sementara Kemensos telah mengalokasikan anggaran 2020 untuk PS sejumlah Rp43,6 triliun untuk disalurkan kepada sejumlah 19,41 juta KPM. Maka kerugian Negara dapat mencapai Rp61,1 miliar pada setiap bulannya, dan Rp734 miliar pertahunnya.

Tidak hanya itu, Penyalahgunaan wewenang pun, acapkali terjadi dalam program Bansos PS. Berdasarkan investigasi di lapangan, rupanya PT yang bertugas sebagai supplier barang pangan tersebut dalam proses penyeleksiannya tidak sehat, atau tidak berbasis kuantitas dan kualitas barangnya. Melainkan melalui teken kontrak dengan sejumlah cashback yang diberikan. Logika berpikir seperti ini yang harus diluruskan, pertanyaannya mengapa harus menggunakan jasa PT penyedia/pengadaan barang pangan, padahal jika kita meninjau lebih jauh bahwa di setiap kecamatan pasti terdapat Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang memproduksi beragam macam komoditas yang menjadi standar barang pangan bansos PS Kemensos RI tersebut.

Alangkah bijaksananya Negara, jika benar-benar berpikir untuk mengoptimalkan potensi lokal. Sebagaimana dalam contoh kasus yang penulis sajikan, ternyata kecamatan pada contoh kasus ini memiliki Gapoktan yang dalam faktanya tidak pernah sama sekali diakomodir dalam program bansos PS, meskipun Gapoktan tersebut merupakan salah satu Gapoktan terbaik di Kabupaten Serang-Banten, yang sering kali memperoleh penghargaan karena mampu menghasilkan produktivitas tinggi dengan kualitas terbaik.

Ketua Gapoktanpun menyayangkan mengapa berasnya tidak diakomodir dalam program bansos PS ini, padahal ia dapat memberikan kualitas beras terbaiknya (premium). Namun pertanyaannya, mengapa potensi lokal tidak dioptimalkan. Padahal secara logika jika beras lokal dioptimalkan, tentu Bansos PS ini akan membawa kebermanfaatan bagi semuanya, tidak hanya bagi KPM yang notabenenya terkategori masyarakat pra-sejahtera, pun akan memberi manfaat atau nilai tambah bagi petani lokal itu sendiri.

Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mempertegas kembali, bahwa tugas pertama dan yang paling utama dari Mensos baru Tri Rismaharani bukan hanya menata para perangkatnya atau merevitalisasi programnya dan memastikan programnya berjalan lancar. Melainkan menyapu bersih Mafioso bansos baik di tataran akar rumput, tingkat lokal, maupun mafioso di tingkat nasional yang sudah sejak lama bermain-main dengan program Bansos Kemensos RI, karena sebagaimana yang telah penulis sampaikan, bahwa kerja-kerja Mafioso ini yaitu meraup keuntungan dari kerugian Negara yang nominalnya sangatlah fantastis hingga mencapai triliunan rupiah.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini