Beranda Opini Salah Kaprah Mengatasnamakan Lembaga Adat Baduy

Salah Kaprah Mengatasnamakan Lembaga Adat Baduy

Masyarakat suku adat Baduy usai melaksanakan Seba Baduy terbatas melintas di kawasan Ciceri, Kota Serang, Banten. Mereka berjalan secara terpisah-pisah dua orang dan mengenakan masker untuk menjalankan protokol kesehatan di tengah pandemi Corona. (Wahyu Arya/Bantennews)

Oleh: Uday Suhada, pecinta Komunitas Adat Baduy

Pada Selasa siang, 30 Juni 2020 saya bersama 3 orang sahabat silaturahmi ke rumah Jaro Alim di kampung Cikeusik, Baduy Dalam. Jaro Alim adalah Jaro Tangtu atau Karo Baduy Dalam, yg juga sebagai ‘tangan kanan’ Puun, pucuk pimpinan Komunitas Adat Baduy.

Ada dua persoalan yang menjadi fokus pembicaraan. Dengan logat yang khas, bahasa Sunda Buhun, Jaro Alim berkata “Kami teges nolak istilah Wisata. Lamun Saba Budaya mah kami narima. Plang na kudu dipupu eta. Dimana bae eta? Kami menta dipupu eta kabeh, ja kami mah teu nyaho dimana bae plang eta aya na. Sabab kami lain tongtonan. Ja kami mah teu mais teu meuleum.

Kami lain nitah, lain ngijinkeun urusan berita eta. Hiji nipu, kadua sebutan wisata, ditolak ku kami kitu mah. Citra kami kamana? Leungit. Siap kami narjamahkeun eta. Sebab goreng ka Lembaga Adat.”

Kemarin dan hari ini, saya membaca berita di berbagai media nasional. Isinya seragam, yakni ada 4 orang membawa surat yang ditujukan kepada Presiden RI Jokowi. Isinya menyatakan sebagai pihak yang mendapat mandat dari Lembaga Adat Baduy.

Ada dua point tuntutan yang mereka ketik dan print out serta disebar ke sejumlah media nasional, yakni :
1. Agar Bapak Presiden melalui perangkat birokrasinya berkenan membuat dan menetapkan sebuah kebijakan supaya Wilayah Adat Baduy tidak lagi dicantumkan sebagai lokasi Obyek Wisata. Dengan kata lain, kami memohon agar pemerintah bisa menghapus Wilayah Adat Baduy dari peta Obyek Wisata Indonesia.

2. Agar Bapak Presiden melalui perangkat birokrasinya mengeluarkan peraturan untuk tidak mengizinkan pihak manapun di seluruh dunia untuk membuat dan mempublikasikan citra gambar wilayah Baduy, khususnya wilayah Baduy Dalam dari sudut manapun tanpa terkecuali. Terhadap pelanggaran aturan ini kami mengusulkan agar dapat dikenakan sanksi yang tegas.

Berita ini menghebohkan. Beberapa jurnalis dan kolega menghubungi saya, mempertanyakan kebenaran surat tersebut. Saya lihat suratnya benar (benar adanya surat itu), tapi isinya salah.

Pertama, Lembaga Adat Baduy tidak pernah memberikan Surat Mandat kepada siapapun untuk berkirim surat kepada Presiden RI. Kedua, dua tuntutan di atas juga tidak benar.

Sepengetahuan saya, sejak tahun 1994 bergaul dan bersilaturahmi dengan para pemangku adat Baduy, segala urusan yang berkaitan dengan hubungan Lembaga Adat dengan pihak luar, termasuk Pemerintah (Daerah maupun Pusat), menjadi kewenangan yang dilimpahkan kepada Jaro Pamarentah/Kepala Desa.

Local wisdom yang hidup dan berkembang di Baduy, diantaranya ada yang disebut “teu wasa”. Maknanya, sungguh pun sejumlah orang/tokoh adat mengetahui tentang sesuatu, tetapi bukan kewenangannya, maka ia akan berkata “teu wasa”, karena bukan kewenangan yang bersangkutan.

Selasa siang, 7 Juli 2020, Jaro Saija, Jaro Pamarentah alias Kepala Desa Kanekes menelpon saya. Saija menyampaikan bahwa pengatasnamaan Lemaga Adat Baduy tersebut, adalah tidak benar. Demikian pula dengan dua tuntutan itu, salah!

Sebagaimana yang disampaikan Jaro Alim di atas, Jaro Saija pun demikian penjelasannya. Bahwa yang menjadi keluhan Lembaga Adat Baduy selama ini adalah soal istilah WISATA BADUY atau DESTINASI WISATA BADUY dan semacamnya. Bukan berarti mereka menutup diri dan tidak boleh dikunjungi oleh warga luar.

Hal ini selaras dengan Perdes yang tahun 2007 saya bersama almarhum N. Wachyoedin (Allahummaghfirlahu) dan Ka Budi Prakoso dari Banten Heritage membantu menyusun draft Perdes yang kemudian lahirlah Perdes No.1 tahun 2007 tentang. SABA BUDAYA DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT KANEKES (BADUY) yang ditanda tangani oleh almarhum Jaro Dainah (Jaro Pamarentah sebelum Jaro Saija).

Dalam Perdes itu dijelaskan makna SABA BUDAYA, yakni saling menghargai, menghormati dan saling menjaga dan melindungi adat istiadat masing-masing.

Baduy bereka bukan OBYEK WISATA. Mereka bukan tontonan. Banyak hal justru kita harus belajar dari orang Baduy. Sebut saja soal Ketahanan Pangan; soal menjaga kelestarian lingkungan; soal kesedeehanaan; soal kesenjangan sosial; soal antisipasi Pandemi Covid-19 yang nol kasus, dan sebagainya.

Sesungguhnya, tuntutan mereka sederhana :

1. Ganti istilah WISATA BADUY menjadi SABA BUDAYA BADUY. Baik di lingkungan Departemen, Dinas, badan dalam lingkup pemerintah; kalangan jurnalis / media massa cetak, online maupun televisi; pengguna media sosial dan sebagainya.

2. Tamu yang berkunjung DILARANG MENGAMBIL FOTO & VIDEO saat berada di kawasan Baduy Dalam

3. Orang asing (luar negeri) dilarang berkunjung ke wilayah Baduy Dalam

4. Menjaga ketertiban, keamanan dan kebersihan saat bersilaturahmi ke Urang Kanekes (Baduy).

Maka di sinilah para pihak semestinya turut serta dalam menjaga Komunikasi Adat Baduy, setidaknya tidak menganggap mereka sebagai obyek wisata.

Demikian pula mereka yang merasa memiliki kedekatan personal dengan sejumlah tokoh Pemangku Adat Baduy, pun tidak mudah mengklaim, mengatasnamakan Lembaga Adat Baduy.

Kini, pemberitaan “Baduy Kirim Surat ke Presiden” itu menyisakan keresahan masyarakat terutama para tokoh adat Baduy.

Untuk mengantisipasi persoalan serupa agar tidak terjadi lagi, maka saya berfikiran bahwa kelak diperlukan sebuah lembaga, sebut saja Baduy Center atau Baduy Institut misalnya, yang berperan untuk menjembatani kepentingan Masyarakat Adat Baduy dan kepentingan Pemerintah, Jurnalis, peneliti dan masyarakat umum.
Tabe!

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini