Oleh : Ahmad Yusdi
Wakil Ketua YBBN Provinsi Banten
“Bumi memberikan kepada kita makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan setiap orang.” (Mahatma Gandhi)
Kutipan di atas mungkin akan sangat cocok apabila dikaitkan dengan kondisi ketahanan pangan di wilayah pemerintahan Kota Cilegon. Kota yang memiliki luas 17.551 hektare ini hanya memiliki lahan baku sawah 1.108 hektare, atau hanya sekitar 0,06 persennya saja. Selebihnya lahan di daerah ini lebih banyak dikuasai oleh korporasi, baik industri besar maupun menengah.
Dengan penerapan indeks pertanaman (IP) dua kali tanam dalam setahun, dan dengan asumsi rata-rata produktivitas gabah kering pungut 5 ton per hektare, maka Cilegon diasumsikan hanya dapat memproduksi kurang lebih 11.080 ton gabah per tahun. Bandingkan dengan daerah lain di Provinsi Banten misalnya Kabupaten Pandeglang yang produksinya mencapai 936.686 ton per tahunnya.
Masalah ketahanan pangan merupakan hal yang sangat fundamental bagi keberlangsungan hidup warga masyarakat. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, dan pemenuhannya harus menjadi prioritas utama. Di Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan komoditi beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Sejarah telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997-1998 telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas Nasional.
Oleh karenanya pemerintah perlu menerbitkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 yang mengatur tentang penyelenggaraan pangan di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan dalam negeri, serta memastikan keamanan, ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan gizi yang seimbang bagi seluruh masyarakat.
Selain sempitnya lahan pertanian di Kota Cilegon, ketahanan pangan di daerah ini juga terkendala oleh sifat komoditi pangan itu sendiri yang musiman dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Kemudian persoalan lain yang tak kalah penting adalah unsur tanah, air, dan udara di kota ini telah terkontaminasi zat-zat polutan akibat aktivitas industrialisasi sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
Ekstensifikasi Lahan Pertanian dengan Memanfaatkan Lahan Tidur
Walaupun UU No 18/2012 tidak mengatur secara khusus tentang pemanfaatan lahan tidur produktif untuk ketahanan pangan, tapi UU tersebut dapan dijadikan sebagai dasar hukum kebijakan program peningkatkan dan penguatan produksi pangan.
Di wilayah pemerintahan Kota Cilegon ini banyak lahan berskala besar yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak dimanfaatkan oleh pemegang haknya. Kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menegaskan bahwa negara memiliki kewenangan untuk mengambil alih tanah terlantar tersebut. Baik petani atau masyarakat, melalui mekanisme yang telah ditentukan, dapat memohon dengan tujuan pemanfaatan untuk lahan pertanian.
Restorasi Tanah
Restorasi tanah adalah proses memulihkan atau memperbaiki sifat-sifat tanah yang telah mengalami kerusakan atau terdegradasi, baik secara alami maupun akibat aktivitas industrialisasi. Tujuannya adalah untuk mengembalikan tanah ke kondisi yang lebih sehat dan berkelanjutan, sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Aktivitas industri di Cilegon, yang dikenal sebagai Kota Baja dan industri petrokimia, memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan, khususnya tanah. Dampaknya meliputi pencemaran tanah, penurunan kualitas dan kesuburan tanah akibat terpapar zat berbahaya. Limbah industri, baik cair maupun padat, dapat mencemari tanah di sekitar area industri. Limbah ini bisa mengandung zat-zat kimia berbahaya dan dapat terserap ke dalam tanah yang dampaknya merusak struktur dan kesuburan tanah. Pencemaran ini menyebabkan penurunan kualitas tanah, membuatnya tidak lagi cocok untuk ditanami karena tidak ditopang kehidupan organisme tanah. Hal ini berdampak pada penurunan hasil pertanian dan rusaknya ekosistem.
Guna menanggulangi kerusakan tanah di atas, para ahli pertanian dan pangan yang tergabung dalam Yayasan Bhakti Bela Negara (YBBN), Banten, telah menemukan formula guna merestorasi dan merehabilitasi lahan-lahan di Kota Cilegon yang terkontaminasi. Lahan yang sudah terkontaminasi perlu direstorasi agar kualitasnya dapat pulih kembali. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai metode untuk menghilangkan zat pencemar.
Selain itu, Tim YBBN juga melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai dampak pencemaran tanah dan cara mencegahnya. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kota Cilegon juga perlu bersama-sama meningkatkan sosialisasi mengenai program ketahanan pangan, memfasilitasi, menganggarkan dan membuat regulasi tentang peningkatan produksi pangan ini.
Secara keseluruhan, ketahanan pangan merupakan fondasi penting bagi keberlangsungan hidup dan kemajuan sebuah bangsa. Namun, dominasi oligarki dalam sektor penguasaan lahan di Kota Cilegon mengancam ketahanan tersebut dengan menciptakan ketimpangan akses akan lahan pertanian sehingga menghambat kedaulatan petani kecil.
Oleh karena itu, diperlukan upaya kolektif berupa reformasi agraria, kebijakan yang berpihak pada petani kecil, penanggulangan dampak pencemaran akibat aktivitas industri, serta penguatan peran masyarakat dalam tata kelola pangan yang berkelanjutan dan adil. Hanya dengan cara inilah ketahanan pangan nasional dapat terwujud secara nyata. Menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi mendatang. (*)