DUNIA perfilman tidak hanya menyuguhkan hiburan, tetapi juga menjadi cermin realitas sosial yang menggugah kesadaran. Salah satu tema yang kuat dan penuh makna dalam sejarah sinema adalah kehidupan buruh—mereka yang berada di garda depan pembangunan namun sering kali terpinggirkan dalam narasi kekuasaan dan kemakmuran. Film tentang buruh tidak hanya menyoroti perjuangan fisik di pabrik atau ladang, tetapi juga konflik batin, kesenjangan sosial, dan harapan akan keadilan yang layak mereka peroleh.
Salah satu karya legendaris yang sering disebut dalam genre ini adalah Norma Rae (1979). Film ini diangkat dari kisah nyata seorang buruh perempuan di pabrik tekstil di Amerika Serikat yang mengambil risiko besar dengan memperjuangkan pembentukan serikat buruh. Dengan keberanian dan tekad, tokoh utama dalam film ini menunjukkan bahwa suara satu orang bisa menggerakkan perubahan besar, meskipun dihadang tekanan dari atasan maupun lingkungan sosial yang konservatif.
Dari Italia, The Working Class Goes to Heaven menjadi karya yang mencolok dalam menggambarkan alienasi dan kekosongan hidup buruh industri. Film ini menyajikan pengalaman seorang pekerja pabrik logam yang perlahan kehilangan rasa kemanusiaannya dalam rutinitas mesin, hingga akhirnya tersadar akan posisinya sebagai bagian dari sistem yang menindas. Karya ini mengupas dengan tajam dampak psikologis sistem produksi kapitalistik terhadap kehidupan manusia.
Sementara itu, di Inggris, kisah nyata para buruh perempuan diangkat dalam Made in Dagenham (2010), yang memperlihatkan perjuangan mereka dalam menuntut upah yang setara dengan laki-laki. Latar belakangnya adalah pemogokan yang berlangsung pada 1968 di pabrik mobil Ford, dan menjadi titik penting dalam sejarah perjuangan hak-hak buruh perempuan di Inggris. Film ini tidak hanya inspiratif, tapi juga memperlihatkan bagaimana solidaritas bisa melampaui batas-batas gender dan status.
Di belahan Asia, film Silenced dari Korea Selatan mengangkat isu buruh pendidikan dan bagaimana sistem bisa menindas mereka yang berusaha menyuarakan kebenaran. Meskipun bukan buruh dalam arti konvensional, para guru dalam film ini menggambarkan bagaimana pekerja bisa menjadi korban ketika institusi lebih mementingkan citra daripada keadilan. Film ini menohok, menguras emosi, dan memperlihatkan pentingnya keberanian dalam menghadapi kekuasaan.
Beralih ke kisah pekerja informal, Erin Brockovich (2000) membawa kita ke cerita seorang perempuan biasa yang berjuang melawan perusahaan besar demi membela masyarakat yang dirugikan secara lingkungan. Meski ia bukan buruh pabrik, perjuangannya mewakili suara-suara kecil yang sering tidak didengar oleh sistem. Film ini menjadi pengingat bahwa kekuatan tidak selalu datang dari pendidikan tinggi atau jabatan, tetapi dari kemauan untuk melawan ketidakadilan.
Film dokumenter seperti Angry Inuk memperluas pemahaman kita tentang makna buruh dengan menunjukkan bagaimana masyarakat adat di Kutub Utara—yang menggantungkan hidupnya pada perburuan anjing laut—berhadapan dengan tekanan global yang sering kali tidak memahami kebutuhan lokal. Film ini memperlihatkan bahwa buruh tidak selalu berada di pabrik atau kota, tetapi juga hidup di pinggiran dunia yang terus terpinggirkan oleh narasi modernitas dan moral global.
Melalui film-film ini, kita diajak untuk tidak sekadar menonton, tetapi juga merenungkan posisi kita dalam sistem sosial dan ekonomi yang lebih besar. Kehidupan buruh bukan hanya tentang keringat dan kerja keras, tetapi juga tentang harapan, hak, dan martabat. Dan film, dengan kekuatannya dalam menyentuh emosi dan menghidupkan narasi, menjadi medium yang ampuh untuk menyuarakan mereka yang kerap dibungkam oleh sejarah. (*)