Beranda Opini Pilkada di Masa Pandemi, Bagaimana Dalam Perspektif UU Kekarantinaan Kesehatan?

Pilkada di Masa Pandemi, Bagaimana Dalam Perspektif UU Kekarantinaan Kesehatan?

Muslim, Mahasiswa UIN SMH Banten Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Oleh: Muslim, Mahasiswa UIN SMH Banten Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Menyikapi bencana yang sedang melanda sejumlah Negara salah satunya Indonesia, hari ini bumi kita sedang tidak baik-baik saja dikarenakan wabah Virus Corona (Corona Virus) atau yang disebut COVID 19. Virus ini telah menyebar dengan cepat ke seluruh masyarakat dunia, Indonesia telah dinyatakan oleh WHO sebagai Negara yang telah terjangkit wabah virus covid19, berdasarkan data per 30 Oktober 2020 kasus terkonfirmasi Covid19 di Indonesia berjumlah 406.945 jiwa.

Virus Corona yang telah menjadi pandemi global berdampak secara langsung terhadap ketahanan nasional diantaranya roda perekonomian, roda pendidikan, melemahnya rupiah, serta instabilitas harga-harga bahan pokok. Selain itu, Virus Corona juga mengakibatkan terjadinya suasana “kepanikan” sosial secara berlebihan yaitu rasa curiga satu dengan yang lain, sehingga masyarakat diharuskan bahkan wajib melakukan protokol kesehatan diantaranya menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker.

Meskipun wabah Covid19 telah berdampak secara ketahanan nasional serta menyebabkan kepanikan sosial, tidak menyurutkan bahkan menunda rencana pemerintah pusat untuk tetap menyelenggarakan pilkada serentak 9 Desember mendatang di tengah pandemi. Rencana tersebut telah menimbulkan polemik dan menjadi bahan perbincangan masyarakat Indonesia terutama di Daerah yang akan melaksanakan Pilkada. Masyarakat menilai pilkada di masa pandemi ini akan mengakibatkan terjadinya penularan virus yang lebih massif, karena itu perlu ditunda hingga kondisi pandemi mereda dan memungkinkan dilakukan Pilkada serentak.

Pro dan Kontra Pilkada

Mengenai rencana pemerintah untuk menyelenggarakan pilkada serentak tanggal 9 Desember mendatang ditengah pandemi yang menimbulkan berbagai macam pro kontra. Beberapa pihak menilai bahwa adanya pilkada serentak akan menyalahkan aturan protokol kesehatan yang seharusnya dijalankan dengan ketat. Karena itu perlu ditunda sampai kondisi pandemi ini mereda.

Disisi lain, Pilkada harus terealisasi untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin daerah yang sesuai kriteria dan mampu menangani pandemi ini dengan optimal. Karena sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya bahkan sebelum pandemi. Virus corona yang datang tak terduga, menghambat kegiatan pilkada serentak ini. Pilkada serentak adalah penduduk daerah yang memenuhi syarat administratif, untuk melakukan pemilihan secara langsung dalam memilih Kepala Daerah, yang dimaksud disini mencakup Gubernur dan Wakil gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, serta Bupati dan Wakil Bupati.

Penegasan dari pihak Istana tidak ada penundaan pilkada. Juru bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan Pilkada Serentak 2020 tetap dilaksanakan dan tidak ada penundaan karena demi melindungi hak demokrasi rakyat Indonesia yaitu hak dipilih dan memilih. Fadjroel menambahkan, Presiden Joko Widodo juga menyatakan terkait tidak ada penundaan dalam penyelenggaraan pilkada ataupun menunggu pandemi berakhir, lantaran tidak ada satupun pihak yang bisa memprediksi dan mengetahui secara valid berkaitan dengan berakhirnya pandemi Covid-19.

“Pilkada Serentak ini harus menjadi momentum tampilnya cara-cara baru dan inovasi baru bagi masyarakat bersama penyelenggara negara untuk bangkit bersama dan menjadikan pilkada ajang adu gagasan, adu berbuat dan bertindak untuk meredam dan memutus rantai penyebaran Covid19” kata Fadjroel. (Kompas.com).

Sejumlah pihak mendorong penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak di sejumlah daerah di indonesia pada masa Covid19 ditunda. Penyelenggaraan Pilkada dinilai berpotensi menjadi sumber penularan virus corona yang diyakini akan semakin meningkat pada setiap tahapan Pilkada, meski protokol kesehatan diberlakukan.

Di media sosial Twitter, beredar pernyataan sikap dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang meminta Pilkada 2020 ditunda. PBNU menilai, momentum pesta demokrasi identik dengan mobilisasi massa, meski ada pengetatan regulasi terkait hal tersebut, namun dirasa kurang efektif. Terbukti dengan terjadinya kerumunan massa saat pendaftaran pasangan calon Kepala Daerah di beberapa tempat, yang rawan menjadi klaster penularan Covid19.

Selain PBNU, PP Muhamadiyah juga meminta agar Pilkada 2020 ditunda karena dalam masa pandemi Covid19 keselamatan jauh lebih penting. PP Muhammadiyah juga meminta kepada para elite politik, baik dari jajaran partai politik maupun masyarakat agar tidak memanfaatkan pandemi Covid19 sebagai komoditas politik kekuasaan pribadi atau kelompok. Mereka harus menunjukkan sikap kenegarawan dengan kearifan menahan diri dari polemik politik yang tidak substantif.

Senada dengan PBNU & PP Muhammadiyah agar Pilkada 2020 ditunda, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu menghentikan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 karena berpotensi melanggar HAM. Komnas HAM menilai hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman akan terlanggar jika Pilkada tetap digelar.

Terlebih lagi kondisi pandemi virus corona di Indonesia belum terkendali. Komnas HAM mengingatkan bahwa penundaan Pilkada dimungkinkan secara hukum, Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yang telah dijadikan UU No. 6 Tahun 2020 menyebut Pilkada bisa ditunda dan dijadwalkan ulang setelah bencana non alam berakhir. Komnas juga mengingatkan pernyataan PBB dalam Policy brief on election COVID-19, PBB menyebut pemilu yang dilakukan secara periodik bebas dan adil tetap menjadi suatu hal yang penting, tapi harus lebih memperhatikan kesehatan dan keamanan publik.

Bagaimana Dalam Perspektif UU No. 6 Tahun 2018 ?

UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur tentang tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, hak dan kewajiban, Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk, Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di Wilayah, Sumber Daya Kekarantinaan Kesehatan, Informasi Kekarantinaan Kesehatan, Pembinaan dan Pengawasan, Penyidikan, dan Ketentuan Pidana.

Menyangkut polemik penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 yang diadakan pada masa pandemi, berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan penulis telah melakukan analisa dan mendapati point-point penting diantaranya :

1. Negara Indonesia Tidak Berkomitmen Dalam Upaya Pencegahan.

Dalam pembukaan UU No. 6 Tahun 2018 pada huruf (c) menjelaskan, bahwa sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi Internasional di bidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal.

Dengan diadakannya Pilkada Serentak 2020 di masa pandemi terbukti tidak komitmennya Pemerintah dalam upaya pencegahan, terlebih lagi kondisi penularan Virus Corona di Indonesia belum terkendali. Jika Pilkada Serentak tetap dilanjutkan, ditakutkan akan menjadi klaster-klaster baru dalam penularan wabah Covid19.

2. Adanya Pelanggaran HAM

Kontestasi Pilkada Serentak 2020 dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya terpenuhi diantaranya hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman. Sedangkan pada Pasal 3 huruf (a) UU No 6 Tahun 2018, menjelaskan bahwa tujuan daripada Kekarantinaan Kesehatan yaitu untuk melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sementara dalam tahapan Pemilihan Umum identik dengan kerumunan massa, dan akan berisiko tertular dan menularkan wabah Covid19. Itu artinya antara kehidupan, kesehatan, dan rasa aman masyarakat tidak terpenuhi dan terancam jika Pilkada tetap dilanjutkan.

3. Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Pertanyakan

Pada Pasal 5 ayat (1) UU No 6 Tahun 2018 menjelaskan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.

Dalam konteks pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di masa Pandemi wabah Covid19, tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya dan ancaman wabah Covid19 patut di pertanyakan. Pasalnya kasus positif Covid19 di Indonesia sendiri belum mereda, Pemerintah tetap bersikukuh melaksanakan Pilkada serentak dengan alasan melindungi Hak Demokrasi Rakyat Indonesia. Padahal secara skala prioritas, keselamatan dan kesehatan untuk seluruh lapisan masyarakat lebih penting ketimbang dengan kontestasi Pilkada serentak yang dinilai hanya untuk kepentingan dan komoditas politik kekuasaan pribadi atau kelompok.

4. Kepastian Hukum Tercederai

Kepastian Hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Kepastian Hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan dan mengharuskan bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya (hukum).

5. Penelitian dan Pengembangan

Penelitian dan Pengembangan dilaksanakan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan masyarakat, dan ini sangat penting sekali untuk dilakukan sebelum Pilkada Serentak 2020 terlaksana. Fungsi daripada Penelitian dan Pengembangan ini, untuk mengetahui apakah daerah yang akan melaksanakan Pilkada termasuk Zona Merah, Kuning atau Hijau. Serta dapat mengetahui kasus penularan pada Daerah tersebut apakah Tinggi, Rendah atau Sedang. Jika hasil Penelitian dan Pengembangan Daerah peserta pemilu termasuk zona merah dan kasus penularannya tinggi, lebih baik Pilkada ditunda menunggu waktu yang tepat, daripada kesehatan dan nyawa masyarakat terancam hanya untuk kepentingan politik kekuasaan pribadi/kelompok.

6. Ancaman Pidana Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan

Pada Pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 menjelaskan. Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pilkada Serentak 2020 jelas berbeda. Antara jajaran politik sebagai koalisi pendukung paslon maupun masyarakat yang turut serta sebagai tim pemenangan/sukses tengah di bayang-bayangi ancaman pidana apabila melanggar protokol kesehatan. Dalam tahapan-tahapan pemilihan umum identik dengan kerumunan massa, mulai dari masa kampanye sampai hari pencoblosan. Jika dalam pengawasan dan penyidikan terbukti melanggar protokol kesehatan yang dianggap tidak mematuhi dan menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, maka konsekuensi harus siap menerima hukuman pidana denda maupun penjara sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebagai penutup. Hemat penulis, anggaran Pilkada Serentak 2020 lebih baik direalokasikan untuk penuntasan dan menekan penularan wabah virus corona agar terciptanya keselamatan untuk rakyat, karena keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi “Salus Populi Suprema Lex Esto”.

Sekian yang dapat penulis bagikan. Menulislah agar dunia tau apa yang sedang engkau pikirkan, terima kasih.

Tetap Disiplin Menjaga Protokol Kesehatan, Karena Disiplin Adalah Vaksin !

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini