Beberapa waktu lalu Bantennews.co.id mengundang penulis Niduparas Erlang yang menulis novel Burung Kayu (2020). Niduparas merupakan penulis dari Banten yang lahir di Kampung Nanggewer, Sukasari, Tunjung Teja, Kabupaten Serang, 34 tahun lalu.
Proses kreatif selama bersentuhan dengan masyarakat Mentawai menjadi tema pembahasan yang menarik untuk mengungkap sedikit informasi bagaimana “riset pustaka” yang berlanjut dengan “riset lapangan” saling menopangkuatkan novel mengenai masyarakat adat tertentu.
Burung Kayu sebelumnya menjadi “novel yang menarik perhatian dewan juri” dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 2019 lalu. Catatan dewan juri secara tersirat untuk novel ini, “Ada pula naskah berwarna lokal yang memikat dan kuat, tetapi pengisahannya ingin otentik ‘seindah warna aslinya’, tanpa merasa perlu untuk menerjemahkan bahasa daerah sehingga makna kerap buram atau hilang. Pengarangnya kurang percaya pada kemampuan bahasa Indonesia sebagai media penulisan yang dapat dipahami semua orang Indonesia,” demikian catatan juri yang terdiri dari Linda Christanty, Nukila Amal, dan Nur Zen Hae.
Dalam sesi obrolan dengan Bantennews.co.id, Nidu hanya menanggapi enteng bahwa, bahasa daerah merupakan “jalan” seseorang untuk memasuki masyarakatnya. Ia ingin pembaca Burung Kayu tidak menjadi, “pembaca yang malas” dengan duduk santai memahami semua percakapan dan benda budaya yang ada di dalamnya. “Setidaknya, pembaca Burung Kayu, tergerak untuk mencari padanan dan maksud suatu kata atau benda budaya yang ada di Mentawai sana,” kata Nidu suatu hari.
Pada kesempatan berikutnya, Burung Kayu diganjar Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) ke-20 untuk kategori prosa. Ketua Dewan Penjurian Martin Suryajaya, dalam menjalankan penjurian, pihaknya berpegang pada tiga kriteria pokok. “Pertama, kebaruan yang ditawarkan karya kepada sastra Indonesia. Kedua, kepengrajinan dalam menghadirkan bangunan karya dengan memberdayakan kecakapan bahasa Indonesia. Dan yang ketiga, dalam wujud seperti apakah karya tersebut mengambil sikap kepada situasi kita hari-hari ini,” kata Martin Suryajaya, dalam video yang diunggah melalui akun Twitter Pendiri KSK Richard Oh, Kamis, (15/10/2020).
Burung Kayu karya Niduparas Erlang berhasil menjadi pemenang. Menyisihkan empat kandidat novel lainnya, Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang, Orang-orang Oetimu, Rab(b)i, dan Surat-surat Lenin Endrou.
Pada kategori puisi antologi Empedu Tanah karya penyair Lampung, Inggit Putria Marga menyisihkan empat kandidat lain yakni Antarkota Antarpuisi, Setelah Gelanggang Itu, Mama Penganyam Noken, dan Rusunothing.
Berikut bincang-bincang Bantennews.co.id bersama Niduparas Erlang setelah mendapat KSK ke-20.
—
Selamat atas anugerah Kusala Sastra Khatulistiwa yang Anda peroleh. Bagaimana perasaan Anda meraih penghargaan ini dan seberapa penting penghargaan untuk seorang penulis?
Ya, senang. Hem… Suatu penghargaan itu penting mungkin bukan untuk pribadi si penulis, tapi untuk dedikasi si penulis yang telah bertungkus-lumus di dalam dunia tulis-menulis.
Apa makna lokalitas bagi Anda?
Kekhasan yang mungkin hanya dimiliki oleh sebuah lokal tertentu dan tidak dimiliki lokal-lokal yang lain. Tapi kekhasan itu mencakup keseluruhan dinamika dan kompleksitas masyarakat di dalamnya; berbagai jejaring di dalam masyarakat dan berbagai hal lain yang melingkupi dan mengelilinginya. Bukan sekadar tempat.
Banyak yang menyebut bahwa prosa yang Anda tulis cenderung mengangkat lokalitas. Bagaimana tanggapan Anda?
Ya, tak apa. Bagi saya, setiap prosa mengandung lokalitasnya sendiri.
Kultur lokal sering kali hanya menjadi ornamen dalam sebuah karya prosa. Dalam kasus Burung Kayu seperti apa Anda menyiasatinya?
Dalam menulis novel Burung Kayu saya berupaya tidak sekadar berkisah “tentang” Mentawai, melainkan berkisah “di dalam” masyarakat Mentawai, khususnya masyarakat di Lembah Sungai Rereiket. Saya tidak tahu apakah upaya itu berhasil atau tidak. Biarlah pembaca Burung Kayu yang menilainya.
Dari sekian banyak cerpen dan satu novel Anda lebih banyak mengangkat cerita dari daerah di luar Banten. Apa Baduy belum mengusik batin Anda untuk menuliskannya?
Baduy cukup menarik minat saya. Hanya saja, saya merasa belum cukup memiliki peluang dan kesempatan untuk mempelajarinya lebih mendalam. Boleh jadi, pemahaman saya saat ini mengenai masyarakat adat Baduy belum memadai, jadinya tak kunjung menghasilkan sebuah cerpen atau novel. Lagi pula, dari mulai novel sampai cerita anak, kisah tentang Baduy itu sudah banyak. Jadi kalau saya mau menulis itu, tentu saya harus sudah menemukan “celah” untuk menempatkan karya saya tulis di antara tumpukan cerita tentang Baduy itu.
Ngomong-ngomong, kalau Anda mengukur produktivitas berkarya rentang 1 sampai 10, di angka berapa posisi Anda?
Hahaha… Ada di angka 2 atau 3 kayaknya. Saya ini penulis yang malas, tapi berupaya menjadi pembaca yang tekun. Dan tidak semua yang saya tulis kemudian saya publikasikan, karena sebagian besar tulisan itu hanya dalam rangka belajar menulis. Ya, hanya karya yang saya anggap selesai saja yang kemudian saya publikasikan.
Buku apa yang saat ini Anda baca? Mengapa tertarik dengan buku tersebut?
Kisah dari Kebun Terakhir-nya Tania Murray Li, terbitan Marjin Kiri. Sebab jauh sebelumnya saya pernah membaca juga buku Murray Li yang lain, The Will to Improve, dan itu buku bagus sekali. Kalau mau tahu itu buku bagusnya seperti apa, silakan baca sendiri.
Adakah kaitan dengan rencana karya berikutnya atau Anda punya ancang-ancang tema lain?
Kalau karya berikutnya yang dimaksud adalah karya sastra, saya belum ada rencana. Setelah membaca dua buku Murray Li itu, saya mulai berpikir untuk melakukan riset dengan merujuk pada konsep-konsep yang ditawarkan Murray Li. Tapi bukan untuk menulis karya sastra, walaupun tak menutup kemungkinan untuk itu, melainkan untuk rencana menulis disertasi. Saat ini saya sedang berupaya menulis rencana studi doktoral. (**)