Oleh: Siti Fatmala
Mahasiswa FKIP Untirta
Kata efisiensi akhir-akhir ini mencuat ke permukaan. Banyak sektor yang terkena dampaknya, salah satunya sektor pendidikan.
Lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang penghematan anggaran, masyarakat mengeluhkan hal ini. Pemangkasan yang dianggap krusial ini menimbulkan pro dan kontra.
Banyak pihak terdampak, mulai dari pelajar, guru, dosen, sampai tenaga kependidikan lainnya. Pemangkasan anggaran pendidikan, penghapusan izin guru honorer, dan digitalisasi secara mendadak yang menimbulkan kesenjangan terutama di daerah pelosok menghadirkan tanya, apakah nama lain dari efisiensi adalah mengabaikan?
Kita tidak menutup mata terhadap usaha pemerintah mengelola anggaran dengan lebih bijak. Tapi, mengabaikan hak-hak pendidik—guru, dosen, tenaga kependidikan dan membatasi hak mahasiswa dalam penggunaan ruang kelas, listrik, air, sampai lebih banyak pembelajaran daring, itu bukan efisiensi, tapi pengabaian.
Gaji tak layak bagi pendidik, bahkan program seperti IISMA (Indonesian International Student Mobility Awards) yang memberi kesempatan mahasiswa belajar di luar negeri mulai terdengar tidak sejelas sebelumnya.
Beasiswa dalam negeri yang dipersempit kuotanya, dan PPG yang semakin ketat, serta berbagai pemangkasan lainnya justru menunjukkan kematian empati di tengah lahirnya efisiensi.
Padahal, pendidikan itu kunci kemajuan bangsa. Bagaimana kita bisa menghasilkan generasi yang cerdas kalau tempat untuk berpikir kritis dan menumbuhkan kreativitas mereka saja dibatasi?
Belakangan ini ramai berita soal pelajar Papua yang menyuarakan aspirasi mereka. Mereka ingin sekolah gratis, bukan makan siang gratis. Ini menunjukkan betapa pendidikan adalah kebutuhan mendasar yang efeknya jangka panjang bukan sekadar soal makan hari ini.
Pendidikan bukan proyek jangka pendek. Bukan sekadar data dan grafik. Pendidikan adalah perihal masa depan, perihal membangun manusia.
Guru honorer jadi bukti nyata hilangnya empati di negeri ini. Mereka mengabdi, mencerdaskan anak bangsa, tapi dibayar seadanya. Di atas kertas mereka disebut “tenaga kontrak,” tapi dalam praktiknya mereka bekerja penuh, bahkan sering tak dihargai.
Ini bukan efisiensi, ini tidak punya hati. Mereka bukan hanya bagian dari sistem, mereka adalah tulang punggung pendidikan. Tapi sayangnya, negara seolah menutup mata.
Efisiensi tanpa empati juga terlihat dalam cara pandang negara soal arah pendidikan. Pendidikan sekarang lebih diarahkan pada penciptaan tenaga kerja yang siap pakai, bukan manusia yang berpikir kritis, punya moral, kreatif, dan berdaya.
Tidak mengherankan jika pendidikan karakter yang dahulu dijunjung tinggi sekarang secara perlahan menghilang.Sistem sekarang terlalu kaku, tak lagi memanusiakan manusia.
Anak-anak diberi pengetahuan, tapi tidak dibentuk karakternya. Kebobrokan sistem pendidikan pelan-pelan mulai terlihat. Lalu, apakah ini bisa diubah? Tentu bisa, tapi butuh kerjasama semua pihak.
Pemerintah harus lebih peka terhadap kondisi lapangan, dan saat membuat kebijakan harus mempertimbangkan semua dampaknya bukan hanya untuk keuntungan segelintir kelompok.
Masyarakat pun harus sadar bahwa efisiensi dan empati bukan dua hal yang bertolak belakang. Keduanya bisa jalan beriringan kalau ada niat baik dan pemimpin yang adil.
Maka, mari kita suarakan bahwa pendidikan adalah hak semua warga, bukan barang dagangan yang bisa dikurangi sesuka hati. Kalau kita ingin hasil yang baik, maka pendidikannya pun harus ditanam dengan cara yang baik.
Dengan pupuk yang berkualitas yakni sistem yang adil, guru yang sejahtera, dan fasilitas yang layak. Pendidikan bukan hanya untuk mencerdaskan, tapi juga untuk memanusiakan manusia.
(***)