Beranda Kesehatan Penderita Hemofilia Makin Meningkat, Begini Tata Laksana Pengobatannya

Penderita Hemofilia Makin Meningkat, Begini Tata Laksana Pengobatannya

Ilustrasi - foto istimewa detik.com

SERANG – Sejak 10 tahun terakhir, jumlah penyandang hemofilia semakin meningkat di Indonesia. Hingga tahun 2021, terdapat 2.425 penyandang hemofilia. Angka ini baru sekitar 10% dari estimasi jumlah kasus sesuai dengan jumlah populasi Indonesia, yaitu sekitar 28.000 orang.

Hemofilia adalah kelainan langka yang mengganggu pembekuan darah akibat kurangnya faktor pembekuan (protein pembekuan darah). Darah pada seorang penyandang hemofilia tidak dapat membeku sendirinya dengan normal, dan membutuhkan lebih lama untuk proses pembekuan darahnya.

Jika kondisinya parah, penyandang hemofilia dapat mengalami perdarahan di dalam tubuh, terutama di lutut, pergelangan kaki dan siku. Perdarahan internal ini dapat merusak organ dan jaringan tubuh yang bisa menyebabkan disabilitas fisik dan mengancam jiwa.

Hemofilia merupakan penyakit genetik dan pengobatan serta perawatannya harus dilakukan seumur hidup. Beban fisiologis, psikologis dan ekonomis harus dihadapi oleh penyandang hemofilia seumur hidup.

Penatalaksanaan hemofilia di dunia sudah berkembang pesat. Di Indonesia, pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah meningkatkan akses terhadap konsentrat faktor pembekuan darah sebagai pilihan utama dalam mencegah dan mengobati perdarahan pada penderita hemofilia.

Selain itu, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) tahun 2021 juga telah merekomendasikan pemberian konsentrat faktor pembekuan darah dosis rendah sebagai terapi profilaksis.

Terapi dengan pendekatan profilaksis diberikan sebelum terjadi perdarahan dan bertujuan untuk mencegah terjadinya perdarahan, sedangkan terapi on-demand adalah terapi setelah perdarahan terjadi dan bertujuan untuk menghentikan perdarahan.

World Federation of Hemophilia (WFH) dan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Hemofilia saat ini merekomendasikan terapi profilaksis untuk pasien hemofilia A sebagai pilihan utama.

Banyak studi menunjukkan efektivitas terapi profilaksis yang lebih tinggi dibandingkan terapi on demand untuk menurunkan kejadian perdarahan, bahkan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan jangka panjang.

Namun demikian, tidak semua pilihan terapi profilaksis yang tersedia dijamin dalam program JKN, atau menghadapi berbagai keterbatasan dalam implementasinya.

Dokter Spesialis Anak, Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), DR. Dr. Novie Amelia Chozie, Sp.A(K) menjelaskan, PNPK merekomendasikan pemberian konsentrat faktor pembekuan darah dosis rendah dengan tujuan profilaksis dalam penanganan hemofilia.

“Terapi profilaksis untuk mencegah perdarahan dapat dilakukan dengan memberikan faktor pembekuan, berupa faktor VIII dosis rendah atau bypassing agent untuk pasien-pasien dengan antibodi faktor VIII, maupun non-factor replacement therapy, yaitu emicizumab,” jelas dia melansir Suara.com (jaringan BantenNews.co.id).

Lebih lanjut DR. Dr. Novie Amelia Chozie, Sp.A(K) menjelaskan bahwa terapi emicizumab dapat diberikan sebagai terapi profilaksis pada pasien hemofilia A, baik dengan atau tanpa inhibitor (zat penghambat laju hemofilia). Terutama pada kasus-kasus dengan akses vena (pembuluh darah) yang sulit, dimana pemberian emicizumab diberikan pada pasien secara subkutan (suntikan).

Tantangan Pengobatan Hemofilia di Indonesia

Meski pengobatan inovatif telah masuk dalam standar penanganan hemofilia oleh Pemerintah, namun berbagai tantangan di lapangan masih kerap ditemui. Terbatasnya akses, biaya, dan metode pengobatan yang belum sesuai standar menjadi tantangan utama dalam memberikan penanganan yang optimal bagi penyandang hemofilia di Indonesia.

Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, Prof. Dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K) menjelaskan, meski PNPK sudah mengadopsi pengobatan inovatif, dalam pelaksanaannya pengobatan pasien masih bergantung dari kebijakan dan kondisi dari masing-masing rumah sakit. PNPK diturunkan menjadi Panduan Praktik Klinis (PPK) yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing rumah sakit, sesuai dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang ada.

“Akibatnya, pasien tidak bisa mendapatkan pengobatan yang optimal dan sangat bergantung dari rumah sakit yang menanganinya,” ujar dia.

Tantangan lainnya, lanjut Prof Djajadiman adalah terkait pembiayaan pengobatan. Hemofilia adalah penyakit yang diderita seumur hidup sehingga pembiayaan menjadi kendala terbesar bagi pasien.

Dalam sistem JKN, hemofilia merupakan salah satu dari delapan penyakit katastropik yang dijamin oleh JKN, dengan jumlah kasus serta biaya yang terus meningkat setiap tahunnya. Data Profil Kesehatan Indonesia, Kementerian Kesehatan tahun 2021 menyebutkan pembiayaan hemofilia mencapai lebih dari Rp 500 miliar.

Dokter Spesialis Anak, Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), DR. Dr. Novie Amelia Chozie, Sp.A(K) menambahkan, pengobatan inovatif tidak selalu identik dengan biaya tinggi. Terdapat pengobatan inovatif yang lebih baik dari segi manfaat, namun juga lebih efisien dari segi total biaya perawatan yang tidak hanya terkait biaya obat.

“Sebuah studi lokal menggunakan pendekatan model simulasi mengenai pemberian profilaksis dengan obat inovatif emicizumab terbukti menghemat anggaran negara sebesar 51 milyar dalam waktu 5 tahun dibandingkan dengan tanpa emicizumab,” pungkasnya.

Studi ini sebelumnya telah dipresentasikan di HTAsiaLink dan Konas HMHI tahun 2021. Dari sisi pembiayaan, penting untuk membangun sinergi antar lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa transformasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang tengah berlangsung dapat memperluas akses penyandang hemofilia dalam mendapatkan perawatan yang sesuai standar.

Upaya HMHI Wujudkan Penanganan yang Optimal bagi Penyandang Hemofilia di Indonesia

Penyebaran informasi akan urgensi dan pentingnya kesadaran hemofilia oleh pemangku kepentingan dan masyarakat menjadi penting, sehingga dapat mewujudkan akses yang lebih luas bagi para penyandang hemofilia.

Ketua HMHI Prof. Dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K), Ketua HMHI, menyampaikan, HMHI sebagai wadah untuk komunitas penyandang hemofilia dan tenaga medis terkait berkomitmen untuk meningkatkan pemahaman tenaga medis tentang diagnosis dan tata laksana terkini untuk hemofilia dan kelainan darah.

“HMHI juga berupaya memberikan rekomendasi kepada pemerintah agar penanganan hemofilia dapat ditingkatkan secara optimal di Indonesia. Tidak berhenti di situ, kami juga meningkatkan kesadaran masyarakat umum tentang pentingnya peningkatan penanganan hemofilia ini,” tambahnya.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat umum dan pengetahuan tenaga medis profesional terkait penanganan hemofilia, HMHI mengadakan simposium nasional yang berlangsung pada 21-22 Juli 2023 di Jakarta.

(Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini