Beranda Pemilu 2024 Pemilu 2024 Diprediksi Bakal Berdarah-darah, Banyak Persoalan di Daerah

Pemilu 2024 Diprediksi Bakal Berdarah-darah, Banyak Persoalan di Daerah

Ilustrasi - foto istimewa detik.com

SERANG – Penyelenggara Pemilu diminta untuk berhati-hati dalam melangkah pada pelaksanaan kontestasi politik lima tahunan yang akan digelar 2024 mendatang. Pasalnya, Pemilu 2024 diprediksi banyak pihak akan berdarah-darah.

Pernyataan tersebut berdasarkan banyaknya temuan persoalan yang pada kenyataannya belum tertuang atau tidak diatur dalam aturan penyelenggaraan pemilu.

“Masalahnya banyak hal yang belum tercover oleh peraturan penyelenggara Pemilu, termasuk kampanye di media sosial,” kata Anggota KPU Sulawesi Selatan (Sulsel) Uslimin saat diskusi bertema “Urgensi Penataan Regulasi Kampanye di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak tahun 2024 yang Edukatif dan Informatif” di UIN Alauddin, Kabupaten Gowa, Sulsel melansir suara.com (jaringan BantenNews.co.id).

Selain itu, ia menambahkan kerapkali ada perbedaan persepsi antara KPU dan Bawaslu, termasuk dalam persoalan definisi.

Tak hanya soal definisi media sosial, tetapi ada beberapa hal lainnya. Ia mencontohkan, misalnya perbedaan persepsi antara KPU dan Bawaslu terkait definisi mantan koruptor menjadi caleg.

Berangkat dari pengalaman Pemilu 2019, Uslimin mengatakan, penyelenggara Pemilu seringkali menjadi korban penyebaran hoaks. Seperti sempat beredar isu tujuh kontainer berisi surat suara yang telah tercoblos.

“Dalam hal pengawasan kampanye media sosial memang penyelenggara Pemilu kurang memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Yang bisa melakukan pengawasan tersebut adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Kepolisian RI. Catatannya apakah mereka mau atau tidak?” kata Uslimin.

Sementara itu, Ketua Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) Mardiana Rusli mengungkapkan tantangan yang dihadapi saat ini, yakni derasnya arus informasi yang banyak muncul di media sosial (medsos).

Sisi negatif dari medsos tersebut yang kemudian menjadi tantangan besar saat ini, karena bisa menjadi alat untuk propganda politik bernada negatif.

“Tantangan Pemilu saat ini di Sulawesi Selatan adalah pertama politik identitas. Kedua, politik uang yang kami prediksi akan dilakukan melalui akun e-commerce. Ketiga, disinformasi yang seringkali terjadi merugikan Bawaslu”, katanya.

Selain itu, derasnya informasi saat ini yang paling banyak tersebar melalui media sosial juga berpotensi menyebabkan pelanggaran Pemilu, seperti maraknya hoaks melalui akun media sosial dan media massa.

“Namun masalahnya, kami tidak bisa menelisik lebih jauh apakah adanya hubungan antara akun resmi dengan buzzer yang menyebar hoaks. Selain itu, kami juga memiliki keterbatasan kewenangan dan sumber daya dalam melakukan pengawasan dan take down terhadap postingan kampanye.”

Untuk mengantisipasnya, Bawaslu berusaha melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusianya dan juga berkolaborasi dengan gerakan literasi dalam partisipasi pengawasan Pemilu.

“Oleh karena itu, kami melakukan peningkatan sumber daya manusia untuk mengelola media sosial untuk menjawab tantangan disinformasi jelang Pemilu 2024. Kami juga mencoba untuk kolaborasi dengan gerakan-gerakan literasi di masyarakat sebagai bagian dari partisipasi pengawasan Pemilu,” katanya.

Diskusi ini merupakan bagian diseminasi hasil penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) tentang “Penataan Kampanye Politik di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024 yang Informatif dan Edukatif”.

(Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News