
SERANG – Memperingati momentum Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional yang jatuh setiap tanggal 15 Februari, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) ikut mendorong DPR RI untuk mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) menjadi UU yang tak hanya melindungi para pekerja namun juga para pemberi kerja.
Yuni Asri salah satu perwakilan dari Jala PRT menyampaikan berbagai persoalan yang dialami PRT yakni diantaranya pelecehan atas pekerjaan dan perlakuan semena-mena terhadap PRT seperti di PHK karena berkacamata minus 3, menunggu di teras ketika majikan pergi, tidak boleh duduk di bangku tunggu sekolah meski bangku kosong dan seperti yang terjadi pada para PRT yang bekerja di apartemen tidak boleh lewat lobby, lift majikan dan di taman juga pelecehan yang dialami oleh anak-anak di sekolah karena ibunya bekerja sebagai PRT dan mendapat ejekan.
Kedua, situasi kerja yang tidak layak dialami oleh PRT. Mayoritas PRT bekerja dalam situasi yang tidak layak, masih mengalami diskriminasi dan tidak diakui sebagai pekerja, bekerja dengan beban kerja yang terbatas dan jam kerja panjang dengan rata-rata lebih dari 16 jam kerja per hari. PRT tidak ada istirahat, tidak ada libur mingguan, tidak ada cuti tahunan, tidak ada jaminan sosial baik jaminan kesehatan sebagai peserta PBI dan jaminan ketenagakerjaan. Sementara diberikan upah sangat rendah yaitu 20-30 persen dari UMR. PRT juga mengalami akses pembatasan sosialisasi dan berorganisasi serta tidak ada jaminan atas tinggal dan makanan yang layak dan sehat. Saat pandemi, banyak PRT yang juga dirumahkan dan dipotong upah hingga 75 persen.
“Ketiga berbagai kasus dari mulai psikis, fisik, ekonomi, dan seksual. Dari pelecehan hingga kekerasan yang fatal kehilangan nyawa atau tidak berfungsinya organ tubuh. Banyak juga kasus PRT yang tidak dibayar upahnya dari yang 1 bulan bahkan hingga 9 tahun,” ujar Yuni dalam Webinar ‘Sambut Hari Pekerja Rumah Tangga Nasional’ yang dikutip BantenNews.co.id pada Senin(14/2/2022).
Lanjut Yuni, mayoritas PRT juga tidak mengikuti jaminan sosial kesehatan dan jamsostek serta luput dari perlindungan jaminan sosial. Dengan pendapatan sangat minim dan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, lebih sulit untuk PRT membayar iuran jaminan kesehatan mandiri dengan iuran terendah kelas 3 sehingga ketika PRT mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja, dirinya harus menanggung biaya pengobatan sendiri dengan cara berutang atau lebih memilih untuk tidak berobat. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya peraturan perundangan yang mengikat, mengakui dan melindungi PRT.
“RUU PPRT merupakan bentuk pengakuan dan pelindungan terhadap perempuan pekerja. Selain secara luas UU PPRT juga ditujukan untuk membangun situasi dan hubungan kerja yang saling memanusiakan, mendukung dan melindungi antara sesama warga sebagai PRT dan pemberi pekerja. Harapan kami pimpinan DPR dan Presiden memberi langkah baik untuk mengesahkan RUU PPRT yang sudah 18 tahun di DPR RI,” ungkap Yuni.
Tahun 2022 menjadi tahun ke-18 RUU PPRT di DPR RI. Saat ini RUU tersebut masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2022 dan masih menunggu pengesahan sebagai RUU Inisiatif DPR RI, meski saat ini juga masih memperlihatkan kesepakatan oleh 7 fraksi untuk meneruskan pembahasan RUU tersebut, sementara 2 fraksi lainnya menolak.
Dalam hal ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan juga turut meminta semua masyarakat untuk memberikan dorongan kepada DPR RI untuk segara mengesahkan RUU PPRT menjadi UU PPRT.
“Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM nasional melakukan penguatan dan penyadaran publik untuk memperkuat dukungan terhadap pembuat kebijakan di DPR RI agar tidak ragu dalam membahas dan mengesahkan RUU PRT menjadi UU yang melindungi para PRT kita,” ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin.
Untuk mengurangi dampak minimnya pelindungan terhadap PRT, Koalisi Masyarakat Sipil dan pemerintah mulai dari mengorganisir PRT ke dalam serikat agar dapat terus menyuarakan kepentingannya dan membantu anggota yang mengalami kekerasan dengan minim pengamanan, melakukan advokasi dan kampanye hingga upaya pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 tahun 2015. namun Permenaker tersebut ditengarai masih belum cukup memberikan pelindungan terhadap PRT, mengingat masih banyaknya kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang dialami PRT dan minim penanganan.
“Oleh karena itulah dibutuhkan payung hukum yang lebih tinggi dan dapat merangkai upaya perlindungan yang lebih sistematis bagi PRT,” kata Mariana.
Sementara itu, menurut Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini usulan terkait arah strategi advokasi kebijakan mengenai RUU PPRT yang bisa dilakukan bersama yakni salah satunya melalui penguatan media untuk penyebarluasan informasi dan kampanye perlindungan PRT serta untuk implementasinya dengan pendidikan publik melalui kampanye di beberapa wilayah di luar Pulau Jawa dan media briefing.
“Media briefing juga penting, karena masih banyak sekali media yang belum memahami betul apa itu RUU PPRT dan kerap juga keliru, Satu kata saja misalnya menggunakan kata pembantu, menurut saya itu menjadi sesuatu yang memperlihatkan bagaimana isu PRT belum begitu mengkristal di tingkat media,” kata Theresia.
Atas beberapa hal tersebut, urgensi pengesahan RUU PPRT dinilai sama halnya dengan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dikarenakan sebagai wujud keberpihakan negara terhadap warga negaranya yang rentan dan perempuan korban. (Nin/Red)