Beranda Opini Menyelamatkan Cita-Cita Pembentukan Provinsi Banten

Menyelamatkan Cita-Cita Pembentukan Provinsi Banten

(Sumber foto: rumahdijual.com)

Menyelamatkan Cita-Cita Provinsi Banten
Oleh : Gun Gun Gunawan & Muhaemin (Limasakti)

4 Oktober 2018, Provinsi Banten genap berusia 18 tahun. Usia yang tidak muda lagi bagi ukuran sebuah daerah otonom. Jika dianalogikan kepada manusia, Banten adalah ABG. Penuh semangat, aktif, dan produktif. Provinsi Banten yang terdiri dari 8 kabupaten/kota yaitu Kabupaten dan Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Lebak, Pandeglang, Tangerang, serta Kota Tangerang dan Tangerang Selatan ini terbentuk atas dasar keinginan sekaligus keprihatinan warga Banten khususnya di wilayah yang berdekatan eks keresidenan Banten yakni Pandeglang, Lebak, dan Serang atas ketertinggalan Banten di banding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Ketertinggalan terjadi dalam bebagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, infratsuktur, dan kesejahteraan.

Penulis sendiri hingga usia remaja hanya bisa membaca kemegahan ibukota Jawa Barat yang juga Banten yaitu Bandung dari koran bekas bungkus pecel yang dibeli ayah selepas mengajar di sebuah madrasah pedalaman Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Lebak, tahun 80-an, atau dari dari majalah Pembinaan Keluarga terbitan Depag Jawa Barat. Jika ada yang penting, sesekali ayah juga berangkat ke Bandung mengurus administrasi kepegawaian atau sekadar melegalisir ijasah dimana jarak Kecamatan Banjarsari-Bandung kurang lebih 250 kilometer atau membutuhkan waktu saat itu 15-18 jam menggunakan bus.

Setelah resmi Banten berpisah dengan Jawa Barat menjadi provinsi baru berdasarkan UU Nomor 23/1999, awalnya memang belum terasa dampak positif kehadiran provinsi baru. Namun sebagai warga Banten tentu kami bangga sekaligus memberikan harapan akan adanya pemerataan pembangunan yang menjadi jargon para penggagas pembentukan Provinsi Banten. Tidak perlu lagi ayah atau saya ke Bandung untuk sekadar legalisir ijazah karena lembaga-lembaga pemerintahan baik itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah ada di Serang sebagai ibu kota provinsi. Satu, dua, tiga tahun saya dan mungkin warga Banten lainnya sabar menunggu perubahan dan kemajuan. Namun tak kunjung datang. Jalan dari dan menuju wilayah selatan tetap seperti saat saya menjadi warga Jawa Barat. Sempit, berlumpur, dan gelap gulita karena tidak ada PJU. Begitu juga di bidang pendidikan. Bangunan sekolah tetap banyak yang mengalami kerusakan, angka putus sekolah stabil (tetap tinggi), dan biaya pendidikan juga mahal terutama saat akan masuk SLTA dan bangku kuliah. Akses warga ke SLTA dan perguruan tinggi pun terkendala minimnya informasi. Begitu juga di bidang kesehatan. Saat sakit, anggota keluarga kami harus tetap naik ojeg ke puskesmas  yang jaraknya 20 KM atau ditandu menggunakan kain menuju jalan raya.

Rendahnya aksesibilitas dan SDM kesehatan di awal-awal Provinsi Banten berdiri ini juga berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan anak (AKI AKB) saat persalinan, penderita gizi buruk, dan tumbuh tidak wajar akibat gizi kurang (stunting).

Sekarang, Provinsi Banten sudah berusia 18 tahun. Idealnya, segala kepahitan yang dirasakan warga di awal-awal Provinsi Banten terbentuk dan mungkin diwariskan Jawa Barat secara perlahan bisa teratasi. Namun, kepahitan hidup itu rupanya sulit beranjak dari keluarga kami, hingga kini. Hanya untuk mencari pekerjaan saja misalnya, ribuan tenaga produktif dari Pandeglang dan Lebak harus berbondong-bondong ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Tangerang, atau menjadi kuli bangunan diproyek-proyek besar di Kalimantan dan Sumatera. Bahkan, banyak pula yang memutuskan menjadi Tenaga Kerja Indonesia ke kawasan Asia dan Timur Tengah. Fenomena ini terjadi lantaran minimnya lapangan kerja baru di wilayah Banten, ditambah rendahnya skill usia produktif akibat terbatasnya wahana kursus dan diklat yang merupakan kewajiban pemerintah. Minimnya lapangan kerja di sektor swasta juga menjadi penyebab maraknya tenaga honorer di kantor-kantor pemerintahan di wilayah Banten.

Ribuan warga Banten lulusan SMA dan perguruan tinggi rela mengabdi sebagai tenaga honorer sambil menunggu belasan bahkan puluhan tahun untuk diangkat menjadi ASN. Soalnya setiap kali ada rekrutmen CPNS, kuota sangat terbatas sehingga perlu kedekatan dengan pengambil kebijakan serta uang sogokan yang nilainya mencapai Rp 200.000.000 untuk satu posisi. Maraknya suap penerimaan CPNS ditangapi Pemprov dan Pemkab kabupaten/kota dengan selalu memberikan himbauan agar warga berhanti-hati atas penipuan berkdok penerimaan CPNS.
Di bidang politik dan pemerintahan, kehadiran Provinsi Banten rupanya menjadi berkah tersendiri pada satu golongan tertentu.

Politik kekeluargaan yang kemudian dikenal dengan politik dinasti sangat kental di Banten dan semakin menyiutkan nyali mereka yang tidak jelas latar belakang keluarga atau bin nya untuk merasakan dampak pembangunan atau sekadar berpartisipasi dalam pembangunan. Ini ditandai dengan penguasaan lembaga-lembaga politik, organisasi sosial, OKP, hingga akar rumput oleh satu klan yang memiliki kekuatan ekonomi dan sosial yang besar. Politik dinasti juga kemudian diyakini menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Banten. Akibat dari merajalelanya KKN ini ditandai dengan tidak meratanya pembangunan bahkan Kabupaten Lebak dan Pandeglang hingga saat ini tetap menjadi daerah tertinggal tentunya dengan persoalan masing-masing yang bila penulis analogikan sebagai kutukan. Berat rasanya keluar dari keterpurukan ini kecuali denga campur tangan kekutan yang maha kuasa, Allah SWT.

Bagaimana potret Banten 4 Oktober 2018 ini? Lintas Masyarakat Anti Korupsi (Limasakti) yang merupakan komunitas yang pembentukannya didorong KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan komposisi warga dan ASN di sejumlah perangkat daerah (OPD) di Lebak dan Pandeglang mencoba memotet Banten melalui survey dengan fokus sasaran adalah layanan publik bidang Dana Desa (DD), pemanfaatan bantuan operasional sekolah dan kartu indonesia pintar (KIP), dan pemanfaatan Jaminan Kesehatan Nasional. Tiga bidang ini sejatinya merupakan intervensi pemerintah yang nilai kemanfaatannya sangat besar untuk mengakselerasi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Jaminan Pembiayaan Kesehatan
Hasil survey yang dilakukan tanggal 7-9 September 2018 dilakukan pada 271 responden yang tersebar di 3 desa dengan komposisi 66,7 persen perempuan da 33,3 persen laki-laki. Survey menunjukkan, 8 dari 10 responden berpendidikan SD dan SMP (71,1% SD & 11,4% SMP). Tim juga bertanya tentang jaminan pembiayaan kesehatan untuk keperluan berobat jalan/inap. hasil survey menunjukkan warga yang memiliki JKN/KIS sebanyak 69,1%, tidak punya 29,6% dan punya asuransi swasta 1,2%. Soal prosedur pembuatan kartu JKN – BPJS, 7 dari 10 responden menyatakan tidak mengetahui prosedur pembuatan kartu JKN/KIS tepatnya yang mengetahui 25,6 % tidak tahu 74,4%. Ditengah ketidak tahuan masyarakat akan prosedur pembuatan kartu ternyata warga rata-rata mengetahui manfaat yang dirasakan setelah menjadi peserta JKN/KIS. Kendati tahu akan manafaatnya baru 68 % warga yang pernah menggunakan layanan sementara 32 persen tidak pernah.

Soal keterbukaan informasi publik terkait JKN/KIS, survey menunjukkan 50,5% pernah melihat informasi terkait prosedur penggunaan BPJS dari poster, televisi, dan media lainnya.

Tata Kelola Dana Desa
Di bidang tata kelola Dana Desa (DD), Limasakti juga menelusuri sejauhmana pemanfaatan dan tata kelola DD yang oleh pemerintah diproyeksikan untuk segera mengentaskan desa dari persoalan ketertinggalan dan keterbelakangan akibat dana yang minim. Penyaluran DD ini merupakan amanat dari UU Nomor 6 tahun 2014. Apakah warga sudah pernah mendapatkan sosialisasi UU Tentang Desa dalam rangka memperkuat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 17,5% menyatakan pernah dan 82,5 % tidak pernah.

Penyaluran DD juga sejatinya untuk menumbuhkan pembangunan yang partisipatif namun sayangnya hasil survey menunjukkan hanya 20% persen warga yang dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan dan anggaran desa selebihnya yaitu 80, 5 % tidak dilibatkan rata-rata 54% tidak diundang 41 % tidak mengetahui dan 5 % tidak mau terlibat. Tersalurkanya DD dengan baik tidak lepas dari terbukanya akses warga terhadap informasi pertanggungjawaban penggunaan DD, namun hanya 23% warga yang dapat informasi pertanggungjawaban dan selebihnya yaitu 77% tidak dapat informasi karena tidak tahu dan tidak diundang. Soal pengetahuan warga akan penggunaan DD merupakan bagian dari perencanaan pembangunan desa yang telah ditetapkan bersama, 65 % menjawab ya selebihnya menjawab bukan atau tidak.

Untuk mengecek pemanfaatan DD, Limasakti juga mengajukan pertanyaan apakah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan melalui APBDesa sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 30,6% responden menjawab ya sebagian, 52,9% ya seluruhnya, dan 16,5% menjawab tidak.

Kepatuhan aparatur desa terhadap UU Keterbukaan Informasi Publik oleh tim diuji dengan mengajukan pertanyaan apakah warga tahu jika dokumen APBDes dipublikasikan di ruang publik. Jawabannya 57,3% menjawab ya dan sisanya tidak pernah tahu atau melihat. Soal kemanfaatan DD, rata-rata warga menyatakan DD bermanfaat untuk peningkatan kualitas sarana dan prasarana desa yaitu sebanyak 95% dan beberapa warga tidak tahu. 77 persen warga berpendapat jika peningkatan sarana dan prasarana desa lewat DD menjawab kebutuhan pribadi anda.

Potret Pendidikan
Di bidang pendidikan, Limasakti melakukan survei yang difokuskan pada persoalan wajib belajar 9 tahun dan pemanfaatan dana BOS. Ada 75,8% responden mengetahui tentang program wajib belajar 9 tahun dimana 92% responden merupakan wali murid dan, 12,5 % anggota komite sekolah. Ada 20% responden mengetahui jumlah dana bos yang diterima oleh sekolah terkait, 77% menganggap dana bos penting dan sangat penting dan hanya 4% menganggap dana bos kurang dan tidak penting.
Soal partisipasi orang tua siswa dalam penyusunan Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS) dan APBS 85,2% menyatakan tidak pernah dilibatkan dimana 64,2% mayoritas karena tidak tahu. Ada 33,8% responden juga yang menjawab bahwa sekolah masih memungut biaya dari wali murid untuk honor guru, pembelian LKS, dan pembangunan gedung. Kepatahuan pengelola sekolah terhadap UU Keterbukaan Informasi Publik masih rendah karena ada 82,4% responden yang menyatakan tidak pernah membaca /menerima informasi laporan penggunaan dana BOS. Ada juga 5,0% responden yang mengklaim menemukan ketidaksesuaian antara laporan dengan realisasi. Tetapi ada juga sebanyak 36,5% mengklaim sangat puas dan puas dengan transparansi penggunaan dana BOS di sekolah.
Tidak berhenti dengan temuan seperti tergambar diatas, Limasakti juga menawarkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan tata kelola DD, JKN, dan pendidikan tentunya yang terbebas dari praktik KKN sehingga ujung-ujungnya ada perbaikan layanan publik sebagaimana yang dicitacitakan-citakan masyarakat Banten dengan pendirian Provinsi Banten. Persoalan dan rekomendasi juga sudah kami ajukan ke kepala daerah atau pihak pengambil kebijakan. (**)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini