
SERANG – Pagi itu, suasana Desa Simangu Gede di Kecamatan Walantaka, Kota Serang, tampak berbeda. Di beberapa sudut desa, suara lantunan ayat suci Al-Qur’an terdengar mengalun dari rumah-rumah pengajian sederhana. Tak hanya sekadar rutinitas, hari itu ada yang istimewa: lima guru ngaji di desa tersebut menerima Al-Qur’an baru dari sekelompok mahasiswa muda yang datang dengan semangat pengabdian.
Mereka adalah mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Kelompok 74. Dalam sebuah aksi sosial yang digelar Senin (28/7/2025), para mahasiswa ini menyambangi lima titik pengajian dan menyerahkan mushaf Al-Qur’an kepada para pengajar yang telah berdedikasi membimbing anak-anak dan warga dalam membaca kitab suci.
“Ini bentuk kecil dari pengabdian kami. Kami ingin berkontribusi langsung dalam mendukung pendidikan agama di desa ini,” ujar Ketua Kelompok 74, dengan senyum hangat. “Semoga Al-Qur’an yang kami serahkan bisa digunakan dalam proses mengaji dan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.”
Para guru ngaji yang menerima Al-Qur’an tampak haru. Beberapa dari mereka telah bertahun-tahun mengajar dengan sarana terbatas, namun semangat mereka tak pernah padam. Al-Qur’an yang baru ini bukan hanya buku, tetapi simbol dukungan dan apresiasi dari generasi muda terhadap dedikasi mereka.
Salah seorang penerima, Ustazah Hani, yang sudah lebih dari 15 tahun mengajar mengaji di desa itu, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Jarang ada yang datang memberi perhatian langsung seperti ini. Saya sangat bersyukur,” tuturnya sambil memeluk Al-Qur’an yang baru saja diterimanya.
Kegiatan ini pun mendapat sambutan hangat dari warga desa. Menurut mereka, kedatangan mahasiswa bukan hanya membawa bantuan fisik, tapi juga semangat dan harapan baru. “Kami senang anak-anak muda ini hadir bukan cuma belajar di kampus, tapi juga turun langsung ke masyarakat,” kata salah satu tokoh warga.
Lebih dari sekadar program rutin, pendistribusian Al-Qur’an ini menjadi titik temu antara idealisme kampus dan realita kehidupan masyarakat. Mahasiswa belajar untuk memberi tanpa pamrih, dan masyarakat menerima dengan penuh kehangatan. Di tengah tantangan zaman, kolaborasi semacam ini menjadi suluh yang menyalakan harapan.
Di akhir kegiatan, para mahasiswa pun diajak duduk bersama dengan warga dan para guru ngaji, berbagi cerita dan harapan. Dalam obrolan yang sederhana namun bermakna, terasa benar bahwa pendidikan, terutama pendidikan agama, tak hanya soal ruang kelas — tapi juga tentang menyentuh hati, menyalakan semangat, dan menguatkan ikatan sosial.
Melalui langkah-langkah kecil di desa seperti Simangu Gede, para mahasiswa ini membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari tempat yang paling sunyi, dengan cara yang paling tulus.
Tim Redaksi