Beranda Sosial Menikmati Rabeg Legendaris di Kota Serang

Menikmati Rabeg Legendaris di Kota Serang

Rabeg. (Ade/bantennews)

SERANG – Rabeg merupakan salah satu makanan khas Banten. Dan salah satu rumah makan yang cukup legendaris menyajikan menu rabeg adalah Rumah Makan Rabeg Khas Serang Haji Naswi (Magersari) yang berlokasi di Jalan Mayor Syafei No.30, Kotabaru, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten, atau depan Rumah Tahanan (Rutan) Serang.

Aulia Rohman (33 tahun), pemilik Rabeg Khas Serang Haji Naswi (Magersari), mengatakan bahwa ia adalah generasi keempat yang meneruskan berjualan rabeg. Mula-mula yang pertama kali berjualan rabeg adalah buyutnya bernama Hj. Sani pada tahun 1952. Pada masa itu, di mana hiburan bagi masyarakat yang tersedia masih tradisional, berupa wayang golek, jaipongan, pasar malam, dan film layar tancap, Hj. Sani berjualan dari satu lokasi hiburan rakyat ke lokasi lain.

Dari Hj. Sani usaha rabeg diturunkan kepada neneknya bernama Hj. Jenah tahun 1975. Setelah itu kemudian menurun ke bapaknya H. Naswi tahun 1982. Nama bapaknya inilah yang kemudian dijadikan sebagai brand rabeg yang dikelolanya untuk membedakan dengan rabeg-rabeg lain di Serang. “Tahun 2007 baru kemudian saya yang teruskan jualan rabeg,” kata Kang Au, panggilan Aulia Rohman, Sabtu (11/4/2020).

Rabeg adalah makanan berbahan dasar daging dan jeroan kambing dengan kuah. Rasanya gurih manis pedas dengan aroma rempah yang nikmat. Sekilas rabeg mirip dengan semur. Yang membedakan adalah rasa jahenya cukup kuat sehingga membuat aroma rabeg segar dan mampu menghangatkan tubuh. Dimakan ketika rabeg masih hangat dicampur dengan nasi putih yang masih mengeluarkan kepulan asap tipis dan emping melinjo membuat siapa saja yang makan tidak akan pernah cukup satu porsi. Dagingnya yang empuk dan tidak amis serta kuahnya yang gurih manis pedas membuat lidah tidak akan pernah bisa berhenti.

Au mengatakan bahwa Rabeg Haji Naswi buka dari Senin sampai Sabtu pukul 09.00-22.00 WIB. Di warung yang sama, kakaknya berjualan nasi uduk empal dan ayam goreng serta bebek goreng yang buka pukul 16.00-03.00 WIB. Sehingga, ketika rabeg masih banyak ia akan tetap buka mengikuti jam buka kakaknya.

Selain rabeg, di warung ini juga disediakan menu lain sebagai pelengkap juga agar konsumen tidak bosan berupa sate kambing, sate ayam, sop kambing, sop ayam, sop sapi, soto daging sapi, soto daging ayam, dan nasi timbel. Rata-rata harga makanan di sini sama, yaitu Rp25.000 per porsi sudah dengan nasi putih.

Agar rabeg tidak berbau amis, Au selalu memilih menggunakan kambing sayur bukan kambing kacang. Ukuran kambing ideal adalah yang memiliki bobot 10 kg per ekor. Kambing dengan ukuran ini, tidak terlalu muda tetapi juga tidak terlalu tua. Tips lain agar kambing tidak bau, saat dicuci harus dipastikan benar-benar bersih sampai air tampak bening dan daging tidak ada kotoran atau darah sedikit pun. Setelah itu daging harus direbus. Bila air rebusan daging berbau amis, maka air harus dibuang dan diganti dengan air yang baru.

Terkait tips memasak rabeg ini, Au mengaku tidak pelit dan akan selalu membaginya dengan siapa pun yang bertanya, termasuk bagaimana memasak rabeg. Sebab letak memasak rabeg yang enak dan sesuai dengan khas Haji Naswi bukan hanya pada soal teknik memasak. Yang lebih menentukan justru dari tangan si pemasak. “Yang menentukan rasa itu tangan (pembuatnya-red),” katanya.

Au punya pengalaman menarik soal ini. Ia mengaku pernah diminta untuk mengajari seorang chef di salah satu hotel besar di Kota Serang tentang bagaimana memasak rabeg. Setelah diajari chef itu akhirnya menyerah karena tidak pernah bisa membuat rabeg seenak yang dibuat Au. Setelah itu hotel itu selalu memesan rabeg darinya setiap kali ada orderan rabeg.

Au sendiri baru diajari cara memasak rabeg oleh bapaknya tahun 2010. Setelah mahir, ia pun mendapat pujian dari teman-teman ayahnya dan teman-temannya sendiri yang suka membeli rabeg di warungnya. Mereka memuji masakan Au dan sepakat rasa rabeg yang dibuatnya sama persis seperti rabeg yang dibuat ayahnya yang saat ini sudah tiada.
“Alhamdulillah kata pelanggan rasanya enggak berubah,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, pertama-tama daging dan jeroan kambing harus direbus terlebih dahulu. Setelah itu daging dipotong kotak dadu dan dimasak menggunakan bumbu. Bumbu yang digunakan yaitu bawang merah, bawang putih, lengkuas, jahe, lada, pala, asam jawa, gula pasir, cabe rawit, dan kecap manis. Kunci bumbu rabeg ada pada jahe. Bila tidak ada jahe pada bumbunya, maka rabeg tidak akan jadi.
“Kalau enggak ada jahe jatohnya kayak semur atau tongseng. Karena pakai jahe jadi pedesnya pedes anget. Enak,” katanya.

Au mengaku salah satu ciri khas rabegnya adalah pada kuahnya yang encer. Hal ini berbeda dengan rabeg yang biasa dimasak di kampung-kampung. Menurutnya ini bukan tanpa alasan. Ia bercerita suatu hari pernah membuat kuah rabeg dengan sangat kental. Karena umumnya konsumen selalu minta tambah kuah, maka lama kelamaan kuah rabeg habis sementara dagingnya masih banyak.
“Jadinya kan tekor. Makanya disiasatin diencerin. Tapi biar rasanya enggak camplang kita pakai bumbu dua kali lipat,” katanya.

Sejumlah ahli kuliner seperti Bondan Winarno yang terkenal dengan slogan “maknyus” itu pernah datang ke sini. Begitu juga ahli kuliner yang berdiplomasi ke dunia internasional dengan rendang, yaitu William Wongso. Sejumlah artis juga pernah merasakan nikmatnya rabeg ini seperti Asih Welas, Farhat Abbas, Rima Melati, Didin Bagito, dan banyak lagi. (Dhe/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini