Kota Cilegon dikenal sebagai kota industri kelas dunia. Dengan lebih dari 250 perusahaan besar dan menengah di sektor baja, petrokimia, energi, dan logistik, nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Cilegon pada tahun 2024 menembus angka Rp138 triliun. Sebuah angka yang secara kasat mata menegaskan kemakmuran daerah. Namun, kenyataan fiskal berkata lain. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Cilegon hanya berkisar pada angka Rp730 miliar—atau sekitar 0,54% dari total PDRB. Sebagai pembanding, Gresik 1,18% dan Bekasi 1,24%.
Lebih menyedihkan lagi, kemandirian fiskal Cilegon hanya 38%, sementara 61% pendapatan daerah masih bergantung pada dana transfer pusat. Ini bukan hanya ironi ekonomi, tapi juga gejala stagnasi fiskal yang perlu ditangani serius dan kreatif. Cilegon ibarat seorang tuan rumah yang rumahnya ramai tamu, tetapi dapurnya tetap kosong.
Sebagian materi ini saya himpun dari berbagai sumber resmi termasuk LKPJ Kota Cilegon 2024 dan sudah saya presentasikan dalam berbagai kesempatan di forum DPRD Kota Cilegon.
Membedah Masalah Struktural PAD
Ada beberapa penyebab utama stagnannya PAD di tengah besarnya aktivitas ekonomi kota Cilegon. Pertama, banyak perusahaan besar yang beroperasi di Cilegon ternyata masih memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di Jakarta atau daerah lain. Akibatnya, pembayaran pajak pusat maupun kontribusi fiskal lainnya tidak tercatat sebagai potensi fiskal Cilegon.
Kedua, sebagian besar jasa penunjang industri—seperti maintenance, logistik, pengamanan, hingga pelatihan tenaga kerja—masih dikuasai oleh vendor dari luar daerah. Aktivitas ekonomi memang terjadi di Cilegon, tapi nilai tambahnya ditarik ke luar.
Ketiga, infrastruktur kelembagaan fiskal di tingkat daerah masih bersifat konvensional. Digitalisasi layanan, integrasi data vendor, dan sistem pengawasan pajak daerah belum sepenuhnya optimal. Hal ini menyebabkan banyak potensi retribusi, izin usaha, dan jasa publik lainnya tidak tertagih secara maksimal.
Meningkatkan PAD Tanpa Membebani Rakyat
Peningkatan PAD tidak harus selalu berbanding lurus dengan beban baru untuk rakyat. Strategi yang cerdas justru bertumpu pada value capturing—yaitu menangkap nilai ekonomi yang sudah ada di daerah, namun belum kembali dalam bentuk kontribusi fiskal.
Salah satu contohnya adalah optimalisasi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, sebagaimana diatur dalam PP No. 4 Tahun 2023. Perda Kota Cilegon telah menetapkan tarif maksimal sebesar 1,5%. Kebijakan ini menyasar industri dengan captive power, bukan rumah tangga.
Selain itu, digitalisasi sistem retribusi dan perizinan juga perlu diperluas. Misalnya, penerapan e-monitoring untuk jasa parkir truk kontainer, lalu lintas logistik, dan jasa timbang. Ini adalah aktivitas ekonomi riil yang dapat dikenakan retribusi tanpa mempengaruhi daya beli masyarakat.
Pemda juga dapat menjalin kemitraan fiskal sukarela dengan industri melalui program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). MoU kontribusi non-fiskal berbasis kinerja dan akuntabilitas menjadi instrumen tambahan dalam menjembatani pembangunan dan sektor privat.
Reformasi BUMD dan Kelembagaan Fiskal
BUMD adalah senjata fiskal daerah yang selama ini belum dimanfaatkan maksimal. PT Pelabuhan Cilegon Mandiri (PCM) misalnya, memiliki aset lahan 45 hektare di tepi laut dengan kedalaman ideal untuk kapal kontainer besar. Ini adalah peluang strategis untuk membangun dry port, depo kontainer, dan pusat distribusi logistik. Jika dikelola serius, bisa menghasilkan retribusi dan dividen yang signifikan.
PDAM juga dapat diarahkan untuk melayani kebutuhan air bersih dan limbah industri, bukan hanya rumah tangga. Sementara BPRS Cilegon Mandiri perlu direvitalisasi, atau dialihkan menjadi lembaga pembiayaan UMK berbasis industri lokal.
Langkah berikutnya adalah membentuk Tim Khusus Inovasi PAD lintas-OPD yang bertugas mengidentifikasi potensi baru, menyusun peraturan teknis, dan mengawal implementasi kebijakan berbasis data digital dan hasil evaluasi lapangan.
Penutup: Dari Penonton Menjadi Pemain Fiskal
Cilegon harus keluar dari bayang-bayang industri raksasa yang selama ini hanya menyisakan jejak karbon, bukan jejak fiskal. Strategi peningkatan PAD bukan soal membebani rakyat, tapi soal menata ulang sistem fiskal agar adil, transparan, dan berkeadilan ekonomi.
Jika selama ini PAD hanya dijemput dari sektor konvensional dan remah-remah, kini saatnya kita merambah pada sektor-sektor besar yang selama ini luput dari jangkaun terhadap kontribusi lokal. Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita berani mengambil kembali hak fiskal Kota Cilegon?. (*)