Oleh: Suwanto, Mahasiswa Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab & Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga dan Peserta KKN Online Angkatan 101 Kelompok 2 Bototlogo Rongkop Gunungkidul DIY 2020
Indonesia merupakan negara agraris dengan wilayah yang luas dan tanahnya subur. Pastinya, sangat potensial memacu produksi pangan dalam skala besar. Karenanya, tidak heran jika Indonesia termasuk negara produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. Krisis pangan yang diakibatkan wabah Covid-19 ini sudah seharusnya direspon dengan menggenjot produksi pangan lokal. Apalagi, jika memang benar-benar wacana normal baru diterapkan.
Namu, Indonesia juga dikenal sebagai konsumen beras terbesar. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan pangan 250 juta penduduknya, tidak cukup mengandalkan produksi beras nasional. Hal ini terlihat, beberapa tahun belakangan, Indonesia yang notabene produsen beras terbesar, ironisnya justru mengimpor beras guna memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya kualitas beras dalam negeri jika dibanding dengan beras luar. Sehingga daya saingnya pun cenderung melemah. Banyak penduduk Indonesia lebih memilih beras impor yang harganya lebih murah, tapi sama kualitasnya atau bahkan lebih berkualitas. Di sisi lain produksi pangan semakin lesu akibat didera berbagai persoalan.
Menyempitnya lahan pertanian akibat pendirian pemukiman, area industri, ritel bisnis, dan hotel merupakan sejumput masalah yang membuat produksi pangan lokal merosot tajam. Setiap tahun lahan pertaniam di Indonesia menyusut, sementara program cetak sawah tidaklah mudah. Lahan pertanian di Indonesia yang menjadi sentral produksi padi menyempit.
Problem ini tentunya harus mendapat penanganan serius dari pemerintah. Kalau tidak ada upaya peningkatan kualitas dan juga kuantitas, bisa jadi beras dalam negeri akan tertindas oleh beras impor. Lahan pertanian lokal akan semakin menyusut. Para Petani lokal pun bisa jadi akan alih pekerjaan. Padahal, di tengah-tengah wabah Covid-19 ini kehadiran mereka adalah sangat vital.
Oleh sebab itu, komitmen pemerintah dalam upaya menstop impor beras, rasanya patut kita dukung. Namun, tentunya harus diimbangi dengan peningkatan produksi beras nasional yang digenjot lewat produksi beras lokal, baik segi kualitas maupun kuantitasnya. Beberapa faktor penyebab problem beras patut dideteksi dan ditelaah. Untuk selanjutnya, dicari solusi guna mengatasinya.
Kalau kita analisa, problem beras ini sangat ditentukan oleh pertanian padi sebagai titik awal produksi beras. Oleh karenanya, untuk menghasilkan beras yang berkualitas dan berdaya saing, perlu ada solusi strategis di sektor pertanian padi ini. Paling tidak ada dua solusi, yaitu internal dan eksternal.
Solusi internal dapat dilakukan, pertama dengan pemberian motivasi kepada para petani padi. Pemerintah berkewajiban memberikan perhatian serta dukungan moril dan materiil kepada para petani. Kedua, peningkatan iptek dan manajemen, yaitu dengan penggunaan varietas padi yang unggul dan ditunjang dengan teknologi yang canggih serta manajemen yang bagus.
Adapun untuk solusi eksternal dapat diupayakan dengan mengurangi impor beras, pendirian lembaga bantuan modal untuk petani padi, penerapan harga jual oleh pemerintah, serta penerapan intensifikasi dan ektensifikasi pertanian.
Intensifikasi dapat dilakukan dengan sapta usaha tani yaitu, pengolahan tanah yang baik, irigasi yang teratur, pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengelolaan terpadu hama penyakit, pasca panen, serta pemasaran. Sementara, untuk ekstensifikasi dilakukan dengan cara perluasan lahan pertanian serta peningkatan jumlah dan kualitas dari tenaga kerja. Harapannya, dengan dilakukan solusi-solusi ini pertanian kita maju dengan menghasilkan beras yang berkualitas dan berdaya saing, semoga.
(***)