Oleh : Moch. Nasir SH,
Pegiat Literasi
Cita-cita besar dan mulia saat awal Kota Cilegon dipimpin oleh Walikota Cilegon Tb Aat Syafaat adalah bagaimana caranya agar Pemerintah Kota Cilegon yang dulu Kotamadya Cilegon memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melihat dan menggali potensi daerah yang bisa dikembangkan. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah keinginan untuk membangun pelabuhan milik pemerintah daerah di atas lahan atau Tanah Negara di Kubangsari.
Langkah awal Pemerintah Kota Cilegon terkait lahan Kubangsari adalah memberikan uang garapan kepada petani penggarap sebagai dasar penguasaan secara fisik dan permohonan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) lahan Kubangsari. Selain itu, sebagai landasan hukumnya dibentuk Perda Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan yang sempat menggegerkan lantaran dicabut oleh Menteri Dalam Negeri tetapi kemudian berlaku kembali setelah Pemkot Cilegon memenangkan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Dalam perjalanannya tak mulus, keinginan Pemkot Cilegon untuk membangun Pelabuhan Kubangsari mendapat tantangan yang berat lantaran PT Krakatau Steel (KS) mengklaim tanah tersebut adalah aset mereka meskipun oleh MA telah dinyatakan sebagai Tanah Negara. Bahkan ada juga kelompok masyarakat yang mendukung langkah PT KS dalam upaya menggagalkan pembangunan Pelabuhan Kubangsari.
Terjadilah konflik berkepanjangan antara PT KS dan Pemkot Cilegon yang didukung elemen masyarakat Cilegon. Tb Aat Syafaat sebagai Walikota Cilegon, atas persetujuan DPRD Cilegon tetap membangun dermaga pelabuhan di area Kubangsari dengan alasan tanah tersebut sudah dikuasai Pemkot Cilegon dan sedang diminta HPL-nya melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Pada saat bersamaan, lahan Kubangsari yang luasnya 66,5 hektare ternyata telah dijadikan saham kerja sama pembangunan pabrik baja terpadu antara PT KS dengan Pohang Steel Company (Posco) dari Korea Selatan, kini dikenal PT Krakatau Posco. Konflik lahan Kubangsari terus berlanjut hingga akhir masa jabatan Tb Aat Syafaat, lalu digantikan Walikota yang baru yakni Tb Iman Ariyadi.
Saat itu tersiar kabar bahwa Posco tidak mau melanjutkan kerja sama jika lahan yang digunakan tidak clean and clear dari segala permasalahan. Oleh karena itu, PT KS berupaya melalui pemerintah pusat, berhasil merayu -untuk tidak menyebut menekan- BPN Pusat untuk mengakui lahan Kubangsari sebagai milik PT KS. Upaya itu berhasil hingga pada akhirnya BPN Pusat secara sepihak memulihkan status lahan Kubangsari dengan cara memasukkan kembali lahan Kubangsari ke dalam Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2 milik PT KS. Ini terjadi pada masa awal Tb Iman Ariyadi menjabat Walikota Cilegon tahun 2010.
Dengan dipulihkannya lahan Kubangsari ke dalam HGB Nomor 2 di atas, jelas sekali BPN telah melakukan tindakan sepihak yang tidak mempertimbangkan kepentingan daerah. Oleh karena itu terjadilah gelombang protes dan demo besar-besaran yang melibatkan elemen masyarakat di depan Kantor Walikota dan DPRD Cilegon termasuk ke Pelindo II. Aksi demonstrasi dilanjutkan ke Kementerian BUMN dan Kantor BPN Pusat dengan agenda menyampaikan aspirasi penolakan atas dipulihkannya lahan Kubangsari ke dalam HGB Nomor 2 PT KS. Alasannya, karena “Pemulihan Hak Atas Tanah” tidak ada aturannya dalam hukum pertanahan.
Aksi di Kementerian BUMN hanya ditemui oleh pejabat Bagian Hukum mereka dengan alasan bahwa menurut Menteri BUMN, lahan Kubangsari sudah menjadi aset PT KS. Sedangkan di Kantor BPN Pusat, perwakilan peserta aksi dan masyarakat di antaranya saya, Epy Syaifullah, Ibrahim Madawi, Agus Rahmat dan lainnya diterima oleh salah seorang Deputi Kepala BPN. Dalam pertemuan itulah terjadi perdebatan soal landasan hukum BPN Pusat memulihkan lahan Kubangsari ke dalam HGB Nomor 2 PT KS. Saat itu, kami perwakilan masyarakat mempertanyakan Undang-undang apa yang mengatur tentang pemulihan hak atas tanah. Namun sungguh di luar dugaan, jawaban mengejutkan disampaikan oleh salah seorang Deputi Kepala BPN Pusat -saya lupa namanya- yang menyatakan bahwa Pemulihan Hak Atas Tanah Kubangsari ke dalam HGB Nomor 2 PT KS karena berkaitan dengan rencana peresmian PT Krakatau Posco oleh Presiden SBY.
Dalam pertemuan itu, Deputi Kepala BPN menyarankan agar tidak usah berdebat soal landasan hukum, sebaiknya dicari solusi yang terbaik yang saling menguntungkan antara PT KS dengan Pemkot Cilegon termasuk dengan masyarakat Cilegon. Jadi intinya saat itu kami menyimpulkan bahwa sesungguhnya BPN Pusat mendapat tekanan tingkat tinggi.
Dibalik konflik akibat sengketa lahan Kubangsari itu, Walikota Cilegon Tb Iman Ariyadi mendapat tekanan dari pemerintah pusat jika tidak segera mengeluarkan perizinan PT Krakatau Posco, maka akan mendapat sanksi. Namun Walikota Cilegon tak bergeming, selama Kubangsari belum ada penyelesaian, tak satupun perizinan PT Krakatau Posco akan dikeluarkan. Alasannya karena bukan hanya persoalan lahan, tapi di lahan itu ada aset milik Pemkot Cilegon lainnya yakni dermaga pelabuhan yang sudah dibangun.
Melihat gelagat yang makin runyam, Menteri Perindustrian RI, MS Hidayat, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal RI, Gita Wiryawan (yang kebetulan secara personal kenal baik dengan Walikota Cilegon), turun tangan untuk menjembatani perseteruan dan mencari solusi terbaik yang bisa saling menguntungkan dengan jalan musyawarah. Bersamaan dengan itu, sambil menunggu perkembangan penyelesaian secara musyawarah yang difasilitasi Menteri Perindustrian dan Kepala BKPM RI, Pemkot Cilegon dan masyarakat, mengambil ancang-ancang untuk menggugat BPN Pusat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Saya, Epy Syaifullah dan Agus Rahmat dari Ikatan Sarjana Hukum (ISH) Cilegon, diminta oleh Tb Aat Syafaat dan Tb Iman Ariyadi selaku Walikota Cilegon untuk menemui senior saya, alumni Fakultas Hukum UII Yogyakarta yakni Maqdir Ismail SH, pengacara nasional yang ada di Jakarta dengan tujuan berkonsultasi terkait rencana gugatan. Kami kemudian bertemu Maqdir Ismail di kantornya, di sana juga ada Rujito, teman seangkatan saya waktu kuliah yang merupakan tim pengacara di kantor Maqdir Ismail. Setelah kami sampaikan permasalahan yang terjadi dan Maqdir Ismail membaca beberapa dokumen yang kami serahkan, Maqdir Ismail dan Rujito secara bersamaan mengingatkan bahwa jika Pemkot Cilegon menggugat keputusan BPN Pusat, maka ini bisa disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah pusat. Dalam situasi politik kekinian, perlawanan ini akan dibalas oleh pemerintah, balasan yang biasa digunakan adalah akan dikorupsikan.
“Dulu kalau ada orang yang melawan pemerintah akan disubversifkan, Nasir kan tahu, abang dulu melawan pemerintah Orde Baru melalui Petisi 50, abang mendekam di Wirogunan karena didakwa subversif, tapi abang jalan terus, karena itulah risiko perjuangan,” begitu kata Maqdir Ismail.
Saya sedikit terhenyak. Maqdir Ismail dan Rujito rupanya memahami apa yang sedang saya pikirkan. Dengan bahasa yang santun, Maqdir Ismail kemudian menyarankan agar apa yang dibicarakan, disampaikan kepada Tb Aat Syafaat dan Tb Iman Ariyadi supaya dipertimbangkan dengan baik terkait risiko yang akan dihadapi kelak jika melawan pemerintah pusat.
“Bagi saya melawan pemerintah sudah biasa, dipenjara karena melawan Orde Baru sudah pernah, tapi bagi yang belum pernah, perlu mempertimbangkan secara matang,” imbuh Maqdir Ismail saat kami pamitan.
Tiba di Cilegon, kami menyampaikan pesan Maqdir Ismail kepada Tb Aat Syafaat dan Tb Iman Ariyadi. Jawaban Tb Aat Syafaat sungguh mengagetkan.
“Jangankan dikorupsikan, kehilangan nyawa sekalipun ikhlas jika untuk memperjuangkan masyarakat dan demi kebenaran,” demikian tegas jawabannya.
Selang beberapa hari, saya dan Epy Syaifullah ditemani Kepala Bagian Hukum Setda Pemkot Cilegon kala itu Tb Heri Mardiana diutus untuk memberitahukan Maqdir Ismail bahwa sudah bulat tekad, tetap akan menggugat BPN Pusat dan menguasakan kepada Maqdir Ismail. Setelah kami bertemu menyampaikan pemberitahuan tentang rencana gugatan itu, Maqdir Ismail meminta supaya bertemu secara khusus dengan Walikota Cilegon Tb Iman Ariyadi putra Tb Aat Syafaat karena ada sesuatu yang ingin disampaikan secara langsung.
Atas keinginan Maqdir Ismail itu, diadakanlah pertemuan antara Walikota Cilegon Tb Iman Ariyadi dengan Maqdir Ismail di salah satu tempat di bilangan Senayan Jakarta. Saya dan Epy Syaifullah juga ikut termasuk beberapa elemen masyarakat ikut mengantar meskipun pada saat pertemuan tidak diikut sertakan.
Setelah ngobrol kesana kemari, Maqdir Ismail menyampaikan pertanyaan khusus kepada Tb Iman Ariyadi yakni “Apakah pak Wali dan Wali sepuh betul-betul siap menanggung risiko kemungkinan terburuk dengan mengadakan perlawanan hukum?.
Menurut keyakinan Maqdir Ismail, dengan melihat kronologi kejadian dan kondisi politik kekinian, jika PT KS kalah baik di muka sidang maupun atas dasar apapun, Pak Wali atau Pak Wali sepuh kelak akan dikriminalisasi atau dikorupsikan. Dengan mantap Walikota Tb Iman Ariyadi menjawab bahwa apapun yang terjadi akan siap dihadapi.
Beberapa hari kemudian, setelah terjadi kesepakan, Maqdir Ismail melalui timnya, mengirimkan draf Surat Kuasa untuk ditandatangani Walikota Cilegon. Pasca Surat Kuasa ditandatangani, saya, Epy Syaifullah dan Tb Heri Mardiana mengantarkan kembali ke Jakarta. Saat itulah kami menyampaikan Surat Kuasa dan menyampaikan pesan bahwa surat gugatan akan dilayangkan ke PTUN jika tidak ada penyelesaian secara musyawarah dengan PT KS, sementara ini masih menunggu negosiasi antara PT KS dengan Pemkot Cilegon.
(Bersambung)