Beranda Sosok Mengenal Empat Pahlawan Nasional dari Banten

Mengenal Empat Pahlawan Nasional dari Banten

BANTEN – Tanggal 10 November diperingati Hari Pahlawan Indonesia. Sampai saat ini, pemerintah telah menetapkan empat pahlawan nasional yang berasal dari Provinsi Banten. Keempatnya yakni Sultan Ageng Tirtayasa, Mr Syafrudin Prawiranegara, Brigjen KH Syam’un, dan Raden Aria Wangsakara. Berikut jasa perjuangan keempatnya :

 

  1. Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683 setelah kakeknya meninggal dunia.  Ia kemudian diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di Dusun Tirtayasa.

Patung Sultan Ageng Tirtayasa kini dipasang di Sultan Center, Kelurahan Banjarsari, Cipocokjaya, Kota Serang

Selama memimpin kesultanan Banten, ia banyak melakukan perlawanan terhadap Belanda.  Tahun 1877, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Sultan menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

 Saat itu Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang Keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat Sultan.

Sultan Ageng Tirtayasa ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada masa Presiden Soeharto yakni tahun 1970.

 

2. Syafruddin Prawiranegara

Gubernur Bank Indonesia Sjafruddin Prawiranegara (memegang buku) dan Moh. Hatta (berkacamata) menghadiri pembukaan Bank Banten di Pandeglang. (Foto: Java Bode)

Sjafrudin Prawiranegara  lahir di Anyer Kidul, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten pada 28 Februari 1911. Ia memiliki darah keturunan  Banten dari pihak ayah dan Minangkabau dari pihak ibu. Ayahnya, Raden Arsyad Prawiraatmadja, awalnya bekerja sebagai jaksa di Serang, sebelum menjadi camat di Jawa Timur.Buyutnya dari pihak ibu, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri.

 Syafruddin Prawiranegara adalah seorang pejuang kemerdekaan, menteri, gubernur Bank Indonesia, wakil perdana menteri, dan pernah menjabat Ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Ia menerima mandat dari Presiden Soekarno ketika pemerintahan Republik Indonesia yang kala itu beribukota di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda akibat Agresi Militer Belanda ll pada 19 Desember 1948. la kemudian menjadi Perdana Menteri pada kabinet tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Tengah tahun 1958.

 Sebelum kemerdekan, Syafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), petugas Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis Besar Haluan Negara. Syafruddin adalah orang yang ditugaskan Soekarno dan Hatta untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI), ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Agresi Militer I, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka pada 1948. Hatta yang telah menduga Soekarno dan dirinya bakal ditahan Belanda segera memberi mandat kepada SJafruddin untuk melanjutkan pemerintahan, agar tak terjadi kekosongan kekuasaan.

Atas usaha Pemerintah Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia. Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949 diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, serta sejumlah menteri kedua kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada 14 Juli 1949 di Jakarta.

Syafrudin dianugerahi gelar pahlawan nasional di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yakni pada tahun 2011.

 

 3. Brigjen KH Syam’un

KH Syam’un bin H Alwiyan adalah pendiri Perguruan Tinggi lslam ‘ Al-Khairiyah Citangkil, Kelurahan Wanasari, Kecamatan Pulo Merak, Kota Xilegon, Banten. Perguruan tersebut didirikan dalam dua tahap. Bermula dengan sistem Pesantren (tradisional) dan dikembangkan tahap kedua dengan sistem madrasah (klasikal).

Brigjen K.H. Syam’un

Brigjen KH Syam’un merupakan putra pasangan taat beragama H Hajar dan H Aiwiyan. KH Syam’un masih keturunan KH Wasid, tokoh “Geger Cilegon” 1888 (Perjuangan melawan Pemerintah Kolonial Belanda).

Sejak masih anak-anak Brigjen KH Syam’un mendapat pendidikan pesantren. Pada usia 4 tahun sudah dikirim orangtuanya menimba ilmu agama di pesantren Delingseng, selama dua tahun (1898-1900). Ki Syam’un yang masih usia balita belajar di bawah asuhan KH Sa’i, dilanjutkan ke Pesantren Kamasan (1901-1904) dibawah asuhan KH Jasim. Pada umur 11 tahun (seusia murid sekolah dasar kelas 5) ia melanjutkan studi ke Mekah (1905-1910) berguru di masjid Al-Haram tempat ahli-ahli keislaman terbaik di dunia berkumpul membagi ilmu. Pendidikan akademiknya dilalui di Al-Azhar University Cairo Mesir dari 1910-1915.

Saat kembali ke Indonesia, Syam’un justru bergabung dengan PETA yang notabene adalah gerakan pemuda bentukan Jepang. Bagi orang yang tidak mengerti ia mungkin dianggap plin-plan. Padahal, bergabungnya ia dengan PETA merupakan strategi untuk mempersiapkan perlawanan ke Jepang. Dalam PETA, jabatan KH Syam’un adalah Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA dengan wilayah kekuasaannya meliputi Serang, yang pada akhirnya pindah ke Labuan. Selama menjadi Sai Dan Tyo, KH Syam’un sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang. Maksud tersebut ia utarakan kepada Pemimpin Dai Dan Tyo M KH Oyong Ternaya dan Dai Dan Tyo IV Uding Surya Atmadja untuk mengumpulkan kekuatan.

Keterlibatan KH Syam’un dalam dunia militer mengantarkan KH Syam’un menjadi pimpinan Brigade l Tirtayasa Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berganti menjadi TNI Divisi Siliwangi. Dengan pangkat terakhir BrigadirJendral (Brigjen), Karir KH Syam’un di ketentaraan terbilang gemilang hingga diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949. Di sela jabatannya sebagai Bupati Serang sekitar tahun 1948, KH Syam’un masih mengurus pesantren. Pada tahun yang sama, meletus Agresi Militer Belanda II yang mengharuskan KH Syam’un bergerilya dari Gunung Karang Kabupaten Pandeglang hingga ke Kampung Kamasan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang. Daerah ini menjadi tempat tinggal salah satu gurunya, KH Jasim. Di kampung itu, KH Syam’un meninggal pada 1949 karena sakit saat memimpin gerilya dari hutan sekitar Kamasan.

Beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional di masa Presiden Joko Widodo pada tahun 2018.

 

 4.

Aria Wangsakara

 Dalam sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten disebutkan, Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman. Bersama dua kerabatnya, Aria Santika dan Aria Yuda Negara, Wangsakara lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang malah berpihak kepada VOC. Wangsakara yang kemudian memilih menetap di tepian Sungai Cisadane diberi kepercayaan oleh Sultan Maulana Yusuf, pemimpin Kesultanan Banten kala itu, untuk menjaga wilayah yang kini dikenal sebagai Tangerang, khususnya wilayah Lengkong, dari pendudukan VOC.

Sehari-hari, Wangsakara yang juga pernah didapuk sebagai penasihat Kerajaan Mataram menyebarkan ajaran Islam. Namun, aktivitas Wangsakara menyebarkan ajaran Islam mulai tercium oleh VOC tahun 1652-1653. Karena dianggap membahayakan kekuasaan, VOC mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane, persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Wangsakara. VOC pun sampai memprovokasi dan menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara.

Provokasi itulah yang kemudian memicu pertempuran antara penjajah dan rakyat Tangerang. Kegigihan rakyat di bawah kepemimpinan Raden Aria Wangsakara yang melakukan pertempuran selama tujuh bulan berturut-turut itupun membuahkan hasil. VOC gagal merebut wilayah Lengkong yang berhasil dipertahankan oleh Wangsakara dan para pengikutnya. Wangsakara sendiri gugur pada tahun 1720 di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai, Kabupaten Tangerang.

Beliau dianugerahi gelar pahlawan nasional pada masa Presiden Joko Widodo yakni pada tahun 2021.

(Qizink/berbagai sumber)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini