Beranda Opini Melihat China Sebagai Ladang Saham

Melihat China Sebagai Ladang Saham

Bendera China - foto istimewa CNN Indonesia

Oleh : Deana Derawati, Mahasiswa FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pada awal 2020 lalu dunia dihadapkan dengan kemunculan pandemi virus covid-19, dengan kehadiran peristiwa ini selain berpengaruh pada sektor kesehatan juga mempengaruhi sektor ekonomi, sebab dengan terbatasnya mobilitas manusia maka secara tidak langsung dapat menghambat proses berjalannya kegiatan ekonomi. Akibatnya hal ini membuat para investor pun merasa khawatir, sebab berdasarkan klaim dari The Congressional Research menyatakan bahwa dengan hadirnya masa pandemi berakibat pada terpangkasnya 2% dari pertumbuhan ekonomi global, terlebih dengan pandemi ini pun terbukti bahwa di beberapa negara mengalami resesi ekonomi, yakni peristiwa dimana sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus dalam dua kuartal secara berturut. Hingga kemudian munculah pertanyaan “negara mana yang tepat untuk dijadikan tujuan berinvestasi?”.

Meski terdapat sebagian besar negara mengalami resesi dalam pertumbuhan ekonominya, namun syukurnya tidak semua negara mengalami atau terpengaruh hal tersebut di masa pandemi ini. Masih terdapat negara-negara yang berhasil dalam mencegah atau mengantisipasi hal tersebut berkat kebijakan-kebijakan serta regulasi yang dibuatnya dengan terbentengi oleh strategi kebijakan fiskal dan moneter yang dapat menghadang kehancuran ekonomi tersebut. Sehingga negara-negara yang mampu bertahan tersebut pula dinilai sanggup untuk bertumbuh dengan mandiri akibat keterkaitannya dengan pasar global, maka dari itu dampak buruk dari pandemi tidak terlalu dirasakan oleh negara-negara tersebut.

Salah satu negara yang diketahui mampu untuk menangani covid-19 ialah China. Negara ini berperan sebagai penyebar pertama virus corona, namun china juga berhasil sebagai negara yang berhasil dalam mengendalikan penyebaran virus covid-19 di negaranya, akibatnya China pun mengalami peningkatan dalam pertumbuhan ekonominya sebesar 4,9% pada kuartal ketiga di tahun 2020, meningkat daripada kuartal keduanya yang sebesar 3,2%.

Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh sektor industri, ritel serta pertumbuhan investasi sebagai tiga faktor terbesar pendorong keberhasilan bangkitnya China dari keterpurukan keadaan ekonominya, hal ini membuktikan bahwa China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua tersebut mampu menunjukkan kekuatannya dengan kesuksesannya memulihkan perekonomian hingga berbanding terbalik jika dibandingkan dengan keadaan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama yang justru mengalami penyusutan sebanyak 6,8%.

Gubernur dari Bank Sentral China menyatakan bahwa China mempunyai kebijakan fiskal yang proaktif serta kebijakan moneter yang akomodatif dalam mendukung perekonomian negaranya tersebut, sehingga ekonominya tetap tangguh serta mempunyai potensi yang besar. Hingga wajar rasanya jika China disebut-sebut sebagai negara dengan ekonomi besar pertama yang berhasil pulih dari dampak corona setelah sukses dalam menekan kasus terjangkit corona di negaranya, maka dari itu dalam beberapa bulan ke depan China di klaim akan terus lebih unggul daripada negara kompetitornya seperti Amerika Serikat serta negara-negara maju lain yang berada di belahan Benua Eropa, sebab negara-negara tersebut masih terfokus dalam penanganan gelombang baru kasus-kasus covid-19, mengingat peringkat pertama dalam kasus tertinggi yang masih dipegang oleh Amerika Serikat dengan jumlah 21,1 juta kasus per tanggal 6 Januari 2021 dengan sederet negara-negara eropa menyusul di bawahnya.

Dengan keadaan ekonominya yang sedang mengalami pertumbuhan yang baik seperti sekarang ini, maka tidak salah jika para investor mulai melirik negara China sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan di atas. Selain dari keadaan ekonominya yang sedang bagus-bagusnya, negara China pula memiliki keunggulan dari sisi demografisnya mengingat jumlah penduduknya yang terbanyak sehingga menempatkan China berada di peringkat pertama dunia pada tahun 2020 dengan jumlah penduduk menembus 1.439.323.776 jiwa, dengan jumlah populasi manusia yang banyak tersebut itu berarti daya beli atau tingkat konsumtif masyarakatnya pun akan ikut tinggi, serta resiko dari permasalahan dagang antara China dan Amerika Serikat membuat dana global lebih cenderung menjadikan China sebagai tempat untuk berinvestasi.

Para investor nampaknya memanfaatkan kesempatan ini untuk berbondong-bondong menanam saham di China, hal ini terbukti dengan terjadinya perpindahan dana di pasar keuangan global. Mayoritas perpindahan dana tersebut berpindah ke bursa saham China. Saat saham Amerika Serikat menempati posisi terendah dan anjlok di bulan Maret 2020, tercatat sekitar 800 perusahaan lebih yang mengelola dana menempatkan dana nya ke pasar saham China.

Kendati saham Amerika Serikat telah membaik pada sebulan setelahnya, namun saham China nampaknya telah bertahan cukup baik. Terlebih lagi dengan kehadiran vaksin covid-19 yang diproduksi oleh China, hal ini tentu sangat berpotensi dalam penguatan perdagangan saham, mengingat vaksin kini ibarat sebuah harapan bagi negara-negara yang masih belum mampu terlepas dari belenggu covid-19. Sehingga industri farmasi pula dinilai sangat berpotensi dalam memperkuat ekonomi negara China, lalu dengan otomatis bursa saham pun akan menguat.

Hal ini terbukti saat Indeks Harga Saham Gabung meningkat sebesar 2,04% disebabkan oleh WHO yang memuji perkembangan vaksin covid-19 produksi China. Dengan berbagai data serta fakta yang terjadi tersebut, maka tidak salah dan menjadi wajar jika para investor mulai memandang China sebagai negara yang sangat berpotensi untuk ditanami saham, mengingat potensi-potensi kedepannya yang dapat menguntungkan sehingga para investor pun merasa tergiur dengan keuntungan tersebut.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini