Beranda Olahraga Maroko dan Entitas Agama di Piala Dunia 2022

Maroko dan Entitas Agama di Piala Dunia 2022

Pemain timnas Maroko - foto istimewa detik.com

Oleh : Tb. Moh. Sholeh

Tersebutlah sebuah fakta epik sejarah di masa lalu, tepatnya saat peradaban Islam tengah mencapai kegemilangannya. Di masa Kekaisaran Sulaeman Al-Qanuni (1494-1566), Sultan ke-10 Dinasti Utsmani, pernah terjadi satu kisah heroik.

Alkisah, saat itu tengah terjadi konflik yang melibatkan dua negara Eropa, yakni Prancis dan Inggris. Keduanya bersitegang dan berperang yang menyebabkan satu implikasi besar, yaitu kalahnya Prancis dan ditawannya raja mereka bernama Raja Francis I. Hal ini membuat gusar dan khawatir, para petinggi dan keluarga kerajaan Prancis.

Tahukah apa yang dilakukan orang-orang penting Prancis? Mereka ternyata meminta bantuan kepada Sulaeman Al-Qanuni, pemimpin tertinggi Ottoman (Utsmani) agar bersedia membantu Prancis untuk membebaskan raja mereka dari cengkeraman Inggris.

Kesultanan Utsmani, yang notabene saat itu adalah negara adidaya di dunia, kekuasaannya mencakup sebagian Asia, Afrika Utara, dan Eropa. Dibandingkan dengan saat itu, wilayah kendali Raja Francis I “hanya” meliputi negara modern Prancis sekarang. Perbandingan antara Utsmani dan Prancis kala itu memang “bukan setara” sehingga wajar Prancis mengajukan semacam kerjasama aliansi militer kepada negara superpower.

Gayung bersambut, Sultan Sulaeman Al-Qanuni mengabulkan permintaan Prancis. Apa yang dilakukan sultan tersebut dalam upaya membebaskan Raja Francis I? Inilah kisah heroiknya yang menjadi petanda dan bukti betapa diseganinya umat Islam saat itu. Ya, Sultan Sulaeman Al-Qanuni cukup hanya melakukan ultimatum kepada pemimpin tertinggi Inggris, Raja Charles V.

Al-Qanuni menyerukan kepada Charles V agar membebaskan Francis I dari tahanannya di Madrid. Sebuah sumber menyebutkan, sang sultan juga mengancam akan menyerang semua wilayah Inggris, termasuk Spanyol. Satu kalimat sakti yang keluar dari ultimatum Sultan Sulaeman berbunyi : “Bebaskan Raja Prancis jika kalian masih ingin melihat matahari terbit keesokan pagi.”

Benar saja, berkat ultimatum tersebut, Charles V melunak. Francis I pun dapat kembali ke Paris dengan selamat pada 17 Maret 1526. Inilah bukti betapa peradaban Islam saat itu unggul dan disegani lawan. Dan inilah kisah nyata akan sebuah kebesaran dan kehebatan Sultan Sulaeman Al-Qanuni.

Kini, lima abad lebih kisah itu terlewati. Tepat di akhir tahun 2022, dalam satu perhelatan akbar yang menyita hampir seluruh jagat dunia dan penghuni bumi, Piala Dunia sepakbola digelar di negara muslim, Qatar. Dari awal pergelaran ini betul-betul menyita serta menggairahkan dunia Islam pada umumnya.

Perilaku positif dan aturan ketat dari tuan rumah, mewakili potret umat Islam yang amat mulia dan bernilai adiluhung, tergambar berkat kerja-kerja luar biasa pemerintah dan didukung warganya. Betapa banyak pujian melanda Qatar berkat kesuksesan penyelenggaraaannya.

Umat Islam makin berbangga, manakala prestasi besar berhasil ditorehkan salah satu negara muslim, Maroko yang lolos hingga babak semifinal dan sebentar lagi bersiap menghadapi satu kekuatan besar sepakbola dunia, Prancis. Meski demikian, sampai titik ini, apapun hasil semifinal nanti, Maroko telah menorehkan sejarah baru sebagai negara Afrika pertama, juga negeri Arab dan muslim pertama yang masuk empat besar Piala Dunia.

Urusan bola dan agama memang beda. Tapi sulit memisahkan keduanya, sebab faktor-faktor tertentu akan terus merekatkan keduanya (baca : negara mewakili entitas agama). Lihatlah para suporter dari negara-negara Eropa seperti Inggris, Italia, Spanyol, Swedia, dan lainnya yang seringkali menggunakan simbol agama (perang salib) saat mendukung timnya pada setiap perhelatan sepakbola.

Simak pula saat salah seorang pelawak stand up komedi di tanah air, yang kebetulan beragama non muslim, ikutan berkelakar dengan sedikit bumbu candaan. Ia menyatakan bahwa pantas Maroko sulit dikalahkan karena punya Allah sebagai salah satu pemainnya, merujuk pada seorang bek Maroko bernama Yahia Attiat Allah. Inilah bukti bahwa agama akan selalu merasuki ruangan publik tanpa diminta.

Keberhasilan Maroko dan dikaitkannya dengan kebanggan seluruh umat Islam semestinya bukanlah sebuah keanehan. Labelisasi agama dalam setiap event olahraga, tak terkecuali sepakbola takkan bisa dihindari, sebagaimana label-label lain yang akan ada dalam perhelatan sepakbola seperti kaitan histori, perang ideologi antarnegara, persaingan negara tetangga, dan lain-lain. Contoh kaitan histori, betapa panasnya tensi di dalam atau luar pertandingan saat pertemuan Inggris vs Argentina karena faktor masa lalu, atau timnas Indonesia vs Malaysia yang bisa mengakibatkan perang verbal antar kedua pendukung, juga di level klub saat Glasgow Celtic vs Rangers di Liga Skotlandia yang masing-masing mewakili entitas Protestan vs Katolik. Dan banyak contoh lain seperti juga penolakan banyak negara jika bertemu dengan Israel.

Maroko adalah aktor protagonis yang menjadi buah bibir Piala Dunia 2022. Maroko bukanlah tim unggulan, kemudian menjadi kuda hitam dan menyingkirkan negara-negara hebat sepakbola seperti Belgia, Spanyol dan Portugal hingga sukses menapak babak semifinal.

Apapun hasil melawan Prancis, Maroko sudah terlanjur didaulat sebagai perwakilan umat Islam dalam melawan hegemoni negara-negara barat, yang selama ini dianggap selalu mengangkangi umat Islam. Di seluruh dunia Islam, fakta itu tak dapat dibantah. Bahkan seorang Mesut Ozil, pesepakbola muslim asal Jerman terang-terangan merasa bangga atas capaian Maroko, dan dikatakan bahwa Maroko adalah representasi umat Islam. Hal ini kemungkinan besar disebabkan keyakinannya sebagai seorang muslim.

Di akhir tulisan, dengan kaitan historis era Sultan Sulaeman Al-Qanuni yang begitu gamblang diuraikan di awal, umat Islam, mau tidak mau, suka tidak suka sedang menunggu sejarah besar Maroko, adalah juga sebagai pencapaian sejarah umat Islam yang tertoreh. Jika Prancis bisa dikalahkan, ini pengulang masa lalu, saat Islam berada di puncak kejayaan membelakangi negara-negara Eropa. Namun jikapun Allah menakdirkan Maroko kalah oleh Prancis, umat Islam tetap akan bangga dan piala dunia 2022 dapat dijadikan momentum kebangkitan Islam ke depannya. Barat bisa dikalahkan. Kekuatan besar bisa ditaklukkan. Inilah yang harus dijadikan semangat dan spirit kaum muslim. (***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini