SERANG – Puluhan aktivis dan petani yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Banten serta Serikat Tani Nelayan (STN) Banten, Senin (25/10/2021), berunjukrasa di depan Gedung DPRD Banten, KP3B, Curug, Kota Serang. Massa menuntut kepada Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Banten agar segera menyelesaikan segala permasalahan dan konflik agraria yang terjadi.
Koordinator massa aksi, Yudistira mengatakan, Provinsi Banten merupakan wilayah dengan sektor pertaniannya yang sangat luas dan melimpah. Tetapi berbanding terbalik dengan kondisi petani di beberapa daerahnya, yang masih terabaikan, dan diperparah dengan persoalan konflik agraria yang tidak kunjung usai.
“Hal yang dirasa menjadi pemicu konflik agraria yaitu tidak tepatnya hukum dan kebijakan yang dibuat untuk mengatasi masalah agraria, baik terkait status kepemilikan tanah, hak-hak atas tanah, dan cara memperoleh hak-hak tersebut,” kata Yudistira.
Selanjutnya, kata Yudistira, tindakan dari pemerintah yang lambat dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah dirasa menjadi pemicu konflik.
“Banyak petani yang kehilangan mata pencaharian dan akhirnya menjadi pengangguran, yang menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di daerah-daerah pedesaan di Provinsi Banten, yang sebagian besar adalah petani,” katanya.
Dirinya menjelaskan, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran, pada Tahun 2018, Banten yang sejak tahun 2018 hingga tahun 2019 terjadi alih fungsi lahan di sebagian daerahnya, hingga mencapai angka 3.861.09 hektar. Masifnya mega proyek nasional yang dijalankan dibeberapa daerah di Banten, dirasa hanya akan menambah permasalahan baru untuk masyarakat dan petani.
Diketahui, mega proyek yang tengah digenjot tersebut adalah pembangunan jalan tol Serang-Panimbang, proyek ini akan menggerus lahan pertanian di Kabupaten Pandeglang. Terbukti dengan ditetapkanya KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) di Tanjung Lesung, berdampak pada perubahan RTRW di 5 Kecamatan, yang meliputi Kecamatan Pagelaran, Sukaresmi, Bojong, Cibitung, dan Cikeusik menjadi lahan indsutri nasional.
“Sejak masuknya program nasional ke provinsi Banten, konflik agraria justru semakin bergejolak, termasuk alih fungsi lahan. Maka dari itu, akibatnya sering terjadi kriminalisasi terhadap geraka tani dalam menolak industri, yang berdampak pada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat,” jelasnya.
Padahal, lanjut dia, dalam Perda Nomor 5 tahun 2004 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), yang menjadi aturan perlindungan petani di Banten, yang terkesan tidak berfungsi dengan baik, dan bahkan Undang-undang sapu jagat yang kerap disebut ‘Omnibuslaw’ hanya akan dijadikan dalih peraturan di atas Perda.
“Maka dari itu, LMND dan STN Banten, melayangkan lima tuntutan untuk Pemerintah Provinsi Banten, pertama, tolak alih fungsi lahan pertanian di Banten. Dua, enuhi fasilitasbsarana prasarana pertanian. Berikan jaminan keterjangakauan akses dan harga pasar yang layak untuk petani. Selesaikan konflik agraria di Banten. Hentikan kriminalisasi terhadap petani. Wujudkan reforma agraria sejati dan bangun industrialisasi nasional,” ujarnya.
Seperti diketahui, 61 tahun sudah, perayaan Hari Tani Nasional yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 24 September, yang merupakan tonggak bersejarah bagi kaum tani di Indonesia. Pada tanggal tersebut juga, tepatnya pada tahun 1960, ditetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 sebagai landasan hukum dan politik bagi diaturnya hubungan yang adil, antara kaum tani dengan alat produksinya.
Penetapan UUPA dapat dipandang sebagai tonggak paling penting dalam sejarah Agraria di Indonesia. Sejak kelahirannya, UUPA 1960 menjelaskan bahwa cita-cita yang melandasi ditetapkannya Undang-undang ini tidak lain untuk menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah, yang diyakini akan mengangkat harkat penghidupan kaum tani, dan untuk menciptakan kemakmuran bersama kaum tani Indonesia.
Namun, penataan kembali struktur kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset, dan disertai dengan penataan akses untuk kesejahteraan rakyat, khususnya untuk petani yang dikemas dalam program ‘Reforma Agraria’ ala Jokowi dirasa hanya bualan semata.
Sampai saat ini, nasib kaum tani tidak banyak berubah, banyak yang masih miskin dan terus terpinggirkan. Berbagai persoalan dihadapi oleh kaum tani, penggusuran paksa, perampasan hak atas tanah di semua tempat, kekerasan dan penangkapan paksa, pendudukan lahan, pembangunan yang merusak ekosistem hutan, krisis pangan, harga pupuk yang sangat mahal, dan kelaparan. (Mir/Red)