Oleh: Ahmad Supena, Kajur PBI FKIP Untirta
Kehadiran novel Qizink La Aziva yang diterbitkan penerbit Komentar (November 2025), sebuah penerbit yang diasuh dan digawangi Encep Abdullah dkk di Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa, layak diapresiasi dengan senang hati oleh kita. Bertutur-berkisah dengan gaya laiknya seorang troubadour (pendongeng) kepada kita, novel itu mengajak kita berefleksi tentang anggapan dan stereotip yang selama ini diindoktrinasi kepada kita yang berdampak negatif bagi kejernihan kita dalam memandang perbedaan SARA. Padahal kita hidup di Negara yang falsafahnya adalah Bhinneka Tunggal Ika.

Gaya berceritanya juga mudah dicerna. Sehingga novel itu bisa masuk ke segala kelangan. Terutama untuk para pelajar dan mahasiswa. Tidak tersegmented hanya untuk kalangan tertentu saja. Sebenarnya juga teknik dan gaya penceritaannya tidak jauh-jauh amat dari gaya jurnalisme sastrawi. Mungkin karena penulisnya adalah seorang jurnalis dan penggiat media, yang dalam hal ini Banten News (bantennews). Judul novelnya sendiri diambil dari panggilan nama tokoh utamanya, Tubagus Mahendra:
‘Tubagus Mahendra’, Andra mengulurkan tangan, Tienz menyambutnya bersalaman. ‘Panggil saja Andra’, sebelum Tienz memilih nama panggilan untuknya Mahe, Hendra, atau Tubagus. Sejak beberapa pejabat dan pengusaha di tanah kelahirannya yang memiliki nama Tubagus masuk penjara karena kasus korupsi, ia risih dipanggil Tubagus atau Tebe. (Halaman 4).
Membaca lembar-lembar pembuka novel Andra ini kita bisa menerka bahwa salah-satu isu dan tema yang ingin diangkat untuk kemudian dikritisi dan dibaca kembali adalah masalah sosial-politik, dan juga kemudian soal sejarah, seperti dalam satu sub judul pertama novelnya, Sendal Kuning, yang menceritakan perkenalan awal Andra dengan gadis keturunan Tionghoa yang biasa disapa Tienz, dalam sebuah acara orientasi Unit Kegiatan Mahasiswa yang berminat pada seni di sebuah kampus.
Di sub judul kedua, Luka Lama, kita disuguhi sejarah krisis sosial politik Indonesia, termasuk peristiwa pemerkosaan massal etnis Tionghoa di Jakarta pada Mei 1998. Berusaha mengkorelasikan keterkaitan dan keterhubungan antara Banten, Tionghoa, dan Jakarta, novel Andra ini menghadirkan kisahan generasi sekian masyarakat Banten dan keturunan Tionghoa yang memang berbagi sejarah dan ingatan kolektif bersama sejak Kerajaan Sunda hingga Kesultanan Banten dan saat ini:
Papa Tienz bernama Lin Yinguan. Lahir lima tahun sebelum MPRS mencabut kekuasaan presiden Indonesia dari Soekarno dan menetapkan Soeharto sebagai penggantinya. Ayah Lin Yinguan tewas di tangan perampok saat Lin Yinguan masih berumur lima tahun. Kakek Lin Yinguan seorang petani kelapa di Balaraja yang mengungsi ke pinggiran Jakarta setelah peristiwa Gedoran China pada 1946. Lin Yinguan kecil diasuh kerabatnya, seorang pemilik toko kelontong di Pasar Senen. (Halaman 13-14).
Novel Andra memang laiknya sastra prosa yang memiliki rasa dan gaya reportase berita, sekali lagi tak ubahnya jurnalisme sastrawi, dan lagi-lagi, barangkali karena penulisnya seorang jurnalis dan pegiat media berita ternama di Banten. Dan mungkin karena itu pula, membaca novel Andra, kita seakan sedang membaca cerita dan kisah kehidupan, sekaligus membaca berita dan reportase jurnalisme sastrawi tentang sejarah dan sejumlah rentetan peristiwa sosial-politik masa lalu dan masa kini yang saling terkait, berhubungan dan berkelanjutan, yang di dalamnya sejarah Banten, Jakarta, dan Indonesia itu sendiri, termasuk dalam soal masyarakat keturunan Tionghoa di masa lalu dan secara spesifik dalam peristiwa Mei 1998.
Meski novel itu berkisah seputar dua tokoh utama, Andra dan Tienz, dan peristiwa Mei 1998, terkesan bumbu dan sisipan cerita secara naratif dan kadar porsi penceritaan, namun sesungguhnya peristiwa Mei 1998 itulah yang juga merupakan salah-satu tema utama yang ingin dimunculkan:
‘Jangan! Dia muslim!’ ujar Haji Hasan berdusta. Lelaki renta itu tergopoh-gopoh segera mendekap tubuh Papa. Papa menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya dengan kaos putihnya. Tanpa mengeluarkan kata-kata, gerombolan itu pergi meninggalkan tubuh Papa yang lunglai. Mereka begitu sigap dan cepat pergi menuju pusat kota dengan Kijang hitam. Asap knalpot menyembur saat Kijang melaju. (Halaman 17).
Novel Andra ini, bila kita baca, sesungguhnya ingin mengangkat banyak soal dan tema, dari mulai etnisitas hingga soal identitas, semisal berusaha mempertanyakan siapa yang pribumi dan siapa yang non pribumi: ‘Dulu aku sempat bertanya-tanya kenapa itu terjadi, karena kami Tionghoa? Bukan mayoritas, lantas dianggap bukan bagian Indonesia? Padahal lahir di sini, bersekolah di sini. Kami juga cinta negeri ini.’ Suara Tienz bergetar dan getir. (Halaman 21).
Persoalan identitas dan SARA yang bermuara pada politisasi agama pun diangkat menjadi tema dan persoalan, yang sepertinya, ditawarkan kepada kita untuk dipikirkan dan disikapi, agar agama dan ke-agama-an tidak menjadi komoditas murahan untuk dipolitisasi demi ajaran dan nilai-nilai ‘ketakjujuran’ dan ‘kezaliman’ yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dan spirit religius agama itu sendiri. Novel Andra ini memang mengajukan sejumlah persoalan, terutama yang terkait dan terhubung dengan praktik politik dan fenomena sosial dalam sejarah Indonesia dan kehidupan sehari-hari kita:
Andra tegas menolak ajakan Arfan. Andra memandang bahwa aksi itu bermuatan politis menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden mendatang. ‘Masak kamu diam saja ajaran agamamu dihina!’ Arfan memprovokasi saat itu. (Halaman 27).
Tentu kita hafal dengan apa yang dituju dan ingin disindir atau dikritik dalam adegan dan dialog antara Andra dan Arfan dalam novel tersebut, yaitu kasus yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang terpeleset lidah saat kampanye di salah-satu lokasi di Jakarta, dan tim lawannya dari kubu Anies Baswedan memanfaatkan momentum tersebut untuk ‘memenjarakan’ Ahok. Dan kebetulan, Ahok adalah keturunan Tionghoa, yang dimanfaatkan kubu lawannya untuk membangun solidaritas dan soliditas di kalangan muslim ‘garis keras’ untuk menghantam Ahok.
Dengan membaca lembar-lembar novel Andra ini, kita diajak untuk melakukan refleksi dan rethinking politik dan kebangsaan kita, agar berbenah dan tidak gandrung jualan isu SARA, yang justru bertentangan dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri. Namun, soal ini, seperti yang telah ditegaskan sebelumnya, hanyalah salah-satu soal dan tema yang diangkat lembar-lembar novel Qizink La Aziva tersebut. Yang justru cukup sensitif, yang diangkat novel Andra ini, adalah soal pernikahan beda agama –dan terkait dengan hubungan romansa antara dua tokoh utama, yaitu Andra dan Tienz:
Andra duduk termenung di beranda sekretariat. Siang itu terasa panas, bukan hanya karena sengatan matahari yang sedang memuncak, tapi karena isi pesan yang baru saja ia baca. ‘Kamu makin jauh, Ndra. Kami dengar kamu dekat dengan mahasiswi non-muslim. Jangan lupakan siapa kamu, dan untuk apa kamu berjuang –Ust. Hasyim. Pesan singkat itu datang setelah Andra tak hadir di tiga kali kajian keagamaan mingguan yang sebelumnya rutin ia ikuti. Andra sibuk mendampingi kegiatan seni bersama mahasiswa lintas agama. Tapi Andra tahu, bukan itu yang jadi soalnya. Masalahnya hanya satu: Tienz. (Halaman 58-59).
Bila dilihat dari luar struktur novelnya, yang dalam hal ini bila kita lihat dari sisi pengarangnya, membaca novel Andra ini kita jadi tahu bahwa penulisnya meminati banyak isu dan hal, dari mulai sejarah, politik hingga isu-isu kontemporer, semisal masalah perkembangan dunia urban, di mana romansa antara Andra dan Tienz itu sendiri sebagai dua tokoh utama novel, sesungguhnya salah-satu masalah urban dan kosmopolit, termasuk soal nikah beda agama. Persinggungan dan romansa Andra dan Tienz, sepertinya barangkali, hanya dipinjam oleh penulis untuk mengangkat banyak soal dan problem sosial politik dalam masyarakat kita. Tentu para pembaca bebas pula menafsirkan sesuai dengan perspektif dan dunia para pembaca sendiri.
Diantara isu dan soal-soal yang diangkat penulis dalam novelnya itu, masalah perbenturan teologis atau kontroversi keagamaan sesungguhnya tidak kalah menariknya dengan praktik politisasi agama oleh para elit di negeri kita, Indonesia:
Andra tahu dari setiap langkahnya. Di dunia tempat ia lahir dan tumbuh, akidah bukan sekadar kepercayaan –ia garis hidup. Garis yang tak boleh dilanggar, apalagi dilintasi demi sebuah rasa yang belum tentu mendapat di langit. Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Arfan, duduk di sampingnya. ‘Kamu udah denger juga?’ tanya Andra tanpa menoleh. Arfan mengangguk. ‘Ustadz kecewa, Ndra. Bukan cuma karena kamu deket dengan wanita non-muslim, tapi lebih karena kamu sudah lama meninggalkan kajian. Kita ini pejuang dakwah di kampus. Apa kata adik-adik binaan nanti kalau lihat kamu terus-terusan begitu?’ Andra menghembuskan nafas. Aku nggak sedang murtad, Fan. Aku sedang jatuh cinta’. ‘Jatuh cinta? Sama perempuan yang nggak seiman? Kamu pikir ini kisah dalam novel-novel?’. (Halaman 59-60).
Novel Andra karya Qizink La Aziva cocok dibaca oleh para pelajar dan mahasiswa, karena struktur narasi dan ceritanya tidak terlalu rumit, berkisah secara santai dan tidak terlampau menghadirkan atau menyuguhkan kompleksitas novel-novel tebal, yang kerapkali hanya bisa dibaca oleh para pembaca suntuk, akademisi, kritikus sastra dan para penulis.
Dan akhirnya, tulisan ini, sudah tentu, tidak bermaksud untuk mengisahkan atau menceritakan ulang novel tersebut, sebab itu tugas para pembacanya, dan tidak sepantasnya pula tulisan ini untuk mengisahkannya secara utuh. Tulisan ini sekadar pengantar atau pembuka untuk para pembaca untuk membuka dan membacanya secara utuh dan tuntas. Semoga novel Andra tersebut bermanfaat dan menginspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Terimakasih dan selamat membaca! (*)
