Beranda Lipsus 3 Dekade Terpinggirkan, Warga Pulo Sangiang Kabupaten Serang Dalam Bayang Pangusiran

[Lipsus] 3 Dekade Terpinggirkan, Warga Pulo Sangiang Kabupaten Serang Dalam Bayang Pangusiran

Sejumlah warga Pulo Sangiang Kabupaten Serang mendatangi Kantor ATR-BPN kabupaten Serang (Rasyid/BantenNews.co.id)

KAB. SERANG – Tiga puluh tahun lamanya, tanah Pulau Sangiang dipertaruhkan di antara janji investasi dan kenyataan pengusiran.

Sejak 1994 silam, kehadiran PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) membawa lebih banyak kekhawatiran ketimbang harapan. Warga menyebutnya sebagai luka yang dibiarkan membusuk dalam diam, luka yang kini berusaha mereka jahit kembali dengan satu kata: penolakan.

Pulau Sangiang, yang sejak lama menjadi nadi kehidupan ratusan keluarga, perlahan dikikis oleh penguasaan HGB yang disebut-sebut lebih condong pada kepentingan korporat ketimbang kelangsungan hidup manusia dan alam.

Dari pengusiran halus, kriminalisasi, hingga dilepaskannya hewan-hewan asing ke dalam ekosistem pulau, semuanya menyusun babak-babak panjang dari drama penghilangan yang sunyi.

Warga Pulo Sangiang Saat Berbincang dengan warga lainnya

Dalam mediasi yang dihelat di kantor ATR/BPN Kabupaten Serang pada, Selasa (20/5/2025), warga Pulau Sangiang bersuara bulat, menolak perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT PKP.

Namun pertemuan tak melahirkan keputusan. Lembaga ATR/BPN justru menyarankan mediasi tahap kedua, kali ini tanpa kehadiran mereka. Sebuah keputusan yang menuai kekhawatiran dari masyarakat, sebab tanpa pendampingan negara, ruang intimidasi menjadi lebih leluasa bergerilya.

“ATR/BPN Serang seolah tak sanggup menatap luka yang telah mereka biarkan selama tiga dekade,” ujar Mad Haer Effendi, Direktur Pena Masyarakat, lembaga yang selama delapan tahun terakhir setia mendampingi warga Sangiang.

“Padahal kerusakan terumbu karang, pembabatan mangrove, pembangunan tanpa transparansi, semua cukup jadi alasan untuk tak lagi memberi izin pada PT PKP,” sambungnya.

Sofian Sauri, tokoh masyarakat Pulau Sangiang

Sisi lain memaparkan gema dalam desakan yang lirih namun tegas, Sofian Sauri, tokoh masyarakat Sangiang, menyampaikan betapa HGB selama ini hanya formalitas tanpa manfaat.

“Selama 30 tahun, mereka tak pernah membangun apa-apa untuk kami. Jika diperpanjang, itu artinya memperpanjang penderitaan,” ucapnya, lirih namun penuh api.

Baca Juga :  Harapan Siti Amelia Pupus di Tangan Mulyana Kekasih Maut Pemutilasi

Sofian menuturkan intimidasi itu tak selalu datang dalam bentuk kekerasan fisik. Kadang dalam bentuk uang, kadang melalui hewan-hewan asing yang tiba-tiba hidup di kebun warga seperti babi hutan, ular kobra.

“Binatang itu bukan bagian dari pulau ini. Mereka datang setelah konflik bermula. Ini bukan sekadar kebetulan,” kata Sofian.

Dari dulu hingga kini, warga bertahan hidup dari ladang, dari laut, dari pohon kelapa yang tersisa. Tapi satu per satu mereka terpinggirkan, menghilang dalam bisu. Dari 120 kepala keluarga, kini tersisa 20.

“Kebanyakan pergi karena lelah, karena intimidasi. Diberi ‘uang kerahiman’, begitu katanya, tapi sejatinya itu cara halus mengusir,” ungkapnya.

Tak hanya soal intimidasi yang mereka dapatkan, musibah datang seolah meluluh ratakan kehidupan, terlebih pada fasilitas pendidikan dan kesehatan di pulau yang nyaris tak ada. Anak-anak terpaksa dikirim ke luar pulau demi masa depan yang tak mungkin mereka raih di tempat kelahiran mereka sendiri.

Begitupun pada sumber kehidupan lain seperti listrik, masyarakat hanya dapat melahirkan energy listrik hanya lewat panel surya hasil lobi para relawan. Pemerintah, menurut mereka, datang hanya saat bencana, dan pergi setelahnya.

Warga Pulai Sangiang dan Lembaga Pena Masyarakat unjukrasa di depan Kantor BPN Kabupaten Serang. (Rasyid/bantennews)

Di sisi lain, PT PKP melalui kuasa hukumnya, Muhammad Iriyanto, bersikeras menukaskan perpanjangan HGB merupakan hal yang niscaya terus dilakukan.

“Kita sudah berinvestasi, ada kepentingan bank, dan wisata harus jalan terus,” katanya.

Pria paruh baya dengan potongan rambut cepak putih itu juga membantah tudingan soal intimidasi perusahaan yang dilakukan hingga saat ini.

“Kalau intimidasi, tunjuk siapa yang melakukannya. Sekarang orang lapangan kami hanya tiga. Kalau ada kesalahan dua puluh tahun lalu, itu masa lalu,” tuturnya tegas seolah membenarkan tuduhan intimidasi yang dilakukan pada masa itu.

Baca Juga :  [Seri Ulama Banten] KH Fatah Hasan, Pejuang Kemerdekaan yang Tak Diketahui Makamnya

Namun masa lalu itu, bagi warga, bukan serpihan yang mudah dihapus. Itu adalah akar dari konflik hari ini. Dan akar itu, meski tertimbun, masih hidup dan akan terus tumbuh.

Kini, mediasi tanpa pendampingan negara mengundang pertanyaan besar: apakah pemerintah sungguh berdiri netral, atau diam sebagai penonton di antara rakyat yang tersingkir dan investasi yang digdaya?

Pulau Sangiang bukan sekadar zona wisata. Ia adalah rumah, sejarah, dan ruang hidup yang hendak direbut paksa.

Dengan sunyi yang mereka jaga, warga bersiap untuk bertahan, bukan karena benci pada pembangunan, tetapi karena cinta pada tanah yang sudah lama mereka jaga, meski dunia memilih untuk tak melihat kehidupan yang hampir binasa.

Penulis: Rasyid
Editor: Usman Temposo

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News