Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi dan Pengamat Kebijakan
Pada tanggal 17 Juli 1888, tentara kolonial mengirimkan pasukan memburu rombongan Ki Wasid lantaran mendengar kabar Ki Wasid berada di Kerenceg. Namun ternyata tempat yang dimaksud sudah kosong, tentara hanya menemukan beberapa sisa makanan yang ditinggalkan oleh pasukan Ki Wasid.
Rupanya pasukan Ki Wasid sudah berangkat ke daerah yang bakal dijadikan tempat pertahanan yang baru, yakni sekitar Balegendung – Gudang Batu dengan melalui rute Kapudenok, Blokang dan Luwuk. Tentara kemudian mengirim pasukan ke daerah Mancak setelah mendapat keterangan dari penduduk di Citangkil.
Saat sedang mengadakan pencarian di Mancak inilah, tentara mendapat laporan dari Patih Cilegon dan Pandeglang bahwa tentara sudah mendapat laporan palsu, dikatakan bahwa yang sebenarnya Ki Wasid sudah berangkat ke arah Gunung Gede, oleh karenanya pencarian harusnya di wilayah itu.
Memang saat itu, penduduk memberitahukan kepada Patih Pandeglang Surawinangun yang kebetulan dalam perjalanan menuju Cilegon melalui Medang batu, bahwa Ki Wasid sedang menuju Gunung Gede dan pada saat itu sudah ada di Bojonegara atau Ciora.
Oleh karena itu pada tanggal 18 Juli 1888, dikirim dua detasemen tentara. Bojonegara dikepung, pasukan yang dipimpin Van Rinsum mengepung dari arah barat, sedangkan pasukan yang dipimpin Harmes dari sebelah timur. Setelah kedua pasukan itu masuk ke kampung, untuk yang kedua kalinya pihak kolonial tertipu lantaran tidak ada tanda tanda adanya Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail termasuk pasukan pejuang pemberontakan lainnya.
Sementara tentara kolonial sedang mengobrak abrik kampung di wilayah utara seperti di Bojonegara, Ciora dan sekitarnya, pasukan Ki Wasid justru sudah sampai di wilayah Bagendung – Gudang Batu.
Dipilihnya daerah ini untuk dijadikan tempat pertahanan didasarkan atas pertimbangan bahwa di wilayah ini sejak dahulu banyak penduduk yang berjuang melawan Belanda saat pemberontakan Ki Wakhiya tahun 1850 dan wilayah itu merupakan daerah H.Tubagus Ismail bermukim.
Harapannya, penduduk di sini juga akan mendukung Gerakan Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail beserta pasukannya. Namun demikian, ternyata tidak sesuai dengan harapan lantaran banyak penduduk yang sudah tidak mau lagi ikut dalam perjuangan melawan tentara kolonial. Ini merupakan ekses dari kekalahan pertempuran di Toyomerto.
Melihat kenyataan bahwa penduduk di wilayah Gudang Batu dan sekitarnya enggan bergabung dan membantu pasukan Ki Wasid, H.Tubagus Ismail dan Ki Wasid mengadakan musyawarah membicarakan strategi kelanjutan perjuangan. H.Tubagus Ismail mengusulkan agar terus berjuang dan mengadakan pertempuran yang menentukan hidup mati, jikapun harus mati, gugur sebagai pahlawan dalam perlawanan.
Sedangkan Ki Wasid berpendapat lain, menurut Ki Wasid sebaiknya mundur dulu, alasannya menunggu kedatangan Kiai Agung (Syeikh H.Abdul Karim) dan Syeikh lainnya yang ada di Mekah untuk bergabung jika perang jihad dilaksanakan satu tahun lagi sebagaimana yang disampaikan H.Marjuki dulu. Adapun tempat yang dipilih adalah Banten Selatan.
Perbedaan pendapat muncul di kalangan para pasukan. H.Madani, H.Jahli (Ciore) dan Agus Suradikaria mengambil sikap dengan tidak menyetujui pendapat dua tokoh pimpinan di atas. Hari itu ketiganya memisahkan diri dari pasukan. Setelah memisahkan diri, beberapa hari kemudian ketiga pejuang ini dapat dideteksi keberadaannya lantas mereka ditangkap dan dibunuh oleh tentara kolonial sebagaimana telah disebut di atas.
Meskipun saat itu terjadi perbedaan pendapat, namun pada akhirnya Ki Wasid berhasil membujuk dan meyakinkan para anggota pasukan termasuk H.Tubagus Ismail untuk sementara mundur ke Banten Selatan.
Pihak tentara kolonial masih mengalami kebingungan untuk mencari keberadaan pasukan Ki Wasid karena beredarnya kabar yang simpang siur soal kemana sebetulnya Ki Wasid menyingkir dari pengejaran. Ada informasi bahwa Ki Wasid akan berangkat menghindari pengejaran dengan menumpang kapal Perancis, bahkan Residen Priangan memberitahukan kepada pemerintah bahwa Ki Wasid dan pasukannya pasti berada di Cianjur.
Sementara pihak tentara kebingungan, pasukan Ki Wasid bergerak mundur ke Banten Selatan. Adapun rute yang ditempuh yakni melalui Cidanau dan kawasan hutan yang disebut “Kebon Maung” karena terkenal banyak macannya (harimau) untuk menerobos Caringin menuju Sumur.
Tak bisa dibayangkan, betapa beratnya pasukan Ki Wasid menyusuri kawasan hutan untuk menghindari pengejaran tentara kolonial. Tanggal 21 Juli 1888, pihak tentara kolonial mendapat laporan bahwa pasukan Ki Wasid telah menyeberangi sungai Cidanau. Segera setelah itu, pemerintah kolonial mengambil langkah untuk memperkuat penjagaan di sepanjang jalan Anyer-Caringin, pasukan tentara juga dilipat gandakan.
Satu detasemen infanteri di bawah komando De Chauvigny de Blot, ditempatkan di Brengas, tujuannya untuk mencegah jangan sampai pasukan Ki Wasid lolos di antara Brengas dan Cinoyong. Satu detasemen lagi ditempatkan di Cimanuk, maksudnya untuk mencegah pergerakan dan jangan sampai pasukan Ki Wasid lolos melalui gunung Aseupan dan gunung Pulosari. Demikian juga satu pasukan ditempatkan di Cinangka.
Namun dengan siasat yang brilyan, pasukan Ki Wasid dapat menerobos penjagaan tentara yang sudah ditempatkan dimana-mana. Pasukan Ki wasid berhasil menerobos pos penjagaan yang ada di sekitar hutan (gunung) putri, bersembunyi dan bermalam di area hutan Cinoyong pada tanggal 25-26 Juli 1888.
Pada malam hari tanggal 26 Juli, pasukan Ki Wasid bergerak meneruskan perjalanan, untuk kedua kalinya berhasil menerobos penjagaan tentara yang sudah ditempatkan dimana-mana. Tentara kolonial baru mengetahui kalau pasukan Ki Wasid berhasil menerobos penjagaan sekitar tanggal 28 Juli.
Pihak pemerintah kolonial bingung bagaimana caranya pasukan Ki Wasid bisa luput dari penjagaan yang dianggap sudah kuat. Oleh karena itu, diambil langkah untuk segera menggeser pasukan ke arah selatan. Satu detasemen dipimpin patih Pandeglang diperintahkan untuk menjaga daerah Tajur, satu detasemen ditempatkan di daerah antara Pandat dan Tanjilahang dan sejumlah pasukan polisi yang dipimpin jaksa Caringin diperintahkan untuk mengawasi jalan yang menuju ke Selatan.
Sebetulnya dengan penempatan tentara yang demikian, praktis pasukan pengepungan terhadap pasukan Ki Wasid sudah meliputi seluruh area yakni Brengas, Cinoyong, Cirogol, Brengkok, Cikembeureum, Pandat dan Tanjilahang. Namun entah bagaimana, ternyata pasukan Ki Wasid tetap dapat menerobos dan lolos dari pengepungan.
Dengan menaiki perahu milik tukang tambang, pasukan Ki Wasid menyeberangi sungai Cibungur, kemudian berjalan menyusuri pantai menuju Ciseukeut. Pasukan tentara kolonial yang mengadakan pengejaran, memperkirakan pasukan Ki Wasid kemungkinan akan melanjutkan perjalanan menuju Ujung Kulon.
Untuk maksud pengejaran dan penangkapan pasukan Ki Wasid yang sudah berada di willayah ini, tanggal 29 Juli 1888, pihak kolonial lantas mengadakan rapat di Labuan. Hadir dalam rapat tersebut antara lain Asisten Residen Caringin Van der Meulen, Patih Pandeglang Raden Surawinangun, Kontrolir Caringin Maas, Jaksa Caringin Tubagus Anglingkusuma, Kapten Veenhuyzen, Letnan Visser dan Seran Wedel.
Dalam rapat tersebut, diputuskan Kapten Veenhuyzen memimpin misi penangkapan dengan mengirimkan pasukan ke Citeurep dengan maksud memotong pergerakan para pejuang pimpinan Ki Wasid.
Sesampainya di Ciuterep, ada laporan bahwa pasukan Ki Wasid pada tanggal 29 pagi telah melintasi Citeurep menuju Ciseureuhem, sementara dilaporkan juga bahwa Wedana Panimbang dan Asisten Wedana Katumbiri sedang mengejar para pejuang.
Mendapat laporan bahwa pasukan Ki Wasid sudah melintasi Citeurep, Letnan Visser dan pasukannya diperintahkan untuk berangkat ke Sumur melalui daratan dan Kapten Veenhuyzen beserta pasukannya diperintahkan melalui laut untuk tujuan yang sama (Sumur).
Skenarionya, kedua pasukan ini akan bertemu di Sumur. Namun sehubungan dengan cuaca buruk, pasukan Kapten Veenhuyzen akhirnya kembali ke Citeureup, sementara pasukan Visser juga mengalami kelelahan dan beristirahat di sekitar wilayah Camara.
Dalam waktu yang bersamaan, Jaksa melaporkan bahwa masyarakat ada yang melihat rombongan dengan pakaian putih-putih di tikungan dekat Camara (Sumur). Dengan adanya laporan tersebut, segera pasukan Kapten Veenhuyzen mengejar dan akhirnya bisa mendeteksi rombongan tersebut dan memastikan bahwa rombongan tersebut adalah pasukan Ki Wasid. Saat itulah Kapten Veenhuyzen memerintahkan seorang serdadu bernama Neuman mendekati para pejuang. Neuman kemudian berseru agar rombongan Ki Wasid lebih baik menyerah.
Namun permintaan Neuman tidak dipenuhi para pejuang, jawaban yang diberikan justru tembakan yang diarahkan ke arah Neuman. Dengan adanya tembakan dari pasukan Ki Wasid, Kapten Veenhuyzen dan pasukannya segera menyerang, lima orang dari para pejuang keluar dari persembunyian, menyerang pasukan tentara kolonial dengan kelewang. Terjadilah pertempuran sengit, para pejuang berusaha mempertahankan diri dan berjuang sampai akhir.
Dalam pertempuran ini, empat orang dari pihak tentara kolonial menjadi korban, sementara dari pihak pasukan Ki Wasid belasan orang meninggal dunia, dua di antaranya jatuh ke sungai, sebagian lagi berhasil lolos.
Hari itu, tanggal 30 Juli 1888, adalah akhir dari perlawanan Ki Wasid dan para pejuang Cilegon melawan penjajah Belanda karena pasukan Ki Wasid dapat dipatahkan oleh tentara kolonial dalam kurun waktu kurang sebulan sejak pertama kali meletus pemberontakan di Cilegon ( 9 Juli 1888).
Jam 10 pagi, pasukan tentara kolonial yang berhasil mengalahkan pasukan induk Ki Wasid, kembali ke Cilegon dengan membawa 11 orang jenazah pasukan Ki Wasid yang meninggal dunia dalam pertempuran. Setelah diidentifikasi, di antara jenazah yang dibawa itu diyakini sebagai para pejuang yang selama ini dicari-cari, yakni Ki Wasid, H.Tubagus Ismail, H.Abdul Gani dan H.Usman. Sementara yang lainnya adalah H.Abdulgani Arjawinangun, H.Khatab (Sempu), H.Jaya (Citangkil), H.Kasan (Sempu), H.Kasan (Kubangwatu), H.Tohar (Mamengger).
Adapun pasukan yang berhasil lolos di antaranya H.Jafar, H.Arja, H.Saban, Akhmad, Yahya dan Saliman. Namun beberapa waktu kemudian mereka dapat ditangkap. Hal lain yang perlu dicatat bahwa dalam pertempuran itu, pihak kolonial berhasil merampas –bahasa sekarang mengamankan– 3 senapan, 11 golok, 6 pedang, 3 badi dan 1 kujang.
Pasca ditumpasnya pasukan Ki Wasid di Sumur, pihak kolonial juga masih memburu orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan tanggal 10 Juli. Bahkan orang yang dianggap ikut dalam perecanaan pemberontakan pun diburu kemudian ditangkap lantas dihukum, ada yang dihukum mati dan ada yang dibuang.
Di antara para tokoh yang ditangkap yakni para kiai dari afdeling Serang yang pada tanggal 10 Juli 1888 gagal mengadakan penyerangan ke Serang seperti H.Moh. Asik (Bendung), H.Abu Bakar (Keganteran), H.Moch. Sangadeli (Kaloran), H.Asnawi (Bendung), H.Muhidin (Trumbu), H.Hanafiah (Trumbu), H.Arsyad Thowil (Tenara), H.Ali (Mundaya). H.Ahmad (Penghulu Tanara), Tb.Kusen (Penghulu Cilegon) dan H.Moch. Arsyad (Penghulu Serang). Tokoh-tokoh di atas termasuk yang dibuang bersama dengan pejuang lainnya yang keseluruhannya berjumlah kurang lebih 94 orang.
Seperti telah saya sebut di atas, di antara para pejuang yang ditangkap oleh pihak kolonial, ada yang dihukum mati. Sebanyak 11 orang dihukum mati, mereka adalah H.Mahmud (Terate Udik), H.Akhiya (Jombag Wetan), Samidin, Taslim dan Kemidin. Mereka ini dieksekusi di tiang gantungan pada tanggal 15 Juni 1889. Sedangkan yang lain yakni Dulmanan, Sakimin, H.Hamim, Dengi, Oyang dan Kasar dieksekusi pada tanggal 12 Juli 1889. (*)
Bersambung