SERANG –Sukarno menolak agama Islam yang beku dan jumud. Baginya, agama bukan hanya doktrin yang kaku beku, namun dinamis dan terbuka terhadap rasionalitas.
Meski dibesarkan di tengah keluarga yang termasuk longgar dalam beragama dan kental dengan percampuran antara Islam dan sinkretisme, Sukarno justru menjadi pribadi yang gelisah kritis terhadap agamannya sendiri. Dari ayahnya Sukarno mengenal teosofi berbalut Islam, sementara dari sang ibu, ia mengenal Hindu-Budha.
Masa-masa di bawah bimbingan Oemar Said Tjokroaminoto menjadikan Sukarno punya kesadaran keagamaan yang kian tumbuh. Namun ia harus mengakui bahwa cara pandang keagamaan guru sekaligus mertuanya itu masih terlalu sempit untuk menyatukan perjuangan Indonesia yang terserak.
Pada fase selanjutnya, intensitas penghayatan dan pemikiran keagamaan Sukarno makin kental dan liat ketika dalam pembuangan di Ende (1932-1938) dan Sukamiskin, Bandung Jawa Barat.
“Korespondensi Sukarno dengan A. Hasan (1934) makin memperdalam pemahaman Sukarno mengenai Islam,” kata Sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi bertajuk “Sukarno dan Modernisme Islam” di Salbay Venue 34, Kota Serang, Kamis (7/8/2018) kemarin.
Selain korespondesi dengan A. Hasan, perdebatan keras mengenai agama Islam dengan M. Natsir di Pikiran Rakyat, Bandung yang kemudian terhimpun dalamCapita Selecta. Pandangan Sukarno terhadap agama Islam kian tajam ketika melontarkan kritik terhadap sifat taqlid dan kacamata kuda dalam praktik beragama.
“Bagi Sukarno agama itu terbelakang karena tahayul, antirasionalisme dan sebagainya. Padahal, tidak ada agama yang lebih rasional dan sederhana daripada Islam,” kata Bonnie menutip Sukarno.
Menurut Bonnie banyak hal yang mebuat Sukarno bersikap rasional terhadap agamanya sendiri. Selain iklim politik global saat itu yang memunculkan sosok-sosok rasional dalam menilik agama seperti Muhammad Abduh, dkk. Sukarno miris melihat umat yang tenggelam dalam klenik.
Dari tokoh-tokoh nasional seperti Ahmad Dahlan, Sukarno juga banyak mendapat pencerahan dalammemahami Islam yang berkemajuan.
“Bagi Sukarno, ayat-ayat Quran harus dapat diverifikasi dengan metode ilmiahsaintific. Artikelnya mengenai ‘Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara’ dan ‘Islam Sontoloyo’ menggambarkan bahwa agama Islam mengikuti ritme zaman dan bersifat dinamis,” kata Pimred Majalah Historia tersebut. (you/red)