Beranda Sosial Kisah Saqila, Bocah di Kabupaten Tangerang Berjuang Melawan Ganasnya Kanker

Kisah Saqila, Bocah di Kabupaten Tangerang Berjuang Melawan Ganasnya Kanker

Imroatun Solihah mendekap buah hatinya Saqila Maulidya yang menderita kanker mata. (Mg-Saepulloh/bantennews)

KAB. TANGERANG – Di tengah padatnya aktivitas kota dan deru kendaraan yang tak pernah berhenti, ada kisah sunyi namun menyentuh hati yang datang dari sudut rumah singgah sederhana di Kabupaten Tangerang. Di sana, seorang gadis kecil bernama Saqila Maulidya (4) tengah berjuang melawan ganasnya kanker mata—retinoblastoma—yang menggerogoti penglihatannya.

Wajahnya yang mungil dan senyumnya yang kadang muncul malu-malu, disembunyikan oleh perban di mata kirinya. Tapi siapa pun yang bertemu Saqila akan tahu, semangat hidupnya jauh lebih besar dari penyakit yang diidapnya.

Saqila adalah putri dari pasangan Sanari (27) dan Imroatun Solehah (24), warga Kampung Pagenjahan, Desa Pagenjahan, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Hidup mereka sederhana, jauh dari kemewahan. Hingga suatu hari, mereka mulai menyadari ada yang tak biasa pada mata Saqila. Mata kirinya tampak berbeda dari yang kanan.

Tak menunggu lama, mereka memutuskan membawa Saqila ke dokter mata di Cikupa. Di sanalah kalimat pertama yang menghentak itu terdengar: dugaan tumor. Dunia seakan runtuh.

“Saya nggak percaya, seumur hidup belum pernah ngalamin begini,” kenang Iim—panggilan akrab sang ibu.

Pukulan itu terasa makin berat karena mereka belum memiliki kartu keluarga, apalagi BPJS. Semua administrasi baru selesai dua bulan setelah diagnosis awal ditegakkan. Barulah dari Puskesmas Kronjo mereka dapat rujukan ke RSUD Balaraja, dan akhirnya ke RSCM Jakarta.

Di RSCM, vonis dokter menyatakan Saqila mengidap kanker. Iim dan Sanari diliputi ketakutan. Mereka sempat berhenti berobat karena takut dan bingung dengan proses operasi yang dijelaskan.

“Kita orang awam, nggak ngerti peraturan rumah sakit. Jadi sempat berhenti,” tutur Iim.

Tapi kanker tak mengenal waktu. Kondisi Saqila makin parah. Matanya membesar, tangis kesakitan tak tertahan. Mereka sadar, diam bukan pilihan.

Baca Juga :  Pertama dalam Sejarah, Pemerintah Setuju Dana Abadi Kebudayaan Rp5 Triliun

Sanari dan Iim kembali melanjutkan pengobatan. Mobil pribadi disewa, tanpa minta bantuan siapa pun. Mereka bahkan tidak memberi tahu aparat desa karena merasa bisa menanggung sendiri.

Namun perjuangan mereka tidak luput dari perhatian. Relawan dari Yayasan RC Badak, yang mengelola rumah singgah kanker anak dan dewasa di Kota Tangerang, datang membawa harapan baru.

Di rumah singgah itu, hanya beberapa ratus meter dari Kantor Pemkot Tangerang, Saqila kini menjalani hari-harinya di tengah anak-anak lain yang juga berjuang melawan kanker. Perban di matanya memang belum bisa dilepas, tapi ia bisa bermain, bisa tertawa. Di pangkuan ibunya, senyum manja itu sesekali muncul.

Perjalanan Saqila tak hanya mendapat dukungan dari relawan. Pemerintah desa hingga Bupati Tangerang, Moch. Maesyal Rasyid, turut hadir memberikan perhatian. Bahkan, bupati menyempatkan datang langsung ke rumah Saqila di Kronjo.

“Alhamdulillah, sejak itu banyak yang bantu. Puskesmas antar jemput pakai mobil, susu dibantu juga,” ujar Iim dengan mata berkaca-kaca.

Hingga kini, Saqila sudah menjalani empat kali kemoterapi. Rencananya, harus delapan kali sebelum bisa dioperasi. Semua dijalani perlahan, dengan dukungan para relawan, keluarga, dan semangat luar biasa dari seorang anak kecil.

Meski pengobatan berjalan, ada satu hal yang terus membayangi: kondisi ekonomi keluarga. Sanari, sang ayah, tak lagi berjualan ketupat sayur. Sejak fokus mengurus Saqila, ia tak memiliki penghasilan.

“Kadang bingung juga. Saya nggak kerja sejak lebaran. Kalau saya kerja, istri saya nggak mungkin bisa ngurus sendiri di rumah sakit,” keluhnya lirih.

Namun mereka memilih tetap bertahan. Karena bagi mereka, senyum dan kesehatan anak lebih penting dari apa pun. Saqila adalah segalanya.

Baca Juga :  Masuk ke Kabupaten Tangerang, Warga Wajib Bawa SIKM

RC Badak, di bawah pimpinan Asep Ruswiadi, telah menjadi rumah kedua bagi puluhan penyintas kanker dari berbagai daerah di Banten. Dengan tiga rumah singgah dan tujuh unit ambulans, yayasan ini menjadi pelindung senyap bagi mereka yang berjuang dalam sunyi.

Bagi Saqila, rumah singgah itu bukan hanya tempat tinggal sementara. Di sanalah ia bisa tetap menjadi anak kecil yang ceria, meski matanya masih tertutup perban. Di sanalah perjuangan dan harapan bertemu.

Penulis: Mg-Saepulloh
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd