Beranda Opini Kesetaraan Upah: Bagai Hujan di Musim Kemarau?

Kesetaraan Upah: Bagai Hujan di Musim Kemarau?

Ilustrasi - foto istimewa detik.com

Oleh: Elis Fitriani, Pemerhati Kebijakan Publik dan Pendidik

Mendapatkan upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari merupakan harapan semua para pekerja, namun ternyata tidak dirasakan semua pihak dengan alasan beberapa faktor, salah satunya perbedaan gender, namun apakah dengan adanya kesetaraan upah bisa menjadi solusi untuk menyejahterakan kehidupan rakyat?.

Dirilis oleh UN Women menunjukkan bahwa perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. Sedangkan di negara Indonesia, data menunjukkan perempuan memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa perempuan yang sudah memiliki anak, selisih gajinya jauh lebih besar dari laki-laki.

ILO (International Labour Organization) berkata “Kendati lebih banyak pekerja perempuan yang memiliki gelar D3/D4 atau sarjana dibandingkan laki-laki, pendidikan yang lebih tinggi tidak mempersempit kesenjangan upah berdasarkan jenis kelamin. Bahkan pekerja perempuan dengan tingkat pendidikan sarjana mendapatkan upah yang cukup rendah dibandingkan laki-laki.”

untuk pertama kalinya Indonesia bersama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Kesetaraan Upah Internasional yang jatuh pada 18 September, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan “Kementerian saya, bersama dengan semua mitra sosial kami dan organisasi internasional, terus mendorong aksi bersama menentang diskriminasi berbasis gender di tempat kerja. Ini saatnya bagi perempuan dan laki-laki untuk dihargai secara setara berdasarkan bakat, hasil kerja dan kompetensi, dan bukan berdasarkan gender,”
kesetaraan upah bagai hujan di tengah kemarau panjang, apakah benar?.

Jika ditelisik lebih dalam lagi kesetaraan upah seolah memberikan ruang bagi perempuan untuk bekerja dan bersaing dalam menduduki posisi yang setara bahkan bisa lebih tinggi daripada laki-laki, peran perempuan tidak lagi ditempatkan pada posisi yang seharusnya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, jika para perempuan berlomba-lomba untuk mendapatkan kesetaraan dalam pekerjaan lalu siapa yang akan menduduki posisi ibu dan pengatur rumah tangga?.

Para Kapitalis tidak peduli dampak apa yang akan terjadi, namun hanya keuntungan dan keuntungan yang diutamakan, selama menguntungkan apapun dikorbankan, termasuk pencitraan dalam kesetaraan upah untuk menarik hati para perempuan untuk bekerja.

Peran ibu tidak akan pernah bisa digantikan, kehadirannya di rumah akan menentramkan keluarga, bukan justru membuat para perempuan meninggalkan kewajiban utamanya dan memilih untuk bekerja yang hukumnya mubah.

Negara memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya, masih banyak para kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan, tidak sedikit yang memiliki upah namun jauh dari Upah minimum bahkan berpenghasilan tidak jelas, jika setiap keluarga terpenuhi kebutuhannya maka tidak perlu lagi wanita banting tulang, bahkan sampai menggantikan peran kepala keluarga.

Islam Mengembalikan peran perempuan Islam adalah agama yang haq, pengatur urusan dari individu hingga negara, urusan pribadi hingga ekonomi, islam memuliakan perempuan dan mengangkat derajatnya dari awal islam lahir sampai hari akhir, sampai kapanpun akan tetap menjadi petunjuk arah, perempuan dalam islam ditempatkan pada posisi yang tidak sama dengan laki-laki, jika laki-laki tugasnya mencari nafkah maka perempuan tugasnya mengatur rumah tangga, namun bukan berarti Islam melarang perempuan untuk bekerja/mencari nafkah namun kewajiban dimaksimalkan baru kemudian dibolehkan untuk bekerja.

(Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini