Oleh : Moch. Nasir Rosyid. SH
Pegiat Literasi dan Kebijakan Publik
Cita-cita besar yang lahir pada masa kepemimpinan Walikota Tb. Aat Syafa’at berangkat dari niat mulia: bagaimana Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon—yang saat itu masih berstatus kotamadya—dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menggali potensi wilayah pesisirnya. Salah satu gagasan visioner yang lahir kala itu adalah rencana pembangunan pelabuhan milik pemerintah daerah di atas tanah negara di kawasan Kubangsari, yang saat itu tengah diajukan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, perjalanan cita-cita itu tak semulus yang dibayangkan. Lahan Kubangsari seluas 66,5 hektare diklaim sebagai tanah milik PT Krakatau Steel dan telah dijadikan saham kerja sama dalam proyek pembangunan pabrik baja terpadu antara PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dan Pohang Steel Company (POSCO) asal Korea Selatan. Persoalan ini memicu konflik panjang antara Pemkot Cilegon dan PT Krakatau Steel, bahkan berlanjut hingga pergantian kepemimpinan dari Tb. Aat Syafa’at ke Tb. Iman Ariyadi.
Demi kepentingan daerah, dilakukan berbagai negosiasi antara Pemkot Cilegon dan PT Krakatau Steel, meskipun prosesnya tidak mudah dan dipenuhi perdebatan panjang serta penuh dinamika. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan dasar hukum yang berbeda. Bahkan Komisi II DPR RI ikut turun tangan dengan meninjau langsung lokasi sengketa tanah Kubangsari pada 28 Desember 2010.
Peran penting dalam penyelesaian konflik ini juga datang dari Kepala BKPM RI Gita Wirjawan dan Menteri Perindustrian RI MS Hidayat, yang dengan gigih memfasilitasi musyawarah antara kedua belah pihak. Akhirnya, kedua belah pihak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) antara PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dan Pemkot Cilegon, masing-masing bernomor 01/DU-KS/MoU/2011 dan 180/04-Huk/2011, tentang Percepatan Pelaksanaan Pembangunan Proyek PT Krakatau Posco dan Pembangunan Pelabuhan Pemerintah Kota Cilegon.
MoU tersebut ditandatangani oleh Direktur Utama PT Krakatau Steel, Fazwar Bujang dan Walikota Cilegon, Tb. Iman Ariyadi, serta disetujui oleh Menteri Perindustrian RI MS Hidayat dan Kepala BKPM RI Gita Wirjawan.
Beberapa poin penting dalam MoU tersebut antara lain:
1. PT. Krakatau Steel menyerahkan lahan seluas 45 hektare di kawasan Warnasari sebagai pengganti lahan Kubangsari yang dikuasai secara fisik oleh Pemkot Cilegon untuk pembangunan pelabuhan milik pemerintah daerah.
2. PT Krakatau Steel bersedia mengganti biaya investasi pembangunan pelabuhan yang telah dibiayai dari APBD, setelah dilakukan audit oleh BPK dan BPKP, serta disetujui oleh Pemerintah Pusat.
3. Pemkot Cilegon menyerahkan lahan Kubangsari seluas 66,5 hektare kepada PT Krakatau Steel untuk kepentingan pembangunan proyek PT Krakatau Posco.
Sebagai tindak lanjut, perjanjian resmi kemudian ditegaskan dalam Surat Perjanjian antara Pemkot Cilegon dan PT Krakatau Steel bernomor 590/01-HUK/2012 dan 13/C/DU-KS/KONTR/2012, yang ditandatangani pada 18 Januari 2012 di hadapan Sidang Paripurna Istimewa DPRD Kota Cilegon.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Tb. Iman Ariyadi, selaku Walikota Cilegon dan Fazwar Bujang sebagai Direktur Utama PT Krakatau Steel, disaksikan oleh Menteri Perindustrian RI MS Hidayat, Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan Kepala BKPM RI Gita Wirjawan.
Isi pokok perjanjian tersebut meliputi: Pemkot Cilegon memperoleh lahan seluas 45 hektare di kawasan Warnasari sebagai kompensasi atas lahan di Kubangsari seluas 66,5 hektare yang diserahkan kepada PT Krakatau Steel. Pemkot Cilegon juga menerima penggantian biaya investasi pembangunan pelabuhan sebesar Rp98.510.879.600,- (sembilan puluh delapan miliar lima ratus sepuluh juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu enam ratus rupiah).
Momentum itu sempat menjadi kebanggaan masyarakat Cilegon. Persoalan lahan yang memicu konflik bertahun-tahun dianggap selesai. Namun, cita-cita besar membangun Pelabuhan Warnasari ternyata kembali tersendat.
Pada era Walikota Tb. Iman Ariyadi, proyek ini sempat ditandai dengan groundbreaking pada tahun 2017 bersama Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi. Sayangnya, rencana itu kandas di tengah jalan yang terjal baik dari aspek regulasi maupun kondisi daerah. Saat kepemimpinan beralih ke Edi Ariadi, lahan Warnasari justru dijadikan tempat pembuangan lumpur proyek PT Lotte Chemical Indonesia (PT LCI). Upaya pembangunan akses jalan ke pelabuhan justru mendapat tantangan dari PT. Krakatau Steel, bahkan tersandung perkara hukum.
Situasi kian memprihatinkan di masa Helldy Agustian. Lahan Warnasari tidak masuk prioritas pembangunan meski tercantum dalam RPJMD. Ironisnya, lahan tersebut kembali digunakan sebagai lokasi dumping pasir laut hasil pengerukan PT LCI. Kegiatan ini telah memporak-porandakan kondisi lingkungan yakni hilangnya hutan mangrove.
Selain itu, Walikota Cilegon Helldy Agustian juga mengizinkan lahan Warnasari disewakan kepada pelaksana proyek PT LCI untuk kegiatan pabrikasi. Lahan Warnasari kemudian diuruk dan diratakan seluas 10 hektare termasuk juga mereklamasi pantai tanpa izin resmi dari institusi yang berwenang. Bukan hanya hutan mangrove yang dirusak dari kegiatan ini, tetapi berubahnya bentang alam, yakni garis pantai pesisir Warnasari. Atas dasar itu muncul banyak pertanyaan publik mengenai legalitas dan kompensasi dari aktivitas tersebut.
Namun, hingga berakhirnya masa jabatan Walikota Helldy Agustian, berbagai pertanyaan itu belum mendapatkan jawaban yang jelas. Kini, kepemimpinan Kota Cilegon telah beralih kepada Walikota terpilih hasil Pilkada 2024, yaitu Robinsar, bersama Wakil Walikota Fajar Hadi Prabowo, yang berhasil mengalahkan pasangan petahana Helldy Agustian dan Alawi Mahmud.
Kini, di bawah kepemimpinan Walikota Robinsar dan Wakil Walikota Fajar Hadi Prabowo, masalah lama itu muncul lagi ke permukaan. Persoalan klasik: akses jalan ke lahan Warnasari yang disebut-sebut terkendala izin dari PT Krakatau Steel.
Di tengah isu tersebut, terselenggara sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang disebut-sebut diinisiasi oleh pengurus Kadin Cilegon. Dalam forum itu, disepakati bahwa PT Krakatau Steel akan membuka akses jalan sepanjang 1,3 kilometer yang akan terkoneksi langsung ke Jalan Amerika II dan terhubung dengan Jalan Asia Afrika.
Secara pribadi, saya menyambut baik terselenggaranya FGD tersebut dengan hadirnya aktor-aktor frontstage baru dalam lakon mewujudkan Pelabuhan Warnasari yang telah lama menjadi perhatian masyarakat Cilegon. Sekilas, ini tampak sebagai kabar baik. Namun, dari kacamata hukum, ada kejanggalan yang tak bisa diabaikan di balik kesediaan PT Krakatau Steel untuk membuka akses jalan tersebut. Hal ini patut diluruskan dari aspek hukum, khususnya terkait hak dan kewajiban masing-masing pihak sebagaimana telah diatur dalam Perjanjian Nomor 590/01-HUK/2012 dan Nomor 13/C/DU-KS/KONTR/2012.
Andai para peserta FGD tersebut membaca dan memahami isi perjanjian dimaksud, tentu tidak akan terjadi perdebatan mengenai akses jalan menuju lahan pembangunan Pelabuhan Warnasari. Sebab, dalam perjanjian tersebut telah diatur dengan jelas bahwa lahan seluas 45 hektare di Warnasari yang diserahkan oleh PT Krakatau Steel kepada Pemkot Cilegon mencakup pula akses jalan dan bagian tak terpisahkan dari lahan seluas 45 hektare di atas, artinya jalan tersebut juga merupakan satu kesatuan atau bagian integral dari lahan seluas 45 hektare.
Ketentuan ini merupakan hak sah Pemkot Cilegon, sehingga tanpa adanya kesepakatan baru melalui FGD pun, PT Krakatau Steel berkewajiban mengizinkan penggunaan jalan tersebut, karena hak itu telah melekat secara hukum sebagaimana tercantum dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN.
Dalam Pasal 4 ayat (3) perjanjian resmi tahun 2012 disebutkan dengan tegas bahwa Pemkot Cilegon diizinkan menggunakan jalan kawasan industri untuk kepentingan lalu lintas menuju lahan seluas 45 hektare tersebut. Artinya, hak akses jalan sudah diatur secara hukum, dan PT Krakatau Steel wajib memfasilitasi penggunaannya sesuai Pasal 6 ayat (2) huruf b angka (4) perjanjian itu. Sementara Pemkot Cilegon memiliki hak sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka (5). Bahkan, Pasal 4 ayat (5) menegaskan bahwa jalan dimaksud memiliki lebar 30 meter dan diperuntukkan bagi kepentingan bersama antara Pemkot dan PT Krakatau Steel beserta anak perusahaannya.
Dengan adanya beberapa kesepakatan baru yang muncul dalam FGD, wajar jika timbul pertanyaan apakah isi perjanjian sebelumnya masih berlaku dan mengikat. Terkait hal ini, perlu ditegaskan bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (6), ketentuan mengenai penggunaan jalan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (5) tetap berlaku meskipun masa berlakunya perjanjian telah berakhir.
Selain itu, Pasal 12 perjanjian tersebut menegaskan bahwa sekalipun terjadi perubahan, peralihan nama, atau kepemilikan saham dari pihak kedua (PT Krakatau Steel), maupun pergantian pimpinan dari pihak pertama (Pemkot Cilegon), perjanjian ini tetap berlaku dan tetap mengikat bagi kedua belah pihak.
Dengan demikian, perjanjian antara Pemkot Cilegon dan PT Krakatau Steel bersifat mengikat secara berkelanjutan, sehingga apabila hingga kini masih terdapat ketentuan atau klausul yang belum dilaksanakan, maka kedua belah pihak berkewajiban menunaikannya sesuai dengan hak dan tanggung jawab masing-masing sebagaimana diatur dalam perjanjian tersebut.
Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, maka perdebatan mengenai akses jalan dalam FGD yang diinisiasi Kadin Cilegon sesungguhnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Hak akses jalan sudah melekat secara hukum kepada Pemkot Cilegon, dan PT Krakatau Steel tidak memiliki alasan legal untuk menahan atau mempersyaratkan izin baru, kecuali sebatas pengaturan administratif yang bersifat teknis.
Dengan kata lain, kesepakatan baru dalam FGD tidak dapat meniadakan perjanjian hukum yang masih berlaku. FGD boleh menjadi ruang komunikasi, tetapi tidak bisa menggantikan kontrak publik yang bersifat mengikat secara hukum.
Jadi, persoalan izin yang muncul belakangan, seharusnya hanya bersifat administratif, semata-mata berkaitan dengan pengaturan teknis penggunaan jalan kawasan industri. Dari perspektif hukum perjanjian (contract law), hubungan antara Pemkot Cilegon dan PT Krakatau Steel bersifat kontraktual publik (public contract) yang tunduk pada asas pacta sunt servanda—bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Mengingat salah satu pihak adalah badan hukum pemerintah, maka segala bentuk pelanggaran terhadap klausul perjanjian dapat dikategorikan sebagai wanprestasi administratif (administrative default) yang berimplikasi hukum, baik secara perdata maupun tata usaha negara. Selain itu, dalam konteks hukum pertanahan, sertifikat atas lahan 45 hektare di Warnasari yang diterbitkan oleh BPN memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak bagi Pemkot Cilegon sebagai pemegang hak yang sah.
Kesimpulannya, perjanjian antara Pemkot Cilegon dan PT Krakatau Steel tetap sah serta mengikat secara hukum hingga seluruh klausul yang tercantum di dalamnya dilaksanakan secara tuntas. Akses jalan menuju Pelabuhan Warnasari merupakan hak sah Pemkot Cilegon, sementara kewajiban PT Krakatau Steel adalah memfasilitasi penggunaannya sebagaimana telah diatur dalam perjanjian resmi.
Kesepakatan nonformal, seperti hasil FGD atau bentuk komunikasi lainnya, tidak dapat meniadakan isi perjanjian yang telah disahkan dan disaksikan oleh pejabat negara, karena hanya keputusan hukum setingkat atau lebih tinggi yang memiliki kewenangan untuk mengubahnya. Oleh sebab itu, apabila ditemukan pelanggaran atau pengabaian kewajiban oleh PT Krakatau Steel, Pemkot Cilegon perlu menempuh langkah penegakan kontraktual (contract enforcement), baik melalui mekanisme hukum administrasi maupun gugatan perdata, demi menegakkan kepastian hukum dan menjaga muruah perjanjian yang telah menjadi bagian dari sejarah perjuangan pembangunan Pelabuhan Warnasari.
Oleh karena itu, Pelabuhan Warnasari tinggal menunggu kepastian dari Pemkot Cilegon, kapan mau dibangun. Jika PT Krakatau Steel masih mempertahankan klaim soal akses jalan, sekali lagi– pemerintah daerah memiliki hak hukum untuk menempuh upaya penegakan kontraktual (contract enforcement), termasuk menggugat secara resmi sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Urgensi Pembangunan Pelabuhan Warnasari bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan simbol supremasi hukum daerah untuk menjaga muruah perjanjian yang telah menjadi bagian dari sejarah perjuangan pembangunan Kota Cilegon.
