
Oleh: Hudjolly
Dosen Filsafat di Untirta
Setiap kepala daerah yang baru terpilih serentak, setidaknya punya waktu 6 bulan memilih orang-orang yang tepat menempati formasi top leader organisasi di pemerintahan daerah. Ini bukan pemilihan terbuka, jelas tertutup. Kasak-kusuk sudah dimulai di sini, behavior politik kepegawaian. Apakah diposting SDM yang mampu menjadi sender, interpretator visi misi pemenang pilkada atau SDM dari faksi local strongman yang mengharuskan pemenang pilkada berdamai dengan kekuatan itu demi stabilitas lokal. Tetapi ini bukan soal pembagian kekuasaan daerah, tetapi soal cara mengoperasikan mesin pemerintahan untuk melayani demos.
Ketika kekuasaan sudah bukan di tangan monarki, aristokrat, oligark, diktatorian, berarti berlaku adagium “rakyatlah yang menentukan beroperasinya kekuasaan”. Democracy. Roda kekuasaan demokrasi tidak menggelinding sendirian, perlu berbagai system pendukung untuk menyempurnakan tujuan berdemokrasi: kekuasaan yang melayani demos. Dalam bahasa asalnya, demos adalah rakyat. Cratie, kratos bernuansa makna kekuasaan, aturan.
Ada berbagai system yang seringkali dipakai untuk menopang demokrasi beroperasi: dari politika sampai birokrasi. Bahkan tidak jarang oligarchy juga ikut dipakai.
Roda kekuasaan selalu berpapasan jalan dengan berbagai kepentingan dan urusan. Maka perlu pembuat keputusan yang bertindak cekatan, penuh perhitungan agar segalanya berjalan lancar. Kemampuan bertindak, membuat keputusan dalam kekuasaan itulah makna politika. Agar roda terus berjalan endurance dibuat alat-alat bantu penyelenggara kekuasan, disusun tata kelola pemerintahan, tata kelola bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang budaya dan seterusnya. Itulah birokrasi.
Mekanisme politika merupakan salah satu cara mengambil keputusan kolegial dalam komunitas yang besar: organisasi pemerintahan daerah. Politika juga suatu metode untuk berkompromi dan bersepakat dalam banyak hal. Ada cara lain yakni melalui mekanisme birokrasi (bureaucracy) dimana pengambilan keputusan cukup dilakukan di belakang meja-meja (bureau) para petugas-petugas yang ditetapkan untuk menjalankan tugas tersebut. Pertanyaan utamanya adalah siapa yang menetapkan tugas bagi para petugas itu? Tentu saja pemenang demokrasi. Pemilihan top leader di organisasi pemerintahan akan kembali pada agenda politik pemenangan pilkada.
Top leader diposisikan sebagai petugas-petugas yang menerima delegasi kekuasaan, menerima aliran distribusi kekuasaan dari rakyat. Tapi kita mengingat bahwa pemenangan demokrasi bukan di tangan satu person. Itu pemenangan kolektif, melibatkan banyak orang. Maka para petugas boleh saja berasal dari kolega politik di saat proses pemenangan. Boleh jadi dari hasil kesepakatan politik. Atau bisa juga dari orang-orang pintar, merit, yang sudah berdesakan di sekitar tubuh kekuasaan. Tak ada kekuasaan yang tidak dikelilingi oleh orang-orang pintar..
Dalam buku The Rise of the Meritocracy (1958), meritokrasi hadir sebagai sindiran bagi kesepakatan politik yang terlalu mendominasi asal usul petugas-petugas itu. Sekaligus mengejek kategori merit yang hanya bertumpu prestasi individu atas dasar seleksi ketat berdasarkan “kecakapan”. Ya..termasuk cakap dalam hal menumpuk pundi-pundi. Orang cakap boleh menghenyakkan bahu orang lain agar bisa melenting ke atas. Itu esensi prestasi individual. Tidak perlu pertimbangan solidaritas, kepedulian, kepekaan sosial, karena ukuran cakap melekat pada prestasi individu an sich.
Padahal tidak ada prestasi perorangan murni dalam kerja kolektif tubuh organisasi. Sistem merit melupakan bahwa titik paling ujung yang mereka layani dengan kecakapan individual di atas kertas penilaian kinerja adalah melayani demos. Petugas itu abdi bagi pemenuhan kebutuhan rakyat banyak (public serve). Meritokrasi mengakui menyimpan duri di masa kelahirannya. Dahulu para pencetusnya mewarning bahwa meritokrasi bisa menjadi sistem yang kejam, yang mengabaikan aspek kemanusiaan dan solidaritas sosial (Young, 1958; Floud, 1956, Yates, 1956). Ironi.
Semenjak tahun 2014 lewat undang-undang aparatur sipil negara, merit mendapatkan popularitas sebagai sistem resmi. Merit semakin kokoh penerapannya lewat UU penyempurna di tahun 2023. Dengan adanya watak bawaan merit yang miskin kepedulian dan rendah kepekaan sosial tidak mengherankan jika rakyat kerap menjumpai watak petugas abdi negara yang a-sosial, tidak ada kepekaan ketika sedang menghadapi wajah si rakyat (demos). Dengan spektrum arti merit yang luas merentang dari a-sosial sampai prestasi individu an sich, jangan-jangan jutek pada demos juga bagian dari pelaksanaan terendah sistem merit? Tertingginya ya prestasi individual di atas portofolio kinerja.
Tetapi racun tidak selamanya menjadi racun. Dalam ambang batas toleransi dan takaran yang ditentukan, racun dapat dikelola menjadi penawar racun yang berguna. Bukankan vaksin berisi virus-virus yang telah dilemahkan?. Watak bawaan merit yang ‘rendah kepekaan’ dan ‘rendah citarasa kemanusiaannya’ ibarat virus yang harus dilemahkan agar bisa digunakan untuk menjalankan fungsi meritokrasi yang melayani wajah rakyat (demos).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa person yang “cakap dan lolos seleksi” adalah insan yang akrab dengan politika. Mereka berpolitika secara inheren dalam bangunan organisasinya. Dengan politika, petugas-petugas itu membuat peluang, memperoleh kesempatan melenting ke pos-pos yang semakin membawa naik ke pucuk-pucuk delegasi kekuasan. Pos-pos kewenangan itu juga, sebenarnya, software dari roda besar politika yang sedang digelindingkan oleh kepala daerah untuk melayani demos.
Jadi persoalan menempatkan petugas dalam tatanan demokrasi lokal adalah ruang operasi politika pemenang pilkada. Selamat memilih Sekda Pak Gub, gas jangan terlalu lama di meja.