Beranda Opini Ikhtiar Merawat Kritik

Ikhtiar Merawat Kritik

 

Oleh : Rahmat Kamaruddin
(Gerakan Milenial Indonesia)

Review Buku Desmond J. Mahesa, “Prahara Demokrasi di Tengah Pandemi”

“Ayah, berapa sih untungnya bertani?” tanya Lu Buwei (253 SM) kepada ayahnya. “Sepuluh kali pemasukannya,”jawab sang ayah. Sang anak pun kembali bertanya, “Bagaimana kalau berbisnis perhiasan?” Sang ayah menjawab, “Seratus kalinya.”

“Lalu, bagaimana kalau kita membantu seseorang mewarisi tahta kerajaan dan mengontrol negara?” lanjut sang anak. Sembari tersenyum, sang ayah menjawab,“Ribuan, puluhan ribu, bahkan mungkin tak terhitung.”

Dialog di atas dikutip dari halaman 224 buku terbaru Desmond J. Mahesa (selanjutnya DJM) yang tengah membahas fenomena cukong pada musim Pilkada. Lu Buwei merupakan pengusaha sekaligus negarawan pada awal berdirinya Dinasti Qin, di Cina. Di kemudian hari, percakapan Lu Buwei dengan ayahnya di atas rupanya menginspirasi banyak pengusaha Cina. Maka lahirlah istilah Cukong, yakni panggilan kehormatan zaman dulu bagi mereka yang telah membiayai orang-orang tertentu menjadi penguasa.

“Keyakinan para cukong untuk mendukung salah satu kandidat dalam Pilkada ibarat sebuah investasi peternakan yang nantinya akan sukses besar karena hasil ternaknya akan mendatangkan keuntungan baginya jika masa panen tiba,” tulis DJM.

Memasuki usia yang ke-55 tahun pada 12 Desember 2020 lalu, DJM kembali menerbitkan buku. Kali ini berjudul “Prahara Demokrasi di Tengah Pandemi”. Seperti buku-buku karya sebelumnya, satu kata yang selalu begitu konsisten pada diri DJM juga merangkum karya ini: kritik. Titik terjang kritik DJM tertuju pada peristiwa politik-hukum sepanjang tahun 2020. Tahun pertama kita menghadapi kesulitan akibat pandemi Covid-19.

Bak jatuh tertimpa tangga, di tengah derita akibat pandemi yang menimpa rakyat Indonesia, Pemerintah justeru berperilaku aji mumpung. Pemerintah memanfaatkannya untuk kepentingan yang jauh dari harapan masyarakat. Pada kondisi ironis inilah kritisisme DJM bekerja. Melalui karya setebal 880 halaman ini, DJM memaparkan betapa demokrasi Indonesia semakin mengalami kemerosotan di tengah pandemi.

Sengkarut Demokrasi

Apa saja gerangan fenomena selama masa pandemi Covid-19 yang dinilai merugikan demokrasi kita? Sebelas bagian yang terdiri dari 78 bab buku ini memaparkannya. Bagian Satu membahas tentang kontroversi Pancasila dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Pada Juli 2020 lalu, ketika virus Covid-19 sedang merajalela, Pemerintah mendesak agar RUU HIP menjadi bagian dari Prolegnas 2020 untuk disahkan.

Meskipun di tengah pandemi, masyarakat yang mengetahui hal tersebut pun sontak berbondong-bondong melakukan aksi penolakan. Mereka turun ke jalan berdemonstrasi dalam situasi berbahaya jika terpapar virus Covid-19. Setelah mendapatkan berbagai penolakan dari masyarakat, RUU HIP berubah menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

DJM sendiri menolak tegas RUU tersebut. Baginya, persoalan Pancasila pada hari ini bukan pada ketiadaan panduan haluan, melainkan pada kemauan elite melaksanakan Pancasila dengan sebaik-baiknya (h.53). Secara sosiologis, filosofis dan yuridis pun, RUU HIP juga tidak punya urgensi.

Antisipasi DJM terhadap bahaya penafsir tunggal Pancasila pada polemik ini cukup menarik digarisbawahi, terutama oleh generasi milenial agar tidak terjerumus pada pengultusan seorang tokoh yang berujung pada pehamanan sempit terkait sejarah Pancasila. Pasalnya, semangat menggolkan RUU HIP yang diduga berlandaskan pada fanatisme dan pengkultusan terhadap Bung Karno. Padahal, menurut DJM, ada banyak tokoh bangsa lain yang juga telah berkontribusi merumuskan pondasi kita dalam bernegara. Bukan hanya Soekarno.

“Karena sekarang ini para ‘jemaah’ Sukarno terkesan mendewa-dewakan pemikiran tokoh yang dikaguminya dan memasukkannya ke dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila. Padahal pemikiran-pemikiran Bung Karno tentang Pancasila itu sendiri sebenarnya hanya salah satu usulan, sama posisinya dengan usulan tengah (dasar negara) dari banyak tokoh bangsa lain yang memiliki pemikiran terkait dengan Pancasila,” tulis DJM (h.16).

Pada Bagian Dua, tujuh artikel DJM membedah UU Omnibus Law Cipta Kerja. Ini salah satu “prestasi” Pemerintah di tengah ketidakberdayaan rakyat menghadapi Pandemi di tahun 2020. DJM memaparkan dampak dari UU kontroversial ini. Mulai dari siapa yang diuntungkan, bencana lingkungan dampak dari UU ini, perompak asing yang bersiap pesta pora, para aktivis yang dijerat pasal karet akibat menyampaikan aspirasi, dan sebuah usulan berupa ikhtiyar untuk uji materi. Meskipun hal tersebut tampaknya hanya sia-sia. Mengingat kuatnya posisi penguasa saat ini.

Pada Bagian Tiga buku ini, DJM menelanjangi modus operandi para oligark pembajak demokrasi pada momen pilkada. Pilkada serentak 2020 mendapat sorotan DJM. Selain karena dilaksanakan pada musim pandemi, peran kartel politik para elite pembajak pilkada juga sangat mengkhawatirkan. Sebuah artikel pada bagian ini yang cukup menohok berjudul “Jelang Pilkada Tiba, Saatnya Beternak Penguasa”. Sebuah potret demokrasi yang memprihatinkan. Betapa mahalnya biaya pemilu yang negara harus tanggung, namun hasilnya adalah para pemimpin yang patuh pada penguasa (cukong). Bukan kepada kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.

Bagian Empat membahas deretan peristiwa yang mencoreng wajah keadilan di Indonesia yang terjadi di masa pandemi. Kasus fenomenal mafia buron Djoko Tjandra mendapatkan porsi cukup banyak. Oknum Kejaksaan dan Kepolisian sebagai penegak hukum ikut terlibat. Sebuah tendangan keras bagi wajah kewibawaan hukum kita. Beberapa kasus lain juga turut dibahas, yakni kasus mafia bisnis perusahaan listrik PLN dan tuntuan ringan pelaku penyiraman air keras mata Novel Baswedan.

Bagian Lima mengalisis silang sengkarut kebijakan Pemerintah selama masa pandemi. Mulai dari nasib masyarakat kecil terkait kebijakan pembatasan berskala besar, pelibatan preman sebagai pendukung penerapan protokol kesehatan, derita buruh di tengah pandemi, serta inkonsistensi dan tebang pilih penegakan hukum protokol kesehatan.

Milenial Dibajak Oligarki

Budayawan, Radhar Panca Dahana, suatu kali pernah mengkritik generasi milenial, terutama yang masuk ke lingkaran Istana. Dalam videonya di YouTube berjudul “Milenial Lingkaran Dalam Presiden”, baginya, generasi milenial punya masalah sebagai generasi. Keberadaan milenial dalam pusaran kekuasaan bukanlah tanpa persoalan.

Milenial yang kerap dianggap sebagai bonus demografi, baginya, merupakan generasi yang tak punya arah dan jalan untuk bisa menegaskan atau meneguhkan dirinya sendiri. Lebih lanjut, menurutnya, Pemerintah tidak mencoba memahami, mengidentifikasi atau berusaha membantu mereka untuk menyelesaikan problem generasi milenial.

Oleh karena itu, menurut Radhar, milenial yang diangkat oleh Presiden sebenarnya menyimpan masalah yang lebih berat. Mereka juga mempunyai masalah sebagai sebuah generasi. Alih-alih menjadi problem solver, mereka malah bisa jadi trouble maker.

Milenial, menurutnya, adalah generasi yang tercerabut dari akar kulturalnya sendiri karena pendidikan yang mereka dapatkan sejak dini. Wajar kalau mereka mengalami disorientasi dan dislokasi karena kebudayaan sampai pada hari ini dinafikan, dipinggirkan, dihina, dihumiliasi bahkan diasasinasi oleh pemerintah. Oleh karena itu, Radhar mengkhawatirkan keberadaan milenial di lingkungan kekuasaan amat rentan dan rapuh.

Tentu saja pendapat Radhar di atas layak dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, kekhawatiran Radhar di atas menemukan relevansinya pada Bagian Enam buku ini, “Gelaran Pesta di Tengah Pandemi Virus Corona”.

Bagian Enam membahas di antaranya soal skandal kartu prakerja yang melibatkan stafsus milenial Presiden, Belva Devara. Publik menyorot Belva Devara karena perusahaan yang didirikannya menjadi salah satu mitra Pemerintah dalam pelaksaan Kartu Prakerja. Perusahaan yang dibangun Belva belakangan ditunjuk sebagai salah satu mitra resmi Kartu Prakerja, program pengembangan kompetensi kerja di bawah naungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Atas perihal tersebut, generasi milenial tentu patut merenungkan kembali eksistensinya di tengah konstelasi demokratisasi di Indonesia. Jika DJM sebagai eksponen ‘98 dan kawan-kawan aktivis segenerasinya telah berkuah darah berjuang meruntuhkan rezim Orba, maka apa yang seharusnya generasi muda lakukan untuk terlibat dalam perbaikan demokrasi kita? Bagian Tujuh, Delapan dan Sembilan kiranya menawarkan jawab.

Jalan di Tempat

Secara berurutan ketiga bagian selanjutnya membahas tentang ironi penguasa mempertahankan kekuasaannya, nasib oposisi dan pembungkaman aspirasi, dan absennya negara pada beberapa kasus yang mempertaruhkan harga dirinya.

Upaya penguasa mempertahankan kekuasaan sempat meramaikan perbincangan publik dengan bergulirnya wacana amandemen UUD 1945 yang dikabarkan akan mengubah periode masa jabatan presiden. Tentu saja perubahan yang diinginkan menguntungkan penguasa saat ini. Dalam kondisi tersebut, terjadi pula beberapa penangkapan aktivis demokrasi yang menyuarakan aspirasi dan pemasungan terhadap kebebasan akademik.

Terkait absennya negara, membahas contoh kasus tewasnya 4 WNI yang sedang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di sebuah kapal ikan Cina. 3 dari jenazah mereka dilarung ke tengah laut. Ini tentu contoh kasus saja. Sebuah cuplikan belaka bahwa betapa negara seolah tak punya peran untuk melindungi warga dan menjaga martabatnya.

Hampir segala aspek kita seolah-olah tidak lagi berdikari dan bermartabat di hadapan negara lain. Termasuk di bidang ekonomi-politik. Ada satu bab yang cukup menohok yang menginformasikan betapa pada aspek tersebut pun kita tampak memang tak berdaya. Judulnya, “Akal-Akalan Cukong dalam Menguasai Kancah Politik Indonesia.” Salah satu aspek yang dikuasai para cukong adalah berbagai Sumber Daya Alam, yang pada gilirannya membuat mereka menguasai peta politik di Indonesia.

Bila kita lihat, ketiga persoalan pada ketiga bagian di atas merupakan persoalan yang juga pernah terjadi di Era Orba, yakni pembungkaman suara masyarakat, lemahnya negara di hadapan pihak asing, dan hasrat penguasa mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, pekerjaan rumah bagi generasi kekinian agaknya hanya mengulang saja.

Sebuah ironi tentunya. Reformasi sebagai momentum mewujudkan demokrasi, yang diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan dan ketentraman kehidupan warga negara, tak kunjung terwujud. Bahkan, justeru kian terpuruk di tengah pandemi. Demokrasi kita seperti jalan di tempat. Masalah generasi sebelumnya dengan generasi milenial kekinian berkutat pada persoalan itu-itu saja, hanya saja dengan tokoh dan waktu yang berbeda. Old wine in new bottle.

Hal menarik, dalam menganalisis permasalahan publik sepanjang tahun 2020, DJM berlepas diri dari narasi penguasa. Kita tahu, betapa narasi anti-radikalisme yang digaungkan penguasa begitu masif dan sukses membungkam mereka yang berbeda. Seolah-olah masalah utama demokrasi kita hari ini adalah radikalisme.

Alih-alih mengamini narasi penguasa, DJM justeru mengajak kita melihat bentuk lain dari radikalisme yang dampaknya justeru lebih merugikan bangsa dan negara. Seperti adanya problem ketimpangan struktural dan carut-marutnya penegakan hukum kita.

DJM mengkritik terminologi radikal yang semata kerap disematkan pada umat beragama (Islam). Sebuah upaya stigmatisasi yang amat bising di ruang publik kita, sehingga mengalihkan perhatian kita dari persoalan lain yang sesungguhnya jauh lebih penting. DJM menulis,

“Saat ini, yang sangat terasa adalah radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan, kemiskinan dan sebagainya. Belum lagi radikalisme politik, yang kemudian merasa menang, merasa berkuasa seolah-olah bisa berbuat apa saja dalam bentuk otoritarianisme” (h.503).

Polisi Berwajah Sipil

Pada Bagian Sepuluh, DJM membahas institusi kepolisian. DJM menyayangkan selama 74 tahun berdiri, keberadaan kepolisian kerap menjadi pengayom penguasa dan pengusaha. DJM menginginkan agar kepolisian menjadi abdi bagi kepentingan keamanan masyarakat. Bukan malah menjadi tirani kepolisian yang menindas masyarakat sipil.

DJM menyayangkan Reformasi yang telah memberikan peran dan kewenangan polisi yang besar, serta ditunjang dengan anggaran besar pula, jika justeru dimanfaatkan untuk memusuhi rakyat, yang seharusnya dibela. Negara, dengan aparat kepolisiannya, seolah-olah menjadi musuh utama rakyat. Padahal, secara filosofis, negara dibangun atas dasar kepercayaan rakyat. Artinya, kepentingan rakyat haruslah menjadi tuan bagi pengabdian kepolisian, bukan kepada penguasa dan pengusaha.

DJM pun memaparkan rangkaian kasus demi kasus para oknum polisi selama ini yang telah mencoreng nama baik kepolisian. Mulai menjadi oknum pembeking koruptor, penolong mafia perusak lingkungan, penembakan warga sipil, hingga konfliknya dengan TNI yang masih terus terjadi. DJM menginginkan polisi yang berwajah sipil yang bertanggung jawab terhadap otoritas sipil. Bukan polisi yang menjadi musuh rakyat Indonesia karena berpihak pada kepentingan kekuasaan.

“Polisi sipil bukan merupakan polisi kekuasaan, melainkan mengedepankan kesopanan dan keramahan. Pendekatan kemanusiaan dalam konsep kepolisian sipil adalah pada pengakuan polisi terhadap setiap individu yang berhubungan dengan polisi sebagai fitur yang memiliki martabat serta harga diri,” tulis DJM (hlm.782).

Kehadiran presenter Najwa Syihab di tengah gemuruh jagat politik Indonesia agaknya cukup menyita perhatian DJM. Bagian Penutup buku ini, Bagian Sebelas, DJM khususkan semata untuk membahas presenter Mata Najwa. Pasalnya, dalam melancarkan kritiknya terkait penanganan Covid-19 oleh DPR RI, Najwa Shihab dianggap kerap melakukan generalisasi dan tak mampu mengelola pujian dari banyak fansnya. Alhasil, kritik Najwa pun tak jarang salah alamat dan tidak proporsional.

Catatan Kecil

Revolusi teknologi digital rupanya juga telah mengubah peta kepenulisan. Perubahan akibat revolusi digital turut mewarnai proses kreatif kelahiran buku menjadi sama sekali berbeda dari cara konvensional di masa lalu. Saya teringat sebuah buku berjudul “Surat Malam untuk Presiden” karya Acep Iwan Saidi (AIS), yang dterbitkan Penerbit Gradien Mediatama pada 2012 lalu.

Buku AIS merupakan kumpulan status curahan hatinya di akun Facebooknya. Dia seorang dosen sebuah perguruan tinggi yang resah terhadap situasi negara. Di kampus, sivitas akademik diajarkan nilai-nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran. Namun, ketika mereka berada luar kampus, negara seperti tidak begitu mengapresiasi nilai-nilai tersebut. AIS pun hari demi hari menulis di Facebook, hingga menjadi kumpulan tulisan yang dibukukan.

Ada lagi sebuah buku yang lahir dari perdebatan para pesohor di media sosial baru-baru ini. Adalah A.S. Laksana pada mulanya menulis apresiasinya terhadap sains di Facebook. Goenawan Muhammad lalu mengkritik tulisan A.S Laksana, lalu terjadilah perdebatan. Perdebatan tersebut rupanya melibatkan beberapa pemikir lainnya. Di antaranya, Ulil Abshar Abdalla, F. Budi Hardiman, Hamid Basyaib, Hasanuddin Abdurrahman, dan lain-lain.

Perdebatan itu dianggap telah menimbulkan kegairahan baru di jagat medsos karena membahas aspek yang begitu signifikan bagi manusia untuk memberi makna pada hidupnya: sains dan agama. Mereka pun bertukar gagasan dan argumentasi dengan saling melempar tulisan artikel. Dari perdebatan itu, lahirlah sebuah buku berjudul “Polemik Sains: Sebuah Diskursus Pemikiran”, terbitan IRCIsod, 2020.

Nah, seperti halnya dua contoh buku di atas, proses buku ini pun lahir dengan model dan genrenya tersendiri. Buku ini hasil kumpulan artikel DJM meresponi isu kontroversial sepanjang tahun 2020. Komposisinya bertabur informasi yang dikutip dari pelbagai media online. Pelbagai informasi tersebut lalu dianalisis dengan menggunakan argumentasi pribadi, pihak lain, teori dan pasal perundang-undangan, yang kesemuanya berkelindan menegaskan posisi moral DJM: berupaya mengawal demokrasi.

Bagi pembaca yang bukan berlatarbelakang sarjana hukum ataupun menggeluti persoalan hukum, buku ini kiranya dapat membantu memahami kasus-kasus besar di republik ini. DJM menyajikannya dengan menggunakan bahasa populer, sistematis dan, tak jarang, penuh satire. DJM juga begitu terampil mengikuti perkembangan kosakata kekinian, misalnya: ‘prank’, ‘hoax’, dan sebagainya. Alhasil, DJM seperti tengah mencoba menolong masyarakat awam memahami tata cara, standar operasional prosedur (SOP), dan modus operandi para elitenya dalam bergotong royong mengangkangi demokrasi.

Generasi milenial Indonesia tentu akan menemukan pencerahan dari lembar demi lembar buku ini. DJM menyelenggarakan harapan untuk tetap bangkit dan tanpa henti mencintai Indonesia dengan caranya yang khas: kritik. Api perjuangan untuk membela rakyat dari kepongahan penguasa pada sanubarinya sebagai aktivis rupanya terus menyala hingga kini. Sebuah ikhtiyar menyemarakkan kritik di tengah perkembangan demokrasi kita yang tidak begitu menggembirakan.

Beberapa pengulangan data berupa kompilasi kutipan dari media online pada artikel-artikel yang membahas topik serupa mungkin salah satu alasan kenapa buku ini mengalami “obesitas”. Ketiadaan kesalahketikan (typo) dan inkonsistensi penggunaan pungtuasi pada nyaris setiap bab, kiranya akan memberi arti signifikan bagi maksud dan tujuan peribahasa pada kata pengantar buku ini: “tak ada gading yang tak retak”.

1967 silam, Roland Barthes pernah menerbitkan essai berjudul The Death of the Author, Matinya Sang Pengarang. Buku tersebut begitu masyhur terutama bagi diskurus filsafat kontemporer. Menurutnya, saat sebuah teks ada di tangan pembaca, maka segala tafsir atas teks tersebut adalah milik pembaca. Roland Barthes mengumandangkan kematian si pengarang. Pengarang dan karyanya adalah entitas yang terpisah sama sekali.

Penafian terhadap model pembacaan Roland Barthes di atas kiranya menjadi menarik jika kita menelisik posisi DJM sebagai Anggota DPR RI yang memproduksi teks berupa buku ini. Sebagai sosok yang mengecimpungi ekosistem politik-hukum berskala nasional, analisis DJM pada buku ini amatlah bergizi untuk dinikmati. Bukan produk seorang pengamat yang berjarak dengan objek yang ia amati. Terkandung di dalamnya wawasan dan gagasan yang segar dan bermutu bagi perbaikan demokratisasi kita.

Jika pada umumnya anggota DPR kita di Senayan ramai-ramai bereuforia menuliskan hasil kerja dan pencapaiannya, DJM memilih jalan sunyi. Dia justeru mewartakan kepada kita apa yang belum sanggup ia tangani sebagai wakil rakyat. Sebuah pergulatan batin atas keresahan terhadap betapa demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Pada bagian awal, DJM mengungkapkan,“Menulislah, saat berbicara tak cukup didengar.” (*)

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News

Dukung BantenNews.co.id untuk terus menyajikan jurnalistik yang independen. Klik disini